Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kala M Melawan Takdir Viral, Jangan Jadikan Duta UU ITE!

15 Agustus 2022   15:08 Diperbarui: 15 Agustus 2022   15:25 283
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
UU ITE Alfamart: Detik.com

Kala M melawan "Takdir Viral" Jangan Jadikan Duta UU ITE

Menarik apa yang terjadi dan menjadi perbincangan di media sosial, seorang ibu diduga ngutil coklat malah menuntut si pegawai dengan pasal UU ITE. Ada dua hal yang menarik, pertama, galakkan maling dulu hanya pengutang yang demikian. Kini ternyata pengutil sama galaknya, apalagi mampu "membeli" pengacara.

Kedua, keberadaan pengacara yang menggunakan UU ITE, ia abai atau malah tidak paham, bahwa kliennya maling, ada ditulis besar-besar kalau konsumen yang ketahuan mengambil tanpa membayar akan berurusan dengan pihak yang berwenang. Di sini tentu saja kepolisian, tindak pidana, maling mau gede atau kecil ya sama saja.

Apalagi kala manajemen perusahaan tidak tinggal diam. Mereka tidak demikian saja menerima persoalan ini selesai damai. Hal yang baik, jangan sampai konsumen sebagai raja namun maling masih mengaku raja yang baik hati. Pembiaran selama ini atas nama konsumen adalah raja, dan menjadikan karyawan sebagai pesakitan.

Beberapa pertanyaan cukup menarik jika diajukan ke Ibu M? Jika tidak direkam dan diviralkan, akankah tetap membayar. Boleh atas nama kelupaan, teledor, atau abai, kemudian ngeloyor pergi. Apakah jika beli HP di toko si ibu ini akan bersikap sama, atau malah memanggil satpam dan menggelandang ke kantor polisi, tanpa mau tahu?

Biasanya sih, orang yang kelupaan membayar, akan berupaya untuk membayar atau  kembali dengan berbagai cara untuk tidak malah membawa pengacara. Kan pernah viral anak yang membawa mainan kemudian dibayar si orang tua dan malah saling  mendukung untuk berbuat kebaikan? Bukan malah menggunakan jasa pengacara.

Viral itu kini telah menjadi malaikat maut untuk pegiat media, mau bisnis ataupun sekadar senang-senang. M ini tentu tidak akan pernah bermimpi bahwa karena pilihan arogannya membuat tokonya dihukum oleh netizen dengan bintang satu (1), sebuah toko online dengan rating serendah itu sudah ambang maut. Malaikat maut bernama netizen itu sudah bertitah dan tidak bisa lagi dicabut.

Belum lagi, sekelas Hotman Paris turun gunung. Pengacara level itu yang dipakai si M baru sepadan. Hotma Sitompul, atau OC Kaligis, baru sepadan. Pengacara ini mikirnya lumayan bisa ikut meramaikan porto folio dalam menangani kasus. Namun malah bisa-bisa bukan pansos, malahan nyungsep karena akan berhadapan dengan pengacara nomor wahid di negeri ini, susah melihat peluangnya bisa menang. Bisa damai saja sudah bagus.

Setuju pihak  Alfa untuk tetap maju. Berikan pada karyawan dan keluarganya nyaman, aman, dan tenteram bekerja. Tidak ketakutan dengan orang-orang arogan atas nama mampu menyewa pengacara.  Karyawan dan juga keluarga memiliki kepastian, jika berhadapan dengan konsumen arogan tidak akan menjadi korban dua tiga kali lebih parah.

Bayangkan sudah harus membayar barang hilang, masih bisa-bisa kena pidana pencemaran nama baik dan fitnah. Kan berabe, bagaimana ia bisa menjadi pekerja yang baik, jika kerjanya was-was terus.

Sikap ini tidak menambah daftar panjang arogansi karena uang dan mampu  menyewa pengacara, bagaimana di jalanan, di pesawat, orang bisa melakukan apa saja karena nanti bisa minta maaf, malah jadi duta ini dan itu. Kan ngaco, jangan jadi duta UU ITE lho M ini, jika iya, makin parah deh kekacauan negeri ini.

Pembiaran pelaku arogansi karena uang, jabatan, dan kekuasaan masih demikian kuat. Mbok coba dibalik, jika itu mengena pad anak, cucu, atau keluarga kita? Apalagi sama-sama pedagang. Jangan karena merasa lebih sehingga bisa melakukan hal yang seenaknya sendiri.

Hal yang sering terjadi bukan? Mak-mak ngamuk ke pramugari karena ditegur, anak pejabat  ngamuk karena ditegur kakinya tidak sopan, pejabat minta pesawat balik, orang menampar orang lain, padahal dia yang salah.

Gibran sebagai walikota bagus dalam bertindak. Ia meminta paspamres yang memukul warga Solo untuk minta maaf.  Perlindungan bagi warga padahal paspamres itu pengawalnya. Bisa dibayangkan biasanya warga yang akan dijadikan kalah-kalahan.

Pelajaran berharga, bahwa semua orang, manusia, pribadi itu sama. Perbedaan pada peran, fungsi, dan tugasnya di dunia ini. Manusianya sama. Sayang bahwa tabiat feodalisme di negeri ini masih demikian kokoh. Miris 77 tahun merdeka, namun arogansi atas nama kekayaan dan kedudukan itu masih demikian lekat.

Agama yang seharusnya menjadikan orang menghargai manusia lain karena karakkternya teryata belum bisa. Mengapa? Karena agama masih sebatas ritual, apal, sama sekali belum menyentuh amal dan membedakan mana yang baik dan buruk.

Pendidikan. Sebatas nilai akademik, lulus UN, tingginya nilai bukan proses mendapatkan nilai itu. Kebocoran ujian, menyontek, menyuap agar masuk sekolah idaman jelas membuat orang bingung dengan standar moral.

Keteladanan. Elit negeri ini tidak memiliki sikap yang baik mengenai moralitas. Ngeles jika ketahuan, mengaku dibajak jika terdesak, dan meterai cemban jika mentok, itu juga dilakukan elit agama apalagi politik. Sikap teladan buruk itu sangat mudah menular dan menjamur.

Penghargaan atas kekayaan, jabatan, dan kekuasaan sekaligus dipampang untuk mendapatkan itu semua cara-cara buruk pun dipertontongkan dengan sangat vulgar. Mengerikan, ditingkahi senyam-senyum padahal kriminal, maling lagi. Menghargai proses tidak mau, budaya instan.

Hiburan tidak sehat. Lihat saja FTV, sinetron, film kisahnya itu-itu saja, rebutan kekayaan, pasangan, dan citra glamour, enggan kerja keras.  Padahal melek literasinya rendah, masih disuguhi tontonan yang murahan. Sudah klop. Di depan mata, kesaksian, keteladanan, hiburan, pendidikan, saling mendukung menuju kepada kesuraman.

Hentikan arogansi karena manusia itu sama. Rendah hati dan tahu diri itu ciri beragama yang hakiki, bukan malah sebaliknya.

Terima kasih dan salam

Susy Haryawan

  

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun