Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Akankah Gereja Katolik Mengalami Revolusi Kedua?

15 April 2021   12:41 Diperbarui: 15 April 2021   12:51 547
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: obormedia.com

Akankah Gereja Katolik Mengalami Revolusi Kedua?

Hampir dua tahun lalu, saya membaca buku Musa dari Jerman, isi buku itu mengenai Protestanisme dan kiprah Marthin Luther yang awalnya adalah imam Gereja Katolik. Berbeda dengan Hans Kung, tetangganya, dan beda era serta zaman.

Hans Kung dihukum dengan pencabutan hak mengajarnya ia tetap setia sebagai imam Gereja Katolik hingga akhir hayatnya. Tentu tidak hendak membandingkan dengan Martin Luther, itu pilihan bebas dan konsekuensi, bukan soal mana yang lebih baik atau buruk. Biar Sang Pencipta yang menilai mereka.

Usai Hans Kung meninggal, eh malah mmbaca ulasan, di mana Gereja Jerman, lagi-lagi Jerman, menyoal keberadaan Gereja Katolik. Sangat mungkin terjadi keadaaan sebagaimana lahirnya Protestanisme, di mana merekaa dulu juga mengritik gaya hidup elit Roma yang dinilai melenceng dari gaya hidup yang semestinya.

Hal yang awalnya adalah kritik ke dalam institusi gerejani, oleh anggota gereja, yang berujung pada perpisahan yang sangat memedihkan. Upaya rekonsiliasi yang belum cukup memberikan dampak luas, eh kini terdengar lagi.

Protes atas reaksi, pilihan, dan keputusan Roma, Vatikan, yang ternyata bagi banyak elit gereja Jerman menilai tidak seperti yang mereka inginkan. Ada beberapa isu yang menjadi ganjalan, dan itu mereka nyatakan dalam peringatan 500 Tahun Reformasi. Menempelkan tulisan-tulisan dari gugatan Martin Luther di pintu gereja mereka.

Uskup hingga pastor biasa melakukan aksi itu. Protes pada  Gereja Roma yang masih bersikukuh tidak menahbiskan perempuan, dan penerimaan legal pernikahan sejenis. Sepanjang saya tidak salah  menangkap dalam artikel yang cukup panjang itu.

Berbeda dengan gerakan lebih lima abad lalu adalah sebagai berikut;

Pertama, dulu yang menjadi ini masalah adalah keberadaan gaya hidup dan cara berperilaku paus dan jajarannya jauh dari apa yang semestinya. Artinya, jelas, bukan soalhal yang dogmatis. Meskipun ujungnya ketika terjadi perpisahan, hal yang dogmatis yang terbawa.

Contoh penjualan surat penghapusan dosa. Ini yang menjadi persoalan adalah penjualannya, bukan soal pengakuan dosa seharusnya. Nah ketika berpisah, pengakuan dosa tidak ada, langsung kepada Sang Pencipta. Tidak masalah, toh itu buah pikir.

Kedua, dulu masih banyak keterbatasan. Martin yang dipanggil Vatikan, sangat mungkin salah sangka karena kendala, bahasa, jarak, dan sebagainya. Ia malah merobek undangan klarifikasi itu. Kini, semua bisa teratasi dan terjembatani.

Ketiga, hal yang sangat dinamis, namanya juga lembaga manusiawi, Ilahiah itu perlu penafsir, dan berbeda itu mungkin. Tetap manusia dengan segala masa lalu dan pengetahuan serta pengalamannya. Bisa salah, bisa benar, bisa keduanya. Pihak lain juga sama saja.

Keempat, jembatan antarapersonal kini pastinya jauh lebih cair dan hangat, tidak sekaku dan sesaklek era dulu, apalagi jika hari-hari ini, Paus Fransiskus dari daratan dunia ketiga. Arogansi dan model pokok e jauh lebih kecil. Toleran dan sangat terbuka untuk berdiskusi.

Kelima, Paus Fransiskus mengatakan, menghargai pilihan cinta sejenis, untuk didampingi agar hak mereka terpenuhi, tentu saja bukan dalam konteks hak menikah di dalam Gereja. Ini salah satu  yang menjadi upaya gereja Jerman agar Vatikan mengubah kebijakan ini.

Harapannya sih, ketika pernah terjadi pemisahan yang sudah 500 tahun masih juga menyakitkan. Apa mau diulang. Jika terjadi, sama juga dengan Inggris dan Anglikan, imam prempuan, dan pernikahan sejenis menjadi legal.

Lha apa iya, hanya persoalan semacam itu, bukan hal yang sangat mendasar, kemudian terjadi pemisahan. Ini hanya soal kemanusiaan, dan ujungnya HAM, padahal ada yang jauh lebih fundamental. Tentu tidak bisa mengesampingkan, bahwa percintaan sejenis, kadang hanya karena emosional dan gaya hidup.

Yang lebih hakiki, bagaimana mereka bisa menghasilkan keturunan, sebagaimana salah satu tujuan perkawinan Gereja Katolik, dan ada di dalam Kitab Hukum Kanonik. Bagaimana hal ini bisa dipertaggungjawabkan oleh para  pendukung gerakan pernikahan sejenis.

Emosional kadang membuat rasionalitas menipis, bahkan hilang. Jangan karena berpikir, membela HAM, kemudian menafikan hal yang lebih mendasar dan sangat fundamental. Layak ditunggu bagaimana ke depan dan masa depan Gereja menghadapi "badai" seperti ini.

Akankah reformasi jilid II dari Jerman juga akan menghasilkan  ajaran dan agama baru?   

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun