Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Tantangan untuk DPR, Novel Baswedan, dan Komisioner KPK

15 September 2019   09:30 Diperbarui: 15 September 2019   09:39 596
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Apalagi pihak-pihak yang sudah disebut dalam vonis banyak terpidana korupsi, toh selama ini belum ada yang diurus lebih lanjut. Paling-paling hanya satu atau dua pihak saja. Padahal susah melihat korupsi hanya dua atau tiga pihak. Contoh jelas KTP-el dengan Setnov dan kawan-kawan itu. Masih demikian banyak yang belum diapa-apakan.

Pengalaman sudah ada kog, pengampunan pajak itu identik juga sebenarnya. memang berbeda, saunya nyolong dan satunya ngemplang, toh sama saja. Penyelesaian yang tidak jauh berbeda, sistem dan mekanisme yang dipakai masih mendekati. Memang tidak identik.

Pemiskinan. Sering orang mengatakan, hukuman bukan dendam, harus setimpal, melanggar HAM, dan seterusnya, preeet ah. Mereka juga tidak memikirkan HAM pas nyolong kog. Hukuman harus ada efek jera. Mengapa korupsi bisa demikian masif? Karena hukumannya angat ringan, masih bisa membeli, dan adanya remisi dan ditengarai juga jual beli terjadi.

Jadi ingat kemarin dalam media sosial, seorang rekan berpikir, penenggelaman kapal maling ikan efektif menekan angka maling ikan, jangan-jangan untuk sama dengan kasus korupsi. Jika ada hukuman berat bisa mengurangi keberanian maling-maling ini.

Tanpa pemiskinan mereka masih bisa membeli petugas penjara, perangkat hukum, dan akhirnya hukuman. Dari banding, PK, pura-pura sakit, remisi, dan seterusnya-seterusnya. Termasuk malah bisa membangun istana dalam penjara. Buat apa penjara tanpa ada efek jera? Siapa takut maling bermilyar jika begitu.

Pembuktian terbalik. Masyarakat itu tahu, paham, banyak pegawai dan pejabat itu gaya hidupnya tidak sesuai dengan profilnya. Mereka petentang-petenteng dengan kemewahan, gaya hidup, dan kepemilikan yang melebihi apa yang seharusnya mereka punyai, jika hanya bekerja dan mengandalkan gaji saja.

Nah selama ini semua itu hanya praduga, asumsi, dan sejenisnya. LHKPN pun sebatas anjuran, banyak pejabat yang tidak pernah melaporkan. Pun persoalan pajak juga masih kembang kempis. Adanya pasal atau UU Pembuktian terbalik, tentu membantu negara ini menjadi lebih makmur. Pribadi-pribadi lebih bermartabat karena bukan maling.

Tentu bukan iri atau dengki dengan orang kaya, namun biar kekayaannya itu sah, jelas, dan memang haknya dan itu tidak ada yang melarang. Buktikan dengan sah bahwa memang itu milik pribadi, atas usaha dan upaya yang selaras dengan hukum yang berlaku.

Hukuman mati. Mirip dan identik dengan pemiskinan. Karena mereka cenderung mengulang, berulah, dan membeli hukum seenak perut mereka, nah mengap tidak ada yang usul hukuman mati dalam kategori tertentu. 

Maling uang dana sosial, berulang, berulah di penjara, itu layak mendapatkan bonus dihukum mati. Lagi-lagi ini bukan soal dendam atau kekejaman serta melanggar HAM. Mosok orang yang tidak bebenah bahkan bedebah masih bicara HAM.

Alasan memberi kesempatan perbaikan diri, kan sudah terbukti tidak memperbaiki diri dengan membeli kesempatan dan mengulangi perbuatannya. Pembenarnya sudah habis, apalagi kejahatan ini sudah tidak dianggap lagi oleh para pelakunya. Masyarakat sudah muak, bahkan mual melihat mereka petentang-petenteng begitu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun