Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Apa Salah Puan?

24 Mei 2021   13:13 Diperbarui: 24 Mei 2021   13:24 532
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mendadak ramai, ketika Ganjar dinilai keminter, dan tidak diundang dalam acara bersama Puan. Konsolidasi di Semarang, Ganjar Gubernur Jawa Tengah berkedudukan di Semarang, tidak hadir. Berseliweranlah asumsi, spekulasi, dan analisis.

Partai-partai politik mulai bergenit ria untuk mendapatkan keuntungan dari sana.  Wajar, karena posisi Ganjar di dalam survey meyakinkan. Kinerjanya juga moncer, ketenaran dalam hal prestasi juga bagus. Minim kontroversi dan sudah membuktikan bahwa ia layak bersaing untuk pilpres.

Trus salahnya Puan apa?

Ada narasi yang beredar, karena Ganjar terlalu getol main medsos dan dari sanalah ia populer, eits jangan salah, mau menggunakan medsos untuk populer juga sah-sah saja. Siapapun, apalagi memiliki dana dan sumber daya manusia yang bisa digerakkan, apa salahnya?

Puan itu menang tanpa kampanye dalam pemilihan anggota dewan, bukan hanya sekali, setiap kali. Artinya, ia sudah punya jaringan. Nah, mudah menggunakan jaringan ini untuk bermain media sosial. Bayar admin untuk menjalankan tentu saja dengan arahan dan konsep Puan.

Murah meriah kog media sosial itu untuk membrading diri, apalagi politikus. Nama Puan sudah tenar, hanya perlu lebih dikenal, terutama buah pikirnya seperti apa.

Tanggapi semua dinamika politik, isu sosial, ekonomi. Data-data A-1 semua. Lihat, amati, dan cermati arah arus angin ke mana. Aneh dan lucu saja sebenarnya. kedudukan ktua DPR, presiden dari partai yang sama. Kan enak.

Keliru ketika bersikap. Menyoal larangan mudik dan kedatangan TKA. Ini aneh dan lucu. Kebijakan pemerintah dan juga dewan pasti tahu soal investasi, pandemi, dan juga bagaimana keputusan itu diambil. Benar-benar salah langkah. Malah menghajar presiden dari partai sendiri.

Berani bersuara, jadikan itu panggung dan polemik, bukan malah diam setelah ramai. Dua kali paling tidak, padahal benar, mengapa mundur. Soal Padang dan Sumatera Barat yang menggejala sebagai kawasan intoleran. Sepanjang ada data, sumber jelas-jelas bahkan media pun sudah memberitakan, mengapa tajut?

Kesempatan untuk membangun citra diri dan itu sah-sah saja. Mengapa tidak. Lihat saja Ridwan Kamil besar karena media sosial. Fadli Zon juga penggila media sosial. Eh Ganjar pun demikian. toh banyak kesaksian, bagaimana Ganjar begitu cepat merespon laporan via media sosial dan langsung tertangani. Ini jembatan emas pemimpin justru.

Berbeda dengan model penggunaan media sosial oleh kelompok barisan sakit hati yang menebarkan narasi pembentukan persepsi. Apa yang Ganjar lakukan selama ini justru membantu ia sebagai pemimpin atau kepala daerah, tidak ada yang salah.

Masalah pada PDI-P ini ada dua kelompok, di mana ada loyalis namun masa lalu, hanya mengandalkan kesetiaan, dan mereka ini tidak mampu mengejar perkembangan zaman. pilkada serentak kemarin beberapa daerah terjadi konflin internal karena ini. Adanya  keinginan para loyalis namun  minim inovasi dengan para darah muda yang belum cukup ternilai loyalitasnya namun memberikan harapan dan fakta.

Friksi yang wajar ini, jika tidak dikelola dengan baik, bisa jadi malah berubah menjadi bom waktu yang merusak semua hal. Keputusan Mega untuk mendorong kelompok muda dibanyak daerah menjadi pembeda. Kemenangan yang penuh perhitungan dan adanya perubahan paradigma, ini harapan bagus.

Kini, ketika banyak narasi kejengkelan karena Ganjar dan Puan sebagai partai politik kawakan pasti sudah berhitung. Tidak lagi sekaku masa-masa lalu. Memang, masih terlihat kadang feodalisme dan kolotnya mereka, namun sudah tidak separah yang lalu-lalu.

Pengalaman dipecundangi poros tengah dan SBY sebaiknya menjadi pelajaran berharga. Hitung-hitungan politik itu tidak sekaku matematika. Dengungan Jokowi/Ganjar, bukan PDI-P-nya layak dicermati.

Nah, kadang, loyalis yang senior ini gagap melihat fenomena ini, karena mereka sudah nyaman dengan diri dan jaringannya. Kaca mata mereka terbatas, melihat dengan konsep masa lalu.  Padahal masa kini berbeda, bahkan jauh dari yang ada.

Kesempatan berprestasi itu juga harus mendapatkan dukungan. Kelemahan bahwa partai menjadi segala-galanya memang fakta yang harus diakui. Apakah perlu revisi untuk bisa lebih baik? Masalahnya, siapa yang mau, kan pembuat UU mereka-mereka juga, parpol. Lha mosok keenakan mereka mau dikebiri?

Sayang memang, jika masih seperti ini terus, mekanisme partai yang menghambat pekerja keras, penganut paham prestasi di atas lainnya, dibandingkan loyalis, apalagi jika itu berkaitan dengan darah ideologis.

Jika Puan memang serius, jauh lebih baik adalah bekerja keras, buktikan dengan kinerja dan bicara lebih banyak. Jangan  terkesan malah mengerdilkan pihak lain dengan kekuasaan kepartaian. Jangan menyesal jika Indonesia jadi seperti Jakarta.

Ini persoalan serius, jangan sampai nasionalis, kalah oleh kepentingan agama-radikalis hanya karena kaum nasionalis  berpikir egosentrisme kepentingan sendiri. Bangsa ini terlalu besar jika hanya diperebutkan demi kepentingan sendiri, keluarga, atau kelompok.

Masih akan panjang,  banyak asumsi dan spekulasi hingga 24, dan  layak dinantikan seperti apa ujungnya. Jangan sampai pembangunan dan perubahan yang sudah terlihat itu akan balik ke zaman lampau, menjadi medan jarahan dan pesta pora kaum elit.

Terima kasih dan salam

Susy Haryawan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun