Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[Cerpen] Kangen Sekolah

15 September 2020   19:10 Diperbarui: 15 September 2020   19:17 382
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Keprihatinan mendasar yang seolah tidak dianggap oleh elit yang hanya ribut mengenai kekuasaan, proyek, dan jabatan. Miris mendengar Ali dan keluarganya berjibaku menyiasati masalah pandemi dengan cara mereka.

Pekan lalu sudah ada keputusan dari pemerintahan setempat, dan kami para staf pendidik setuju membuka kelas terbatas. Tetapi, tiba-tiba, Ibu Ani marah-marah datang ke sekolah dan mengatakan, tidak rela anaknya menjadi kelinci percobaan. Kepala sekolah tentu tidak mau ribut dan ribet dan memutuskan untuk menunda membuka kelas. 

Bu Ani ini sebenarnya tidak tahu apa-apa mengenai pandemi dan covid, hanya tahu sepenggal-sepenggal melalui pemberitaan yang tidak utuh juga. Jadinya ribet. Susah memberi tahu orang yang paham separo, bukan lagi salah paham, tetapi paham yang salah. Mirisnya, dia ini ketua arisan pengantar anak di sekolah. Barisan mereka ini cukup banyak, dan mereka datang berombongan seperti demo.

Kepala sekolah, di dampingi guru komplit, dan kebetulan Pak Kepala Desa sedang mau berangkat ke kantor desa melihat ada ramai-ramai, sebelum Kepala Sekolah menjawab, Ibu-ibu itu sudah disemprot Pak Kades karena merekaa tanpa mengenakan masker, berteriak-teriak dan bergerombol. Mereka sudah salah pada langkah awalnya, dengan tidak setia pada protokol kesehatan, tetapi sok-sokan memperjuangkan kesehatan anak mereka.

Namanya juga Bu Ani, sudah salah malah nyolot, Pak Kades dengan tegas mengundang polisi, dan menjadi reda, karen Bu Ani dan kawan-kawan takut dan diam. Masih tetap ngotot anak-anak mereka tidak boleh masuk sekolah.

Kejadian menjadi tambah lucu, ketika Ani malah memimpin teman-temannya, bagus malah mereka mengenakan masker, malah banyak pula yang memakai face shield, dan berjarak melakukan "demo tandingan" untuk bisa tetap masuk sekolah.

Kami, para guru dan pihak sekolah dan Pak Kades jadi tertawa bahagia, bagaimana orang tua diajari anak-anak. Bu Siti salah satu provokator menghardik anak-anak, bahwa mereka tidak akan diberi uang jajan kalau masih bandel mau sekolah. Ini sih senjata pamungkas, siapa yang bisa melawan mak-mak kalau soal begituan.

Pak Kades dan para guru hanya bisa tersenyum kecut dan mengelus dada, tidak bisa berbuat banyak jika menghadapi senjata begitu. Anak-anakpun bubar melihat uang di tangan mak mereka masing-masing.

Pada akhirnya Bu Ani dan Bu Siti dibawa ke kantor desa oleh Pak Kades dan Bu Polwan, untuk diberi pengertian dan pemahaman yang lebih tepat. Benar saja, akar masalahnya merekaa ini tidak paham, hanya mendengar kata orang dan kata media, anak-anak akan dijadikan kelinci percobaan untuk menghadapi situasi baru. Kan ngaco.

Pemahamana baru Bu Ani dan kawan-kawan sudah membaik, tetapi kerusakan karena rencana dan aksi mereka membuat keadaan tidak serta merta menjadi mudah. Keputusan akhir bahwa masih menunggu kembali keadaan lebih baik.

Fakta anak-anak itu mau sekolah dan taat protokol kesehatan sudah ada di depan mata. Mereka datang melawan demo mak-mak dengan cara yang baik sebagai murid di masa pandemi. Menjadi mentah karena ancaman uang jajan itu tidak akan mudah diselasaikan, mereka masih kanak-kanak lho.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun