Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Pembuktian Macan Mengeong, antara Prabowo dan Edi Mulyadi

27 Januari 2022   10:36 Diperbarui: 27 Januari 2022   10:41 706
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Macan: Liputan6.com

Berebut Macan Mengeong antara Prabowo dan Edi Mulyadi

Cukup menarik apa yang Edi Mulyadi nyatakan. Polemik yang hingga hari ini masih cukup panas menjadi pembahasan. Sedikit yang pro, lebih dominan yang kontra. Melibatkan salah satu partai besar. Ketua umum dan juga menteri, dengan kader dan penggemar kelas berat.

Beda jika meenyebut Jokowi, atau Airlangga. Gelombang laporan tidak akan sedemikian gede. Lihat saja laporan KPK untuk Gibran dan Kaesang tidak cukup gede penolakannya. Ini Prabowo dengan Gerindra. Masih ditambah menyentil Kalimantan.

Lebih asyik lagi, mencermati kilah dan silat lidah mereka. Bagaimana mereka mencoba mengelabui publik dengan dalih dan dalil yang makin menmperlihatkan kelucuan. Tudingan Prabowo macan mengeong malah berbalik arah. Kini Edi yang ciut nyali. Belum lagi sikap pendampingnya yang mengatakan monyet dan mengaku untuk dirinya, dan kemudian menyalahkan Edi sebagai pemancing sehingga ia menyebut monyet.

Sikap bertanggung jawab itu ternyata tidak mudah

Suka atau tidak, Ahok masih terdepan untuk sikap bertanggung jawab. Ia menjalani persidangan dan pidana tanpa ribet dan ribut menyalahkan pihak lain. Padahal sangat jelas  apa yang dituduhkan itu sumir. Buktinya jelas, bagaimana Buni Yani juga mendekam di penjara.  Lihat, bagaimana Edi berubah menjadi macan mengeong padahal hal itu ia tuduhkan pada Prabowo.

Tiba-tiba menjadi kucing alim yang kehilangan taring dan cakar, sehingga khas perbuatan  kelompok mereka. Meminta maaf. Mengaku agamis, tetapi hanya lamis. Meminta maaf itu baik, tetapi benar tidak bahwa meminta maaf itu juga mengubah perilaku. Ini poin penting sebagai orang beriman.

Sebuah kisah spritual menuliskan, anak yang biasa marah, oleh bapaknya diberi paku dan palu. Setiap kali emosional hadir, ia harus menancapkan paku pada sebuah papan. Lama-lama anak ini mulai sabar. Si bapak mengubah cara mendidiknya. Kini si anak setiap kali mengalahkan kemarahan kudu mencabut satu paku di papan itu.

Perjalanan waktu memang mengubah si anak menjadi tenang, sabar, dan tidak meledak-ledak lagi. Ia datang kepada bapaknya dan mengatakan, semua paku sudah habis dicabut dan tidak ada lagi paku yang ditancapkan lagi.

Mereka berpelukan dan melihat bersama-sama papan itu. Si bapak dengan hangat mengatakan, apa yang terjadi pada papan itu? bekas paku yang melubangi papan. Keberadaan papan itu tidak sebagus sebelumnya, meskipun sudah dicabut paku-paku yang menancap.

Maaf memang sangat mudah terucap, terutama bagi para pelaku kekerasan dan ujaran kebencian terutama yang merasa mayoritas, pemain politik banyak kawan, dan berseberangan dengan pemerintah.

Jika maaf tidak mempan, akan mencari dalih, pemerintah otoriter, tidak paham demokrasi, dan sejenisnya. Padahal esensi demokrasi sejatinya adalah tanggung jawab. Kebencian, rasis, dan kekerasan itu tidak ada dalam alam demokrasi.

Pidana karena kriminal, membuat onar, nanti akan diglorifikasi antiagama tertentu. Mirisnya masih banyak pihak yang suka cita untuk menabuh genderang dan begitu banyak pula masyarakat yang percaya demikian.

Mengapa demikian?

Begitu banyak orang yang gila jabatan namun abai untuk bekerja keras. Siapa saja mereka?   Yang pernah berkuasa, kemudian mengeruk keuntungan gede, kini kudu membayar atas perilaku ugal-ugalan masa lalu itu. Mana rela.

Penguasa masa lalu yang malu karena tidak bisa bekerja. Mereka ini juga ingin menyelamatkan aset sekaligus reputasi. Nah, demi itu semua, mereka rela menggunakan kaki tangan yang maunya keadaan politik tidak stabil.

Pihak asing yang merasa biasa nyaman mengeruk sumber daya alam, kini susah. Kerja sama dengan elit tentu saja. Nah, mereka-mereka ini yang membeayai dan juga menciptakan narasi-narasi kekacauan. Sudah biasa ngakali nikel, batu bara, nikel, dan minyak bumi. Kini, semua ditangani Indonesia sendiri pantes lah mereka meradang.

Barisan ideologi dan politik yang bercampuraduk dengan  agama. Mereka ini merasa sudah ada di atas angin. Kemenangan di depan mata. Eh tiba-tiba HTI dan FPI sebagai andalan mereka dibubarkan. Meradanglah, maunya kekuasaan sudah tinggal rengkuh, eh ambruk berantakan. Kini mereka ini tinggal puing-puing, konsolidasinya makin kacau.

Susah melihat Edi Mulyadi tidak menyusul Buni Yani dan Ratna Sarumpaet.  Akan masuk bui karena ujarannya keterlaluan, plus menyoal Prabowo.  Layak ditunggu akan seperti apa drama di pengadilan nanti.

Lihat saja PKS dan juga Tifatul Sembiring yang   sempat membela sudah meminta maaf. PKS sebagai kelompok solid sudah melepehnya. Tidak mengakui apalagi kelompok yang lainnya.

Kucing itu pasti kini sudah tidak berani lagi melihat media sosial. Bagaimana berseliweran mandau terbang, kemarahan ataupun candaan yang mengerikan sudah  demikian masif. Hanya  menunggu waktu untuk polisi bergerak.

Nusantara secara alamiah sudah menampi mana kambing mana domba. Yang tidak layak terangkut pada kapal besar NKRI kejayaan di masa depan, kini sudah memilih untuk menjadi kenangan. Semesta sudah mengatur, bahwa keadaan Indonesia semakin baik, bukan malah mundur dan menjadi hancur.

Rel sudah pada jalurnya. Kejayaan itu sudah mulai dan akan terjadi.

Terima kasih dan salam

Susy Haryawan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun