Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Nies, Belajarlah pada Jokowi, Prabowo, dan yang Satu ini!

19 April 2020   20:13 Diperbarui: 19 April 2020   20:26 1679
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mau pihak lain yang menyematkan gubernur rasa presiden atau dirinya sendiri, melihat gelagatnya Anies memang maunya RI-1. Itu sah-sah saja,  hal yang dilindungi UUD bahkan. Tidak ada yang bisa membatalkannya. Siapapun boleh dan berhak, namun tentu ingat kapasitas diri dan politik juga penting.

Sebelum menjadi gubernur ataupun menteri, dia pernah mencoba peruntungan politik melalui konvensi partai Demokrat. Lumayan mentereng, sayang ujungnya tidak jelas, karena Demokrat kalah telak dalam pemilu dan hanya menjadi penggembira.  Termasuk keberadaan calon dari konvensi buyar tidak karuan. Lumayan melompat padaa kubu Jokowi dan bisa menjadi jubir nasional dan sempat mencicipi menteri.

Usai diganti jadi menteri, menjadi gubernur bersama dengan Gerindra dan PKS. Tidak memiliki partai tetapi lumayan bisa ke sana ke mari. Tetapi untuk presiden apa bisa? Beberapa tokoh layak dilihat dan dijadikan referensi.

Prabowo dan Harry Tanu, termasuk juga Wiranto, mendirikan  kendaraan khusus untuk tujuan itu. Di sini, masuk golongan ini, ada nama SBY, tetapi berbeda kasus, pembahasan point tersendiri lebih pas. Prabowo, Wiranto, dan HT sangat tidak beruntung. kendaraan karpet emasnya gagal mengantar ke mana-mana. Lumayan Prabowo masih bisa ikut bersaing dan berdarah-darah hingga tiga kali.

Bandingkan denga Wiranto, Amien Rais, dan juga Harry Tanu yang mencoba tahap satu saja tidak cukup jauh melaju. Padahal sejak lama sudah mmebangun citra dan aneka aksi untuk menampilkan  diri sebagai seorang politikus dan tokoh partai cukup mentereng.

Ada kendaraan saja tidak cukup, jika tidak ada faktor-faktor lain yang bisa memberikan jaminan nama, prestasi, capaian, dan sebentuk harapan yang meyakinkan publik. Partai saja tidak cukup. Sama juga memiliki pesawat namun tidak mampu mengemudi, tidak cukup bahan bakar, dan gps-nya tidak akrat, tidak menjadi jaminan.

SBY, cukup gemilang dibandingkan rekan-rekannya, seperti tersebut dalam pembahasan di atas. Sekali langsung sukses. Toh harapan panjang tidak ada. Usai mengantar menjadi presiden, menang, dan terjun bebas dua kali berturut. Lagi-lagi kendaraan itu bukan jaminan.

Faktor lain sangat banyak dan kebetulan banyak membantu SBY untuk naik menjadi presiden. kemudian juga tidak bisa banyak berbicara, apalagi ketika kasus demi kasus membelit keberadan partai mercy ini. Lagi-lagi bukti  partai politik bukan segalanya.

Jokowi, ini orang bukan politisi sebenarnya. Pekerja ulung yang mendapatkan kesempatan karena partai banyak mendapatkan keuntungan. Rekaman panjang sejak walikota dan itu moncer bukan biasa-biasa saja. Pilihan dengan angka termasuk tertinggi untuk periode kedua. Jaminan rakyat puas, dan kinerja itu jelas.

Naik menjadi gubernur pun demikian. hasil kerjanya jelas, terukur, dan berdampak dengan jelas dan tidak terbantahkan. Perencanaan matang, pilihan dengan blusukan yang menarik simpati dan kesukaan media dan rakyat. Itu bonus, bukan sebuah paksaan di dalam menaikan citra. Sudah ada citra dan itu menarik masyarakat dan media untuk meliput.

Partai yang memang krisis kepemimpinan, dengan suka cita datang merubung, ini sejak dari bawah, level walikota. Memang sangat minim di pemilihan gubernur dan presiden periode pertama. Tetapi berbalik ketika periode kedua. Parpol  datang.

Partai politik memang tidak mutlak, namun ada prasyarat untuk bisa menafikan keberadaan partai politik. Pendaftaran hanya bisa oleh dan melalui partai politik. Memang selama ini bisa lari dan lompat partai apapun. Hal ini bisa menjadi masalah, ketika tidak terikat, namun juga sisi lain bisa terbuang dengan cepat oleh para elit partai politik.

Layak dilihat bagaimana partai-partai berada.

Demokrat susah mengusung kader luar partai. AHY dapat dipastikan akan menggunakan partainya untuk mengantar pada kursis. Memang sangat mungkin untuk memberikan karpet bersama. Penting koalisi dengan siapa, ketika hambatan psikologis Demokrat sangat besar.

Partai gede, Gerindra, PDI-P, dan Golkar tentu juga kader sendiri. Berarti peluang semakin kecil lagi. Gerindra tetap akan mengusung Prabowo, apapun yang terjadi tetap calon yang sama. Rasa penasaran dan keinginan itu masih cukup kuat.  Relatif lebih gampang Gerindra mengajak siapapun karena keberadaan partai yang tidak terlalu kecil.

PDI-P jelas memiliki pertimbangan sendiri dengan sangat matang. Kader-kader mereka sangat banyak. Ada Puan, Ganjar, dan Risma yang bisa dan lebih menjanjikan karena prestasi mereka. Bukti sudah ada. Covid ini memberikan bukti kinerja Ganjar yang gemilang.

Dua partai besar sudah sangat kecil kemungkinan. Masih ada Golkar. Nah partai ini juga memiliki kader dan faksi yang cukup besar. Kemungkinan cukup sulit, ketika mereka juga membutuhkan rekan partai lain.

PKS dan partai-partai menengah ke bawah. Cukup riskan, seperti PKS, Nasdem, dan PPP,  juga PAN, mereka selain sangat kecil, kurang solid di dalam membawa seorang calon dalam beberapa kali gelaran pemilihan tidak menjanjikan. Benar Nasdem solid, PKS siapa yang bisa membantah kesetiaan kader mereka. Toh itu semua belum cukup. Masih terlalu kecil dan ada karang lain yang bisa menjadi batu sandungan.

Tanpa partai, namun kinerja keren itu jaminan. Pilihan-pilihan selama ini malah jauh dari populer. Pendekatan pada cara-cara usang yang sudah terbukti tidak lagi manjur. Ingat pilkada DKI 2017 itu bukan capaian sukses, itu karena adanya masalah lain yang menjadi bahan bakar.

Era politik dan kepemimpinan prestasi, banyak kepala daerah yang memperlihatkan kesuksesan. Jangan malah asyik dengan keyakinan diri dengan cara-cara lama yang sudah berkali ulang gagal. Pembelajaran pilkada Jateng, pilpres 2019, pola pendekatan yang sama dan memberikan bukti ke mana arahnya.

Belum lagi masih banyak kandidat lain yang sangat moncer dan memiliki jaringan kuat, dukungan politik baik. Bisa disebut Mahfud, ada pula Ridwal Kamil, dan masih ada empat tahun nama yang masih mungkin muncul.

Waktu masih terlalu panjang untuk menabung citra, akan berbeda jika itu adalah capaian dan prestasi gilang gemilang. Terlalu dini menjadikan masa pandemi ini sebagai bekal untuk 2024.  Boleh dan sah-sah saja sebagai permainan dan bekal politik, namun apa ya cukup, ketika belepotan di sana sini dari pada tinta emas yang menoreh di dalam sejarah.

Terima kasih dan salam

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun