Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Mata Air Jangan Berubah Air Mata

1 April 2024   08:16 Diperbarui: 1 April 2024   08:44 131
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mata Air Jangan Jadi Air Mata

Menarik tema yang diberikan. Bagaimana air yang begitu penting, namun seolah tidak pernah mendapatkan perhatian. Kala hujan banjir, namun saat kemarau kekeringan. Upaya yang mendasar seolah tidak pernah terpikirkan. Kelimpahan ketika musim penghujan seharusnya bisa diupayakan untuk "disimpan," sehingga tidak malah menjadi bencana berkepanjangan.

Klasik banget, ketika musim kering atau panas hadir, kekeringan melanda, ada pula kebakaran lahan, lagi-lagi air sangat krusial, namun abai dijadikan bahan permenungan bersama. Kekurangan, padahal belum lama kelebihan, sehingga banjir.

Fenomena di kampung saya, banyak pengusaha air, dengan truk tanki atau colt menjual air sumur dalam yang mereka kelola mandiri.  Tidak ada yang salah, karena memang belum ada aturan mengenai hal tersebut. Mirisnya, banyak pula tukang jual beli kayu untuk bangunan ataupun industri. Mereka keliling dari rumah ke rumah, kampung ke kampung membeli kayu atau pohon yang cukup besar. Dua sikap yang bertentangan dengan menjaga mata air.

Semua itu di luar kendali, karena semua demi memperoleh pendapatan dan penghasilan demi keluarga masing-masing. Namun, saya pribadi memiliki kepedulian, minimal untuk diri dan keluarga. Di rumah ada dua sumur dengan kedalaman delapan  meter  dan tinggi air kurang lebih enam meter. Sumur satunya kedalaman dua meter, air setinggi dua meter lebih, di atas permukaan tanah dengan tambahan buis. Tidak perlu menimba.


Mengapa debit air setinggi itu? Sekeliling rumah banyak   pohon besar, termasuk batang pohon kenitu atau sawo ijo yang sudah berusia lebih dari setengah abad. Konsekuensi logis atas kesegarannya adalah sampah dari daun kering atau bunga yang berguguran.

Secara umum, jika mau merawat mata air, ada beberapa hal berikut yang bisa dilakukan, tentu ada keputusan atau ketetapan aturan yang sangat kuat bisa terjadi demikian. Misalnya perumahan vertikal, bukan lagi rumah tapak. Perlu kerja keras untuk itu, mengubah keyakinan.

Ruang terbuka hijau

Hal ini terutama untuk perkotaan, yang dipenuhi dengan beton dan gedung besar atau bertingkat.  Keberadaan ruang terbuka hijau untuk menyimpan air dan menyerap cairan yang ada di permukaan, tidak selalu harus mengalirkannya ke parit, selokan, sungai, dan bermuara ke laut. Mengapa tidak disimpan, ketika kemarau bisa dimanfaatkan.

Membuat lubang biopori. Hal yang sangat baik, bisa dilakukan di perumahan ataupun perkampungan kota yang padat penduduk, memanfaatkan jalan dengan memberikan lubang relatif kecil untuk menampung air, dan menimbul sampah organik. Menyehatkan tanah dan memberikan kesempatan untuk air tetap di bawah tanah, tidak perlu jauh-jauh membangun kanal dan pompa air untuk mengalirkan sampai ke laut. Ingat, biopori bukan sumur resapan yang tidak berguna itu.

Mengubah mind set soal rumah tapak, mulai mikir rumah susun

Keberadaan tanah makin sempit, terutama untuk kota-kota besar. Nah, perlu mengubah pola pikir rumah harus di atas tanah. Sudah perlu berganti haluan, rumah susun atau rumah vertikal. Hemat ruang dan tanah, sehingga memberikan kesempatan banyak ruang untuk air tetap menjadi air tanah.

Sangat tidak mudah memang, karena model dan pola pikir memiliki tanah dan rumah di atas tanah sendiri itu begitu besar. Hanya  kota metropolitanlah bisa berubah kebiasaan ini.

Identik dengan itu adalah pemakaman. Lahan makin sempit. Akan terkendalan mengenai ajaran agama, jika bicara pemakaman tanpa tanah, kremasi atau bertingkat. Agak jauh lebih rumit dan susah akan hal ini.

Toh, semua bisa diupayakan dan dicoba, demi masa depan bumi dan keberadaan air ataupun mata air.  Dunia lain, Israel sudah menemukan alat untuk menangkat udara dan diubah menjadi H2O . kreatif, harganya masih cukup mahal untuk perorangan, Rp. 75 juta menurut toko online.  Toh ini juga khabar gembira, kemajuan teknologi.

Kurangi beton

Hampir semua tempat, pekarangan, bahkan ke desa-desa tertutup beton.  Padahal jauh lebih bak jika rumput atau minimal paving. Memang lebih susah dan mahal dari pada beton,  namun demi keberadaan air dan penyerapannya toh tidak perlu bicara mahal atau murah, namun bagaimana air bisa terserap dan tidak perlu jauh-jauh mengalirkannya.

Menyimpan air di sekitar itu tidak ada yang buruk ataupun salah, malah bagus. Lingkungan adem dan juga tanaman menjadi lebih segar.

Belum lagi jika bicara limpasan air dari rumah bisa lari ke rumah tetangga karena penuh dengan betonan. Tentu saja hal ini sangat tidak bijaksana.

Pun masalah yang sama dengan talang rumah yang dijatuhkan ke jalan, bukan ke selokan, di desa-desapun mulai marak. Sangat tidak bijaksana, malah cenderung egois, yang penting bukan di rumahku atau pekaranganku.

Hemat air

Perilaku boros air ini terjadi di mana-mana. Bisa diuapayakan untuk menyiram tanaman di taman atau jalan-jalan menggunakan air biasa, tidak perlu air bersih. Pun di mall atau  hotel untuk menyiram urinoir atau closet lebih baik air bekas, ingat bukan air di washtafel lho ya.

Di rumh-rumah kran diperhatikan, hemat bukan dalam air pelit, namun menjaga kelestarian air yang bisa jadi suatu saat akan menjadi mahal dan bisa tidak terjangkau. Dapat terjadi, jika tidak ada kebijakan mengenai air yang digunakan dengan seenaknya sendiri.

Tanam pohon

Penanaman pohon, terutama kayu keras adalah bank air terbaik. Contoh pohon beringin di mana tahan cuaca, dahan atau batangnya tidak laku, sehingga tidak banyak pembeli kayu berminat akan batang pohon ini. Memang  perlu lahan yang cukup luas. Desa-desa yang memiliki bandha desa, atau kekayaan desa bisa mencoba hal ini. Tiap desa  ada 10 saja pohon ini berusia lebih 20 tahun, akan memanen air.

Pohon buah, seperti mangga, rambutan, duren atau kayu produksi semaca sengon, jati, atau mahoni asal bertahan lebih dari 20 tahun juga menyerap banyak air. Sayang sedikit orang yang mau repot.

Alasan klasik, ogah nyapu, karena kudu kerja keras, dengan banyak pohon pasti akan ada daun rontok. Lebih baik waktunya untuk nonton TV atau ain hape dari pada harus menyapu.  Kadang juga konflik dengan tetangga, yang ikut kejatuhan daunnya. Pengalaman pribadi ini, padahal mereka juga menikmati oksigen yang mereka hirup. Pendidikan tinggi lho, bukan kurang pengetahuan, he..he... malah curhat.

Pemanfaatan daun untuk pupuk. Daun bisa dipakai untuk pupuk dengan menggunakan biopori. Lingkungan asri, tanaman subur, dan sehat.

Udara lebih segar, tanpa pendingin ruangan. Pepohonan sebagai penghasil oksigen sangat membantu. Lingkungan asri dan  udara segar, gratis lagi.

Pembangunan embung, waduk, situ, bendungan, dam, dan danau buatan. Jelas ini brankas atau bank air yang sangat penting. Menampung curah hujan, dan banyaknya air kala musim penghujan. Hal yang sangat penting, di mana lebih banyak membuang air, dengan embung dan kawan-kawan malah menampung. Apa yang akan diperoleh itu air tersedia, ada juga kemungkinan mata air di sekitarnya.

Sekadar konsep, dan sudah melakukan apa yang bisa, seperti menanam pohon dan mempertahankan pohon-pohon besar untuk menabung air, jangan sampai mata air menjadi air mata derita tiada akhir.

Kehendak baik bersama sebagai sebuah gerakan tentu akan sangat berarti, jika banyak orang berfikir yang sama, tentu mata air akan berlimpah, tanpa banjir. Tidak akan terdengar lagi kekeringan saat musim kemarau.

Terima kasih dan salam

Susy Haryawan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun