Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Jokowi, Pejabat Polisi, dan Ormas Onar

7 Desember 2021   20:11 Diperbarui: 7 Desember 2021   20:23 338
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kawasan kekuasaan yang berawal dari pengkolan, stasiun, terminal, atau halter berkembang menjadi jalan, kecamatan, dan kota. Di sinilah nilai tawar sudah menjadi berbeda. Kapolres perlu erbaik-baik pada pihak ini, agar keadaan, selama ia menjabat aman dan baik-baik saja.  Beberapa hal layak dicermati;

Mengamankan jabatan, bukan kawasan apalagi negara. Tentu tidak ada makan siang yang gratis, mereka perlu kenyang agar tidak teriak-teriak minta makan baca upeti. Nah apa yang dilakukan? Ya sowan dengan membawa amplop alias angpao.

Fenomena yang sangat wajar dan seolah biasa dan tidak ada apa-apa. padahal ini fatal. Kalau keadaan tidak aman, mereka akan memanggil "si petinggi", ternyata bukan kelompok mereka, nah mereka ini yang dikerahkan untuk menetralisir.  Bentrokan horisontal sangat mungkin terjadi bukan?

Demi keadaan "aman" ini kan tidak mungkin dari anggaran belanja mau negara atau daerah. Uang dari mana itu? Gaji si pejabat? Ya jelas tidak akan mungkin. Terus dari mana? Ya lingkaran setan mau tidak mau akan terus terjadi. Uang dari mana  saja, yang pasti "penguasa" itu  jinak.

Hal yang identik di penjara. Ada istilah hotel prodeo, untuk Tuhan, alias gratis. Apakah demikian adanya? Presiden Jokowi pasti belum tahu keadaan senyatanya di balik tembok penjara. Selain mafia pasal juga jual beli hidup di buen. Mampus yang tidak punya uang.

Begitu banyak keruwetan dan kerusakan bangsa ini. Dua periode seolah tidak cukup. Tapi suka atau tidak, toh harus diterima sebagai sebuah azas demokrasi. Bagaimana negara yang sudah menapak jalan baik ini kemudian akan kembali kepada keadaan buruk lagi.

Pembiaran. Seolah hal yang biasa saja upeti, memalak, dan ormas-ormas berkedok mau agama atau nasionalis, mengais rezeki dengan memaksa pihak lain menyetorkan kepada mereka. Tanya saja pelaku usaha, mau angkringan tepi jalan sampai perusahaan omset milyaran mengalami hal yang sama. Tentu saja berbeda kelas dan harganya.

Pembiaran yang sama, adalah atas nama berbagi rezeki. Oke bisa diterima ketika memberikan dengan suka rela, uang rokok atau uang terima kasih. Masalah adalah ketika sudah mematok besaran sebagai sebuah keharusan.

Apalagi sudah ada perbaikan gaji dan sebagainya. Naif, gaya kuno yang terus menerus dipakai.

Tabiat malas namun gaya hidup tinggi. Semua level ada. Pejabat ya maling uang negara. Kelas menngah ya malak kanan kiri dan bawah, nyuap atasan. Kelas akar rumput ya malak kanan kiri yang sama-sama miskin.

Feodalisme. Model memperalat pihak lain menekan ke samping dan bawah namun menjilat ke atas. Khas feodal. Sama yang disinggung Presiden Jokowi sebelum menyoal pejabat polisi sowan ke elit ormas setempat. Bangsa ini masih begitu memuja yang berbau asing.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun