Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik

Abdul Somad, Beelzebul, dan Yesus

18 Agustus 2019   09:16 Diperbarui: 18 Agustus 2019   09:47 3788
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Berita dan media sosial sedang ramai dengan pembicaraan pengajaran Abdul Somad. Berseliweran beraneka ragam tanggapan. Grup pembicaraan demikian banyak kisah ini, baik video, narasi dari yang mengulas itu, ataupun tanggapan. Satu mengirim grup lain juga yang sama, eh tidak lama di grup yang sama ada kiriman yang sama. Haduh pokonya banyak banget hari kemarin dengan satu tema saja.

Pada saat yang bersamaan, saya janjian ketemuan dengan rekan yang sudah hampir lima belas tahun tidak ketemu di Gua Maria Kerep Ambarawa. Sepanjang di tempat itu, banyak banget saudara-saudara Muslim dengan jilbabnya, berjalan-jalan dengan biasa saja. Mereka bukan berjalan di taman doanya, yang menjanjikan pemandangan hijau dan bagus, tapi di kawasan gua.

Anak sekolah berjilbab, usai upacara mereka berkeliling, di tengah umat Katolik yang berdoa, bercengkerama, dan istirahat usai jalan salib, atau yang hanya duduk-duduk seperti saya. 

Saya perhatikan, yang jalan berjilab juga bahasa tubuhnya biasa, tidak takut-takut, atau khawatir. Umat Katolik  juga saya lihat tidak ada yang membelalak, apalagi membentak.

Jadi ingat beberapa tahun lalu ada prosesi perarakan salib di Kota Solo oleh militer dan polisi Kristiani. Ada yang protes bagaimana pertanggungjawaban si pemimpin ponpes itu jika ada santrinya  yang goyah imannya. Ini sudah saya jadikan ilustrasi artikel ketika kalinya kalau tidak salah.  Hal yang senada nampaknya dengan apa yang disampaikan oleh UAS, dalam pengajarannya.

Beelzebul, bisa dicari sendiri, namun konteks yang mau saya sampaikan adalah, Yesus ketika mengajar, sama dengan kondisi UAS, Yesus mengusir setan, kelompok status quo yang merasa terancam atas kehadiran guru baru dengan fenomenanya menyebarkan berita, kalau Yesus mengusir setan itu karena bekerja sama dengan Beelzebul, pemimpin para setan.

Jawaban Yesus layak menjadi referensi kita berfikir dan bertindak, bagaimana jawaban sederhana, bagaimana mungkin tuan rumah bekerja sama dengan maling merampok rumahnya. Jelas dan gamblang, mana mungkin setan diusir oleh pemimpin setan yang berkolaborasi dengan Yesus.

Tidak ada kemarahan, caci maki, apalagi berkelahi, padahal itu di depan Yesus langsung. Kali ini, jauh ribuan tahun, dan konteks yang terjadi pun  jelas dan gamblang. Salib memang lambang kehinaan, mau apa lagi? Peristiwa faktual itu memang penghinaan, hukuman paling hina dan keji, ditelanjangi, disiksa, dipaku, dan digantung. Itu fakta dan historis.

Apa yang bisa dipelajari dari peristiwa ini?

Satu, pelaporan  polisi itu memerlukan adanya rekomendasi dari lembaga resmi agama, dalam konteks ini KWI, apakah mau KWI  menyatakan itu penghinaan? Dan dua kelompok besar sama kuat berbicara hal itu dalam kutub yang berbeda. Sangat wajar.

Kelompok pertama, mereka menyatakan ini sebagai salah satu sarana penegakan hukum dan keadilan. Dasarnya juga jelas, yurisprudensi sangat banyak, dan kelompok ini juga ada yang berpiikir apologetis. Pembelaan iman. Tidak ada yang salah, memang  harus diluruskan.

Kelompok kedua, yang meyakini, jangan beri panggung, biar saja menguap bersama sang waktu. Ini pun bisa diyakini argumennya juga benar, logis, dan berdasar. Mengapa harus meributkan apa yang tidak esensial, toh tidak mengubah iman dan keyakinan juga. Mengapa harus ribet dan ribut.

Dua, ada pula kelompok atau orang yang mengatakan KWI mana berani bersikap model demikian. Ini pun sangat bisa dipahami. Mengapa? 

Pemahaman sebagian orang, umat itu ada yang sumbu pendek juga. Menimbang dan menakar segala sisi bisa sangat mungkin kurang. Pokoke dan kudu, ketika pihak lain harus disidang ini juga. Apa iya adil itu demikian? Lihat pengalaman Petrus yang memotong telinga prajutit, malah oleh Yesus dikembalikan utuh bukan?

Tiga, ini bisa menjadi urusan panjang, politis, dan keamanan. Lihat apa yang akhir-akhir ini terjadi. ada pembubaran ormas yang ditengarai adalah kelompok Antipancasila. Namun tidak ada perlakuan lanjutan atas para pemimpin dan para simpatisan kelompok itu. mereka ini bisa bergerak, menghimpun kekuatan, mengumpulkan jaringan untuk menjadi kekuatan baru yang tidak terdekteksi.

Mereka biasa membuat isu dan menggunakan kesempatan dengan adanya pahlawan yang bisa menjadi senjata demi meraih kepentingan mereka. Dulu Ahok telah menjadi kesuksesan besar mereka di mana orang bisa berkumpul atas nama penistaan agama. Apakah semua yang ada di sana semua sama ide, gagasan, dan keinginannya? Tidak juga. Politik toh ada dan cukup kuat.

Beberapa kali toh telah terjadi  untuk mendapatkan momentum dan pahlawan itu. Ada  kisah kriminalisasi ulama, Antiislam, sudah gagal karena  penanganan yang baik dan proporsional. Kemudian ada kelanjutannya dengan rusuh Mei dengan narasi mati syahid dan usungan keranda. Ingat model Palestina dan Timur Tengah lain, politik keranda sering sukses menangguk simpati.

Kemarin, Enzo juga sudah mulai panas. Untung penyelesaian militer sangat cerdik dan cermat. Apa yang sudah memanas bisa teredam. Jika dikeluarkan, narasi pemerintah dzolim dan bisa jadi gerakan yang bak bola salju. Ini bisa sangat besar dampaknya. Apalagi barisan sakit hari yang masih belum menerima pilpres masih cukup kuat.

Ijtimak ulama yang berjilid-jilid toh narasinya juga bukan bangsa dan negara, namun itu-itu saja. Jika mereka diselesaikan dengan hukum, akan pasti narasi antiulama dan pemerintah otoriter akan didengungkan.  Kondisi bisa ke  mana-mana.

Nah ini, jangan abaikan konteks pencarian "pahlawan" ini. Sangat mungkin penumpang gelap ala Gerindra kini sedang bergentayangan mencari tebengan baru. Kondisi ini yang harus dipahami banyak pihak, sehingga bisa  berkepala dingin.

Empat, ini adalah pengajaran khusus, internal, dan malah bisa ke mana-mana. Menyasar penyebar dan yang merekam. Jangan sampai emosional mengabaikan yang rasional. Jangan memaksakan keadaan sebagaimana Buni Yani dan Ahok. Akan berbeda. Jauh berbeda. Kondisi memang masih demikian. Ini fakta meskipun sudah merdeka 74 tahun.

Lima, ke mana pengampunan yang kata Yesus sampai 70 kali tujuh kali itu? Ini justru yang jauh lebih penting dan mendasar. Penghinaan apalagi yang lebih hina dari pada salib?

Enam, pembelaan boleh dan sah-sah saja bagi anak bangsa dan anak Gereja, namun ingat jangan malah menjadi ajang balas dendam, caci maki, dan menyerang pribadi. Ingat apa yang dikatakan  Yesus soal tuduhan kerja sama dengan Beelzebul bukan?

Tujuh, ini bukan yang pertama, dan bukan  yang terakhir, akan terus ada, dan apa iya, paket data, energi, dan waktu kita habis hanya membahas beginian? Tidaklah.

Kedewasaan beriman itu tidak di dalam keras membela diri dan mau membenarkan kesalahan, namun bagaimana memahami pemahaman yang berbeda dan memberikan klarifikasi pada waktu dan porsi yang tepat. Apapun yang dikatakan pihak lain, asal  iman sendiri kuat, mengapa ribet?

Terima kasih dan salam

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun