Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kekerasan Anak oleh Anak kepada Anak

28 Mei 2018   06:00 Diperbarui: 28 Mei 2018   08:46 673
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tribun Sumsel - Tribunnews.com

Kekerasan oleh dan kepada anak, ironis, dalam beberapa hari terakhir ada dua paling tidak berita kekerasan hingga kematian yang korban dan pelaku adalah anak-anak. Miris lagi mereka saling kenal, bahkan satunya adalah kakak beradik. Kekerasan menggantikan budaya welas asih, dan kematian menggeser budaya kehidupan dan harapan.

Kisah pertama, anak usia lima belas tahun membunuh gadis cilik, usia enam tahun. Usai membunuh, korban dimasukan karung dan dibuang. Tiga minggu  polisi baru berhasil menemukan pelaku. Konon pelaku dendam pada ibu korban. Entahlah, bukan ini yang utama, biar polisi dan peradilan yang menyelesaikan.

Kisah kedua, seorang anak usia 14 tahun yang marah karena keinginan memakai motor dilarang ibunya. Melampiaskan kekesalannya pada kakaknya yang sedang tidur. Gadis 16 tahun yang terganggu tidurnya jengkel dan membalas, eh malah oleh adiknya dibanting dan kepalanya membentur lantai rumah. Di tengah keluarga.

Kisah ketiga, jelas secara tidak langsung, bahwa pelaku bom bunuh diri di Surabaya korban dan "korban" ada anak-anak di sana. Lebih dari empat korban masih tergolong anak-anak. Semua korban, baik yang meledak karena bom ataupun yang membawa bom, semua adalah korban. Miris.

Mengapa seolah demikian gemarnya anak-anak di dalam kekerasan, mudahnya untuk melakukan kekerasan dan berujung pada terjadinya tindak pembunuhan? Begitu kompleks dan rumit jika mau membenahi kualitas generasi muda ini. Lembaga-lembaga yang seharusnya menjadi agen perubahan baik saja malah menambah beban masalah.

Pendidikan, jelas memegang peran penting. Lihat betapa anak sekarang tidak bahagia bersekolah. Keriangan mereka terenggut karena beban belajar dan momok UN yang belum sepenuhnya hilang. Kebebasan dalam dunia pendidikan tidak pernah ada. Beban studi, pulang les, dan kursus ini itu membuat mereka kehilangan waktu anak untuk bebas, bermain, dan bersantai ria.

Hal yang demikian, dibarengi gagap teknologi. Pelampiasan pada games, permainan individu dan ribetnya sering juga adalah kekerasan. Dunia maya yang dianggap sama oleh pemikiran anak. Menembak, menendang, memukul yang sangat nyata di dalam games dengan kecanggihan teknologi diambil dan dilakukan dalam dunia nyata.

Sikap orang tua yang tidak lagi berdaya. Mereka maunya mendidik, namun apa daya tidak memiliki lagi kuasa dan otonomi atas anak generasi ini yang memang memiliki dunia yang jauh lain dengan generasi orang tua. Jembatan antara yang ternyata belum sepenuhnya ditemukan, karena belum ada kesadaran ini membuat berbagai masalah, hal global bukan semata lokal hal ini. Lihat di  USA pun demikian bukan?

Agama, sebenarnya patut bersyukur bangsa ini begitu religiusnya masyarakatnya. Sayangnya agama masih sebatas ritual, kata suci, dan selevelnya, belum menjadi gaya hidup yang selaras. Lihat saja bagaimana mulut mencaci maki sekaligus mengatakan ayat suci bisa serempak. Suka atau tidak, rela ataupun berat hati tetap saja mempengaruhi perilaku anak-anak, jangan dikira ini tidak berdampak.

Anak kurang refreshing dan kebebasan untuk berekspresi. Ketegangan dalam belajar dan sekolah tidak tersalurkan sebagaimana mestinya. Tuntutan langsung ataupun tidak langsung bisa menjadi salah satu pemicu anak melakukan tindak kekerasan. Lihat saja muka tegang anak sekolah sekarang, apalagi pandangan matanya. Tekanan yang berat tanpa solusi tepat membuat keadaan makin berat.

Keteladanan, apalagi elit politik yang sangat kasar dan penuh kebencian meskipun dengan bahasa halus, cengegasan, dan seolah biasa ini justru sangat berbahaya. Mereka memberikan contoh yang tidak memikirkan akibatnya. Anak ini juga belum sepenuhnya paham akibat bagi korban dan dirinya. Coba dia akan mendapatkan label pembunuh atau mantan napi di sisa hidupnya yang berpotensi jauh lebih panjang.

Apa yang sebaiknya dilakukan?

Dunia pendidikan merekonstruksi pendidikan partisipatif dan membangun kebebasan. Anak diberi keleluasaan untuk bisa mengeksplorasi diri sesuai bakat dan minatnya. Dunia pendidikan selama ini menciptakan robot-robot ahli ilmu pasti yang ternyata banyak merugikan kejiwaan anak, yang tertekan, tidak mampu, dan sejenisnya.

Pengembangan ilmu humaniora. Tidak ada yang salah dengan ilmu pasti, namun pengembangan hati dan olah rasa, perhatian pada kemanusiaan perlu dikembangkan. Mirisnya seolah sekolah itu penghasil pujangga anak nangis saja fals, dipaksa menjaid penyanyi selevel idol, garis pakai penggaris saja menceng, eh dipaksa bisa jadi kaliber Afandi, kekacauan ini perlu dibenahi. Apresiasi seni sesuai kemampuan, bukan menghasilkan pujangga atau maestro, biarlah jika nantinya mampu akan menemukan jalannya.

Ciptakan sekolah kekhususan, misalnya untuk atlet, bukan sekolah umum yang harus menanggung itu. Bakat melukis, jadi seniman, buat apa belajar daftar unsur kimia sampai kepala botak. Bakat otak-atik mesin, biarkan mereka dengan dunia mesin, bukan malah dijejali dengan hal yang bisa menjadi penghalangnya. Hal-hal ini yang lepas dari pengamatan dan pendidikan.

Lembaga agama, lebih menekankan perilaku, bukan semata hapalan. Tidak salah tahap awal adalah hafalan dan ritual, namun perlu kesadaran untuk mengamalkan. Mungkin mereka hapal soal dosa membunuh atau menyakiti, namun karena kurangnya pemahaman, mereka bisa menjadi pelaku kekerasan. Ingat ini bukan berbicara agama ini dan itu, perilaku beragama, gak usah sensi apalagi melebar ke mana-mana. Kalau kesinggung buat sendiri daripada malu.

Peristiwa-peristiwa ini tentu menjadi tanggung jawab bersama, gak perlu menyalahkan pemerintah, bosan kalau itu-itu terus, perlu kesadaran bersama untuk berubah. Pengakuan dengan hati jernih bahwa ada masalah dan kemudian berubah, jauh lebih penting.

Salam

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun