Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Keteladanan Revolusi Mental Kepemimpinan Jokowi Belum Menyentuh Pimda Ini

28 Juli 2019   08:59 Diperbarui: 28 Juli 2019   13:13 215
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Contoh Revolusi Mental Kepemimpinan Jokowi Belum Menyentuh Pimda yang ini

Pagi-pagi membaca berita ada pemuda menghentikan laju seorang pimpinan daerah untuk memperhatikan jalanan yang sedang pejabat itu lewati. Cukup tidak mengagetkan apa yang ia katakan dan lakukan, mengatakan jangan kurang ajar, ajudan dan pengawal yang keluar, sedang si "bos" tetap ada di kendaraan cukup mewah kalau melihat daerahnya.

Tentu upaya pemuda itu tidak mungkin langsung berbuat begitu, dengan mengadang jalan pejabat yang mau hadir ddalam sebuah acara, tanpa ada upaya sebelumnya. Atau sangat mungkin itu adalah satu-satunya jalan dan cara yang mereka ketahui, efektif, dan berhasil.

Tidak akan lama lagi pasti akan datang bantahan bahwa sikapnya si pimpinan daerah itu tidak demikian, maksudnya adalah ini, dan mbok bicara baik-baik, tergesa dengan pimpinan yang lebih tinggi, atau acara mahapenting, bla...bla..bla...

Sangat biasa, padahal apa yang terjadi spontan itu karakter dasar. Klarifikasi itu sebentuk upaya memperbaiki keadaan yang tidak ideal menjadi lebih baik. Sejatinya ini tabiat buruk yang selalu diulang, terutama dalam alam budaya politikus. Miris.

Pemimpin era kini adalah  kepemimpinan tidak berjarak. Lihat saja presiden seorang Jokowi sebagai presiden tidak jarang dihentikan lajunya untuk hanya sekadar salaman lho. Ini presiden, salaman itu  remeh, lha ini aspirasi soal jalanan, jalan yang dilalui pejabat artinya pejabat itu tahu namun tidak mau tahu.

Model kepemimpina  berjarak ini adalah warisan kolonial, yang dilestarikan oleh kesenangan beberapa pihak yang gila kuasa, gila hormat, dan suka menjadikan pihak lain sebagai alat. 

Jika itu kerajaan ya monggo saja, tapi toh Sri Sultan di luar keraton tidak bersikap demikian, itu feodalnya feodal saja tidak demikian, dan semua sadar memang demikian posisi dan tradisi yang ada, tidak akan ada yang merasa direndahkan berlaku demikian. Ada kesadaran.

Raja-raja kecil dengan adanya otonomi daerah yang kebablasan memang menjadi sebuah risiko dan konsekuensi yang harus diihadapi sebagai buah demokrasi yang masih berjalan tertatih. Susah menghilangkan tanaman yang sudah mengurat  mengakar.

Belanda jelas memberikan dampak luar biasa model feodalisme ini. Jelas mereka melemahkan budaya bangsa sehingga tidak memiliki jiwa berani, hanya menjadi pribadi penakut, takut salah, mengiyakan kata pembesar, ingah-ingih, minder, dan pasrah secara negatif. Keadaan apapun diterima sebagai nasib yang seolah tidak bisa diubah.

Hal sebaliknya melahirkan sikap iri, dengki, dan nantinya bergosip sebagai upaya menutupi keengananya berubah. Ada yang sukses dijatuhkan dengan opini sesat. Dan itu ternyata luar biasa mendarah daging dalam budaya hidup bersama dan terutama perpolitikan berbangsa ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun