Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Pancasila Jangan Sampai Koyak

1 Juni 2020   15:05 Diperbarui: 1 Juni 2020   15:09 201
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pancasila Jangan Sampai Koyak

Selamat Hari Lahir Pancasila

Hari-hari ini, semua tidak ada yang kebetulan, semua masuk dalam rancangan Yang Kuasa.  Begitu banyak suara-suara yang seolah Pancasila itu salah, bukan hal yang sesuai dengan ajaran agama, atau malah seolah itu adalah sebuah kesesatan. Ada yang menggaungkan komunisme plus sisi lain adalah ideologi agamis, ultrakanan.

Komunis, entah mengapa begit kencang berembus lagi ketika pandemi menyerang. Terinspirasi Vietnam atau  China yang lebih cepat sukses mengatasi covid, atau apa, entahlah. Tetapi narasinya berbeda. Berarti bukan karena kesuksesan pemerintahan dua negara itu dalam mengatasi covid pembicaraan komunis menguat.

Khilapah yang seperti minuman ringan, apapun makannya, minumnya teh S, ini juga, bencana penyelesaiannya khilapah, korupsi khilapah solusi, dan sebagainya. Toh pelaku korupsi juga ada yang menjadi penganut khilapah. Apalagi soal bencana, memangnya ada di dunia ini yang tidak pernah terjadi bencana? Omong kosong, bukan sekadar utopia. Siapa coba yang akan menjadi pemimpin ketika benar khilapah itu terjadi? Lihat  minimal dari 212 bagaimana kepemimpinan mereka ada dan bagaimana kesetiaan pada pimpinan itu terjadi.

Dua hal yang menghangat di antara hari-hari lahir Pancasila ini. Keduanya bisa  saling berkolaborasi demi mendapatkan panggung untuk mengganti Pancasila. Bertolak belakang dalam prinsip bukan berarti mereka tidak mungkin bersama dalam politik praktis. Dalam permukaan mungkin saja mereka dapat bersikap bak tom n jerry, tetapi demi "musuh" yang sama dan tujuan yang sama, bukan tidak mungkin mereka bisa berjabat erat.

Sila-sila Pancasila semuanya bermuara pada nilai-nilai agama. Apapun agamanya, apapun aliran kepercayaannya, toh mengajarkan Tuhan Yang Maha Esa. Sila pertama jelas religius sekali. Apanya yang tidak sesuai dengan agama coba. Ini adalah keputusan politik artinya ada kompromi-kompromi demi kepentingan yang lebih gede.

Semua telah setuju dengan rumusan itu. Ada yang kecewa mungkin saja. Nah itulah kebesaran jiwa bapa pendiri bangsa. Penghormatan akan perbedaan diminimalkan dan mendapatkan persamaan yang lebih gede. Apanya yang bertentangan dengan agama jika demikian?

NKRI adalah landasan berpikir untuk mengambil jalan tengah oleh para sesepuh bangsa ini. Pertimbangan matang  bukan demi kelompok dan apalagi pribadi. Salut atas para pendahulu bangsa.

Soal aplikasi dan sikap penghargaan termasuk beragama itu masalah implementasi. Pancasila sebagai yang ideal telah memberikan jaminan, bagaimana dijalankan itu berbeda. Kesalahan pada yang melakukan.

Sila kedua menjamin kemanusiaan itu segalanya. Mana ada sih agama yang mengajarkan kemanusiaan boleh dikalahkan demi sesuatu, atau keadilan boleh disingkirkan demi memenuhi hasrat sekelompok saja? Itu sih pemahamana hidup beragama anak-anak. keakuan, egoisme jelas hanya kanak-kanak yang menghidupinya.

Kemanusiaan itu satu, tidak ada sekat, kotak, dan pembeda oleh pilihan politik atau agama. Memang dalam kehidupan bersama masih ada ketimpangan dan itulah tugas kita bersama. Sikap mengalah dan memilih untuk menang-menang harus dikedepankan, bukan mengalahkan.

Sila ketiga sangat jelas bagaimana persatuan itu adalah milik bangsa ini. Benar masih mudah tersulut karena perbedaan persepsi, perbedaan afiliasi, dan itulah keprihatinan kita. Tabiat, budaya adiluhung kita kalah karena memang ada yang memainkan narasi pemisahan untuk memperlemah bangsa ini.

Kekayaan alam yang melimpah itu pada satu sisi adalah kekuatan, namun juga menjadi ancaman ketika banyak bangsa lain juga mengincar. Belum lagi anak bangsa tamak yang menjual negara demi secuil uang hasil makelaran. Kebanyakan elit bangsa ini mental makelar, calo, bukan seorang bos yang berpikir jauh ke depan dan besar. Sekadar calo, manol, yang memikirkan receh, tanpa mau tahu bisa lebih banyak yang diperoleh jika mau kerja cerdas.

Sila keempat, ini sedang menjadi trend untuk diinjak-injak. Pelaku antidemokrasi namun seolah paling demokratis. Mengatasnamakan demokrasi padahal aslinya adalah penghianat demokrasi itu sendiri.

Kebebasan bersuara. Ini selalu saja menjadi dalih, andalan, dan kebiasaan dari elit hingga akar rumput untuk mendeskreditkan seseorang. Padahal mereka lupa jika kebebasannya itu juga beririsan dengan kebebasan pihak lain. Fitnah, hoax, kog melindungi diri dengan atas nama kebebasan bersuara. Ini dobol kura namanya. Munafik. Bagaimana sikap mendua itu seolah kebanggaan. Lupa sila satu bukan? Mana ada ajaran agama kog munafik?

Merasa demokrasi kemudian menolak kepemimpinan yang dihasilkan oleh pemilu. Haduh lebih lagi koplak dan koclok di sini. Bagaimana tidak, ketika orang bisa seenak udelnya mengatakan tidak mengakui hasil demokrasi dengan menggunakan dalildemokrasi.

Ini hanya soal kedewasaan atas demokrasi. Maka pemilih itu orang yang sudah dewasa, ketika masih kanak-kanak, orang gila tidak boleh memilih. Yang suka teriak-teriak merasa tidak memilih itu tentu bukan anak-anak atau tidak waras, namun orang yang pura-pura tidak waras. Kalau waras kan mikirnya luurs bukan seenaknya sendiri.

Ada yang sangat lucu, ketika dua elit negeri ini berbicara Pancasila. Mahfud MD menyatakan pentingnya Pancasila sebagai ideologi, eh ada yang mengatakans eolah itu tidak penting. Fadli Zon yang memang biasa omong dulu baru mikir lupa, bahwa inisiatif RUU soal  Ideologi Pancasila  itu dari dewan, dan dia ada di sana.

Sikap bertanggung jawab dan bukan asal waton sulaya juga menjadi penyakit hidup berbangsa secara bersama-sama. Miris sejatinya ketika orang tahu namun tidak mau tahu hanya sekadar mau mempertontonkan ketidaksukaan politis.

Keadilan sosial. Jelas ini sedang diupayakan Jokowi, harga BBM bisa setara bahkan hingga Papua itu prestasi namun itu sekaligus juga ancaman karena mental calo yang biasa mendapatkan komisi. Iya ini hanya soal komisi BBM jadi riuh rendah. Malah rakyat biasa menyubsidi ketamakan dan kerakusan elit dengan membeli BBM yang sudah mereka permainkan.

Memang masih harus dilalui, bahwa ketidakdewasaan dalam banyak hal itu menghambat. Tetapi tidak bisa dipaksakan, karena ada orang bisa gede hanya karena nasi bukan karena pembelajaran hidup.

Terima kasih dan salam

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun