Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

SBY Tantrum Lagi, Loloslah Jokowi dari Jebakan "Kudeta"?

11 April 2020   20:13 Diperbarui: 11 April 2020   20:17 6334
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

SBY Tantrum Lagi, Loloskah Jokowi dari Jebakan "Kudeta"?

Era Bung Karno makar ya jelas dengan pemberontakan fisik, senjata, atau paling halus ya penjatuhan kabinet. Kekerasan lagi dengan penembakan dan ancaman pembunuhan. Hal yang masih lumrah, era kemerdekaan masih baru. Penjajah pengin balik lagi dengan cara apa saja. Di dalam negeri banyak pula yang ngarep untuk jadi presiden.

Keterlibatan baik Belanda, Inggris, atau Amerika sering terungkap ketika menyelidiki lebih lanjut pemberontakan atau perilaku kudeta. Jelas dengan kaki tangan politikus dan elit dalam negeri sendiri. Sangat bisa dimengerti dengan luasan Nusantara, masih banyak kekurangan di sana-sini. Ketidakpuasan atas banyak hal. Kondisi masih belum stabil.

Pergantian orde, jelas dengan model otoriter, kendali satu tangan yang bernama Soeharto, makar berarti habis. Upaya untuk itu sama sekali tidak ada. Lha hanya pentas seni judul "Suksesi" saja dibredel, apalagi aksi. Back up militer, khususnya angkatan darat, kepolisian pun dalam kendali militer, praktis aman sentosa. Selama 32   tahun sama sekali tidak ada goyangan pemerintah dengan nama makar, kudeta, atau sidang istimewa MPR sekalipun.

MPR jelas sudah dikondisikan Soeharto dengan ketat. Tukang setempel lima tahun sekali. DPR pun pemilihannya semua lewat tangannya. Dua fraksi utama Golkar dan ABRI jelas sejuta persen adalah pendukung dan penyokong utamanya. Fraksi PPP dan PDI pun hanya simbol, bukan asli partai yang memiliki daya.

Era reformasi, terutama untuk almarhum BJ Habibie, almarhum Gus  Dur, dan Megawwati sangat tidak relevan dibicarakan penggulingan kekuasaan. Memang ada dengan sidang istimewa MPR bagi kedua nama presiden almarhum itu. Sama juga "kudeta" sahih.  Megawati relatif aman, dalam kondisi transisi dan persiapan pemilu langsung cenderung aman.


SBY.

Sepuluh tahun hasil pemilihan langsung, militer pun dalam koridor baik-baik saja, pemilihan politik kawan seribu kurang, cenderung menyenangkan semua pihak. 

Subsidi membabi buta, ormas apapun tumbuh dengan  subur. Oposan diam seribu bahasa, namun maraknya penangkapan KPK pada elit memberikan indikasi diam karena asyik berpesta kue negara yang mereka nikmati.

Memang marak penangkapan dan juga matinya teroris. Bom sering kali meledak di sana-sini. Toh susah melihat itu sebagai rongrongan terhadap pemerintah. Kecenderungan ideologis. Atau malah ada dugaan pengalihan isu tertentu. Usai itu sepi kog, tidak ada lagi terorisme yang seseriuh rendah masa SBY.

Kecenderungan untuk mengganti presiden, menggulingkan kekuasaan, baik konstitusional melalui dewan, majelis, ataupun legalitas lainnya sama sekali tidak ada. Parlemen jalanan untuk itu juga nihil. Relatif tidak ada tuntutan SBY mundur yang nyaring terdengar, termasuk dari PDI-Perjuangan sebagai oposan dan penantang kuat melalui Megawati. Sama sekali tidak ada.

Jokowi

Entah ini, kog bisa begitu banyaknya tuntutan mundur. Partai politik melalui pelaku-pelakunya, ormas, mendadak ulama, atau siapapun bisa lantang mengatakan Jokowi mundur, ganti presiden, dan sejenisnya. Termasuk mahasiswa.

Apa karena bukan kalangan elit, anak kolong atau jenderal, sehingga orang meremehkan dan merendahkan? Termasuk pula orang biasa yang harusnya bersyukur bahwa anak cucunya yang biasa nantinya bisa pula jadi presiden. Kog malah ikut-ikutan membully.

Tidak usah berbicara selama pemerintahan, dalam kurun waktu yang sekejab saja, narasi ganti Jokowi demikian banyak. Ada beberapa yang sangat  besar dan aneh sebenarnya.

Ahok dan kisah pilkada DKI 2017

Ahok yang memang lambene lemes, ini menjadi sasaran tembak. Jadi bukan soal China dan Kristen sejatinya. Karena ia menjadi kucing bagi tikus-tikus di manapun berada. Nah kebetulan lambene turah ya itu yang jadi sasaran. Ada pula Buni Yani yang menggunakan moment itu. Gayung bersambut.

SBY sampai turun gunung dengan lebaran kudanya. Jelas karena dukungan untuk AHY, dan melihat Ahok adalah rival utama yang perlu disingkirkan. Sangat logis dalam berpolitik. Dan menjadi demo berkelanjutan yang sangat melelahkan.

Toh narasi Jokowi mundur juga ada. Dikaitkan dengan relasi ketika menjadi pasangan gubernur dan wakil gubernur, dan mereka memang sangat solid. Kinerja moncer dalam banyak hal.

Kisah Mei

Pemilu sudah berlangsung pun pilpres demikian. Hasilnya sudah memberikan bukti. Selisih juga tidak tipis-tipis amat. Toh malah nuntut sana sini, bahkan ada anjuran Jokowi mundur demi kesatuan bangsa. Lucu lah pokoknya. Demo dengan kondisi sangat panas. Nada dasarnya sama Jokowi mundur, tidak jadi presiden.

SBY cukup diam dalam kejadian ini. Militer diwakili oleh pensiunan saja. Mereka diketahui ada pertemuan dan adanya aksi yang berujung pada penangkapan. Mengapa menyebut militer? Keberadaan mereka sangat penting dalam bernegara.

Kejadian September.

Usai penetapan, belum juga satu tahun, toh dengan dasar RUU yang mau disahkan lagi-lagi demo. Intinya sih mau ikut pemerintahan dan yang lama enggan keluar. Toh narasi yang sama, Jokowi mundur.  Tekanan untuk masuk dalam kabinet atau jabatan lainnya sih fokusnya. Toh keadaan sangat panas juga.

Peran SBY hanya diam. Bisa saja mau ikut dan masih ngarep jadi tidak berbuat aneh-aneh.  Elit mereka juga tidak banyak ulah. Cukup menjadi anak manis.

Corona-19

Lantang sekali SBY, mulau dari AHY yang mengatakan Indonesia bisa porak poranda, SBY mengatakan koordinasi yang buruk, dan menelurkan lagi lagu. Tantrumnya jauh lebih tinggi, apalagi "pengendalinya" almarhumah Ibu Ani sudah tiada. Makinlah menjadi.

Semua juga paham seperti apa koordinasi, penanganan Pak Beye dalam banyak kasus. Mendiktekan gagasannya yang belum tentu sama dengan apa yang sedang dihadapi juga. Masalah penangkapan orang yang melakukan fitnahan, ujaran kebencian, berbeda dengan apa yang pemerintahan alami lalu-lalu. Beda era beda kondisi, jangan dipersama-samakan.

Kondisi Jokowi

Tentu bukan pemuja, tidak pula buzzer, tetapi setuju dengan pilihan sulit Jokowi. Sekian banyak orang hanya mencela tanpa mau tahu kesulitan Jokowi. Nah apakah kali ini akan juga bisa bertahan sebagaimana kasus-kasus yang lalu?

Prabowo dan Gerindra ada di dalam pemerintahan. Sedikit mengurangi beban kata-kata buruk sebagaimana yang lampau. Keberadaan Prabowo sebagai "rival" terkuat Jokowi dalam dua pilpres ada dalam kabinet mengurangi tekanan itu. Soal banyak elit Gerindra nyaring sumbangnya, tidak cukup signifikan.

Militer jelas solid di belakang pemerintah. Sejarah militer mengawal pemerintahan yang sah itu penting. Sekali melakukan kudeta, akan terulang dan menjadi penyakit yang sangat buruk. Sejarah tetap baik demikian adanya.

Terasa bahwa banyak upaya untuk menjatuhkan pemerintahan. Syukur bahwa banyak orang-orang baik, kompeten, dan nasionalis ada di dalam kabinet. Harapan untuk tetap baik adanya. Lucu saja 200 negara kena pandemi corona, hanya di sini yang ribut soal suksesi. Orangnya ya itu-itu saja sih sebenarnya.

Terima kasih dan salam

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun