Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Gerindra dan Politik Sakit Hati, Sebuah "Ideologi"

15 Desember 2017   07:32 Diperbarui: 15 Desember 2017   08:25 4458
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Gerindra dan Politik Sakit Hati, Sebuah Ideologi

Gerindra dan politik sakit hati, sebuah ideologi. Menarik menyaksikan perpolitikan bangsa ini, wajar sih namanya juga baru belajar. Apa yang tampil, apa yang menjadi warna, apa yang menjadi kekhasan adalah apa yang menjadi "rasa" pemimpin partai politik tersebut. Bisa pendiri, ketua umum, dan seterusnya-seterusnya. Ketua umum, dalam alam demokrasi modern akan berganti dalam sebuah periode tertentu, namun jangan tanya soal cengekraman, "warna" ketua umum pertama biasanya pendiri itu sangat menonjol dan kental di sana. Salah satunya adalah Gerindra yang berangkat dari sakit hati karena dipecundangi partai lama Golkar dalam pemilihan presiden awali dulu.

Ideologi partai hampir tidak ada di dalam alam demokrasi Indonesia. Nasionalis, misalnya toh bisa saja bekerja sama dengan agamis dalam banyak kepentingan, kemudian lahirlah namanya demokrasi nasionalis religius, toh tidak jelas juga di mana religiusnya, toh masih juga bancaan uang negara tanpa merasa bersalah. Namanya nasionalis, toh masih juga mengeluarkan pernyataan yang keluar dari konteks Pancasila dan segala turunannya. Ideologi belum menjadi bentuk yang menjadi karakter partai politik dan hidup berdemokrasi di sini dan saat ini.

PAN, silih berganti ketua umumnya, toh seperti itu juga arah dan perjuangannya. Tidak jauh-jauh dari si pendiri dan bidannya. Berpihak juga pada hal yang mdel seperti itu. Miris adalah mereka ini, PAN, Gerindra, dan yang muda-muda itu lahir era reformasi, namun apa yang ditampilkan tidak beda jauh dengan PDI-P, Golkar, ataupun P3. Malah kadang masih kalah demokratis dengan P3, yang tidak punya sosok kuat sebagaimana di partai lainnya.

Kultus individu, yang selalu akan disangkal, tidak toh kami setiap periode tertentu ganti ketua umum. Iya, ganti baju, namun isi atau otaknya sama saja. Melihat rekam jejak Gerindra selama ini, susah untuk lepas dari inisiator, bidan, dan "pemilik" partai yaitu Prabowo Subianto. Malah jangan-jangan nanti seperti MU yang harus goyang cukup lama karena sepeninggalan Si Alex? Sangat mungkin terjadi. Beda kasus dengan PDI-P memang produk lama yang memang demikian adanya. Toh identik juga.

Gerindra dan pilihan-pilihannya. Menarik apa yang disajikan Gerindra ini, bagaimana barisan "oposan" yang cenderung asal, karena kekecewaan pada Bu Mega, Pak Jokowi, dan Pak Ahok, dan jauh lebih lama kecewa pada perilaku Golkar dan elitnya masa lalu. Berangkat dari rasa kecewa, dikhianati, ditelikung, dan memerlukan kendaraan, bukan karena kepentingan hidup berbangsa dan bernegara. Pada pilpres 2009 dan 2014 ternyata sangat berkaitan dengan "janji" yang dirasakan kembali sebagai pengalaman pahit untuk Pak Prabowo yang merasa kembali ditinggalkan. Sayap yang patah itu kembali mengepak dengan rivalitas pribadi banget, PDI-P dan sosok yang diusungnya Jokowi, dan terjadilah pada posisi kalah.

Usai dari sana, rivalitas sengit tersaji. Bagaimana asal bukan pemerintah dengan KMP-nya. "Sabot sana sabot sini" menjadi gejala demokrasi. Dagang sapi dengan sesama anggota dan begitu sadis pada "lawan". Ingat bagaimana pemenang pemilu tidak bisa mendapat kursi pimpinan dewan. aneh dan lucu, karena sabotase sakit hati ini.

Makin kacau dan parah usai Ahok menyatakan mundur dari "kader Gerindra" dan memilih "solo" karir sebagai gubernur DKI. Bagiamana perilaku yang dipertontonkan Taufik, Habiburohman, dan kawan-kawan separtainya dalam banyak hal, bukan kepentingan daerah dan rakyat, namun "balas dendam" dan asal bisa membuat Ahok terlempar, bahkan dilaporkan polisi, KPK, BPK, dan segala isu ujung-ujungnya Ahok salah.

Pilkad DKI menjadi jelas terlihat, bagaimana perilaku mereka pokoknya, "menjegal PDI-P" dan jagoannya. Soal cara tidak menjadi pertimbangan. Kemenangan dan kursi menjadi tujuan. Dn "sukses". Eforia dari "sakit hati" itu jelas nampak dan tidak bisa disingkirkan atau dibantah begitu saja. Pilkada daerah, Jabar, Jateng, dan Jatim semakin mempertontonkan "sakit hati" itu. Sakit hati yang diberi angin surga kemenangan di Jakarta menambah aroma rivalitas "pokoke" jauh lebih kental dan tidak terkendali.

Gerindra dan 2019. Berbagai pihak menilai sosok Pak Prabowo dan Pk Jokowi masih menjadi magnet untuk capres mendatang. Melihat perilaku Gerindra dan para kadernya, seperti Fadli Zon, Taufik, kini Anies, dan juga Habiburohman, serta Sandi ditambah pilihan-pilihan di daerah, menambah susahnya bagi Pak Prabowo untuk bisa menarik simpati dari pemilih yang dulu tidak memilihnya. Mempertahankan posisi saja tidak mudah, belum tentu juga kepala daerah itu menjadi representasi pemilihan pada tataran yang lain. Apalagi menarik simpatisan Pak Jokowi.

Apa yang bisa menjual justru selama ini malah melemahkan. Posisi strategis sebagai "oposan" sejati bisa menjadi nilai tambah untuk menarik simpati, toh malah sangat tidak populer. Memilih berseberangan yang asal, bukan karena kepentingan bangsa dan negara. Dewan sebagai lahan "kekuasaan" mereka malah menjadi bahan olok-olokan karena miskin prestasi dan banyak sensasi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun