Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Oposan, Buzzer, Partai Politik, dan Kursi Kabinet

10 Oktober 2019   14:04 Diperbarui: 10 Oktober 2019   14:17 129
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Cukup menarik hari-hari ini, ketika pembicaraan kursi kabinet begitu intens. Parpol jelas menjadi yang terdepan untuk merasa paling berhak atas kursi. Terus ada pula ormas, yang dalam masa kampanye menyatakan netral, tidak mendukung, namun toh tetap juga minta "jatah". Unik kali ini adalah "oposan" yang nganyang, bahkan ngancam untuk memberi tig pos dengan kualifikasi khusus.

Dalam waktu yang hampir berbarengan, media Tempo mengeluarkan tudingan buzzer dengan menyebut istana sebagai salah satu pemakai kuat "jasa" mereka. Nah terminologi buzzer dalam konteks uraian ini adalah yang mendekati pemakaian Tempo.

Sejak 2014, sebelum pilpres apalagi usai Jokowi memerintah, entah siapa yang jelas nada salawi, demikian masif. Semua salah Jokowi. Semua tudingan dan kesalahan Jokowi. Hutang negara Jokowi. FPI dapat diambil alih pun Jokowi salah karena bisa grati katanya. Ada mobil esmeka, Jokowi salah, gak ada pembohong, dan ada lagi antiulama, antiagama tertentu.

Ke mana parpol? Diam seribu bahasa. Dalam kampanye kemarin pun cukup miris. Gambar Jokowi-Amien di jalan-jalan kalah banyak dari Prabowo-Sandi. Ada palingan parpol dengan gambar caleg mereka. Gambar capres dan cawapres relatif sedikit. Hanya gambar saja enggan apalagi membela ketika Jokowi terdesak. Tidak perlu menyebut JK juga.

Hantaman begitu banyak dan menteri pun diam seribu bahasa, apalagi parpol. Mulai dari pansus KPK awal dulu, pembangunan infrastruktur yang masif, pencalonan kapolri dengan drama tersangka KPK, soal Ahok, semua Jokowi yang menghadapi. Menteri riuh rendah malah bukan pada yang urgen, namun pada kepentingan partai atau kepentingan sendiri.

Menteri dan parpol jauh dari seharusnya di dalam mendukung dan menyokong keberadaan dan pilihan pemerintah. Lha kadang partai pendukung saja lebih galak dari oposan? Bagaimana bisa demikian, toh itu faktual.

Apalagi usai keputusan MK di mana Jokowi lagi-lagi menang atas Prabowo. Serangan demi serangan bertubi-tubi, dibarengi langkah, nggapleki dewan lagi-lagi juga parpol menggelontorkan berbagai-bagai RUU dan itu menjadi bulan-bulanan banyak pihak. Mana parpol? Mikir kursi lagi. Ke mana menteri? Pelantikan aggota dewan dan diam saja, nunggu dipakai akan  mendukung, gak dipakai menelikung.

Ketika Jokowi sendirian, lahirlah pada pendukungnya yang suka rela. Kalau bahasa Tempo buzzer, dengan konotasi bayaran. Sah-sah saja juga toh namanya juga dugaan dan tudingan. Biar waktu yang akan menjawab.

Satu yang jelas bahwa buzzer dan relawan Jokowi yang pegiat medsos itu berjibaku di media sosial, berkelahi narasi denan kelompok yang tidak punya otak dan rasa. Mesin bahkan yang bekerja. Dimaki, dihina dina, kadang termasuk orang tuanya segala. Toh tidak ada yang ngarep menjadi menteri kog. Ke mana partai politik dan oposan atau menteri-menteri? Ada gak?

Narasi yang memutarbalikan fakta, pegiat medsos yang mendengung-dengungkan kebenarannya. Lagi-lagi makian yang diterima, oh ngakak saja. Dan itu selalu saja sama pelaku yang memutarbalikan fakta, menuding dengan membalikan data dan fakta. Contoh, mereka yang suka memfitnah dan bohong akan membalik pembela Jokowi tukang fitnah dan bohong. Tidak mampu berdebat padahal mereka lah yang demikian. Kalau tidak  panjang sabar bisa edan, menghadapi orang yang sudah dicuci otaknya. Manusia gua Plato memang ada.

Apakah ada yang sudah tenar di medsos sebagai buzzer, itu mengarap atau dinyatakan sebaga calon menteri, minimal menjadi apa di BUMN? Sama sekali tidak. Entah nanti, yang jelas sampai saat ini yang riuh rendah adalah parpol, ormas, dan juga malah oposan.

Lucu juga jika demikian, ketika ada noda mereka seolah-olah anti dan jauh-jauh, begitu ada madunya mereka semua merapat dan berharap dapat sesuatu. Jelas bukan dalam kapasitas membela buzzer, atau mencela parpol dan ormas, namun yang bekerjalah yang layak mendapatkan upah. Jika tidak berarti maling, malas, atau malak.

Menyatakan diri netral hanya dalih agar bisa mendapatkan buah dari siapapun yang menang, beneran demikian? Jika memang netral jelas juga netral tidak berharap memperoleh kursi. Itu adil namanya. Tidak mau susahnya mau enaknya. Tidak mau mengupas nangka mau manisnya.

Parpol benar mereka yang paling berhak mendapatkan prioritas, namun jangan lupa presiden yang mendapatkan mandat dan hak prerogatif. Sejatinya bangsa dan negara yang harus menjadi prioritas. Orang-orang terbaik dalam menjalankan roda pemerintahan, apapun latar belakangnya.

Miris ketika orang berlatar belakang  parpol banyak yang masuk dan antri dalam kasus korupsi. Begitu banyak orang parpol yang sudah terjerat dan jatuh. Itu masalah juga sejatinya. Namun apa mau parpol sadar akan kelemahan itu?

Mengapa Tempo begitu meradangnya? Kemarin dalam salah satu komentar atau tayangan media sosial mengatakan, buzzer rela teriak karena Jokowi, belum tentu ada elit lain yang akan dibela seradikal Jokowi. Masalah hidung pinokio menjadikan Tempo merana. Terjun bebas. Wajar jika mereka menuding bak orang mau tenggelam, menghantam siapa saja. Dan itu adalah konsekuensi logis.

Tempo sebagai salah satu contoh kasus di mana mereka bisa "ditenggelamkan" kekuatan buzzer, ingat ini sesuai terminologi mereka sendiri. Pun demikian juga bagi ormas dan parpol yang bermain-main pada komitmen berbangsa dan bernegara.

Ini bukan soal Jokowi semata, namun soal harkat dan martabat bangsa. Kebetulan adalah Jokowi yang hingga hari ini masih cukup bisa dipercaya dibandingkan elit yang lain. Itu perbedaannya.

Ketika yang lain berbicara kursi, relawan sudah akan beralih pada kisah-kisah bernegara yang lain. Jalani saja peran masing-masing dengan apa adanya.

Terima kasih dan salam

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun