Mohon tunggu...
Patrick Waraney Sorongan
Patrick Waraney Sorongan Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis

Ende gut, alles gut...

Selanjutnya

Tutup

Gadget Pilihan

Situs "Ah Uh Oh" Ditembus VPN, Beranikah Pemerintah Gugat Google?

16 Desember 2020   18:00 Diperbarui: 14 Desember 2021   13:10 1636
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilsutrasi situs porno | Sumber: sxc.hu

BLOKIR yang diberlakukan oleh  Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) atas sekitar 1 juta lebih situs porno sejak tahun 2019, ternyata tidak mempan menghadapi kecanggihan teknologi dunia maya '(cyber)'. 

Padahal, tugas kementrian ini berat dan mulia: menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang komunikasi dan informatika untuk membantu Presiden dalam menyelenggarakan pemerintahan negara.

Toh apa mau dikata. Ibarat kalimat 'tak ada yang mustahil bagi teknologi 'cyber', maka situs-situs ini bisa saja diakses. 

Dengan menggunakan  jaringan pribadi virtual (virtual private network/VPN), teknologi ini memberikan akses ke situs secara aman '(secure)' dan pribadi '(private)', dengan mengubah jalur koneksi melalui 'server', dan menyembunyikan pertukaran data yang terjadi.

Jika komputer (server) di negara yang berbeda, itu akan menjadi negara yang digunakan ketika internet mencoba mengenai si peselancar melalui koneksi tersebut. 

Dengan demikian, situs tertentu yang sudah diblokir di dalam negeri, bisa diakses. Seab, jaringan VPN melakukan enkripsi pertukaran data, bahkan dibaca oleh koneksi publik, semisal di warung kopi atau warung internet.

Ketika terhubung dengan internet menggunakan koneksi VPN, maka jaringan tersebut menggunakan 'lorong khusus' alias tidak menggunakan jaringan utama. 

Server VPN bertugas untuk meneruskan koneksi peselancar ke situs yang ingin diakses.  Koneksi tersebut akan dikenali sebagai koneksi dari jaringan server VPN, bukan jaringan utama. 

Beda halnya jika menggunakan jaringan 'non;-VPN, di mana koneksi yang dilakukan secara langsung '(direct)' terjadi, tanpa enkripsi.

Situs-situs 'saru' tersebut, seharusnya bisa diblokir oleh pihak Kemenkominfo. Sebutlah situs bernama Pornhub, atau sebuah situs serupa lain yang namanya didominasi huruf X. 

Syaratnya, sebagaimana diakui oleh pengamat teknologi informatika dan komunikasi (TIK) dari Bentang Informatika, Kun Arief Cahyantoro  (CNN Indonesia, 31 Desember 2019),  pihak pengelola  situs tersebut, harus terlebih dahulu diberitahu oleh pemerintah. Pemberitahuan itu penting ke  pihak perusahaan tersebut, karena menyangkut hukum dari bisnis beromzet raksasa ini.

Situs-situs porno  ini dilengkapi pula dengan saluran '(channel)' khusus video kartun  'saru'. Sebagian besar film animasi ini diproduk di Jepang, yang dalam bahasa sono dinamakan 'hentai' alias mesum. 

Situs-situs ini 'ogah nongol' jika diakses  menggunakan jaringan non-VPN. 

Malah jika menggunakan aplikasi Google Voice, maka pertanyaan tentang situs tersebut, hanya bakal dijawab oleh Mbak Google, semisal:  'maaf, kami tidak menemukan apa yang Anda cari..." Jika Anda kecewa, maka silakan bersabar, walaupun nada suara Mbak Google, bisa jadi... 'rada-rada ketus'. Maklum, barangkali 'si mbak' masih 'abg'.

Perkembangan teknologi dunia maya membuat informasi apa saja dari seluruh penjuru dunia, bisa diketahui. Tak ada hukum di dunia yang melarang siapa saja untuk berselancar untuk berkomunikasi atau menonton apa saja di dunia maya.  Ini karena berselancar di dunia maya merupakan urusan pribadi.

Hanya saja, warganet sebaiknya tidak 'kegatelan': seenaknya menyebar produk 'saru' itu, juga untuk tulisan atau berita bohong  '(hoax)'  ke media sosial, jika tak ingin dicokok aparat kepolisian. Sebab, bisa panjang urusannya jika berhadapan dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Undang-Undang No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), serta Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis.

Kemajuan teknologi dunia maya ini juga, setidaknya bisa membuat penyidikan atas kasus dugaan video porno selebriti yang kerap bikin heboh, menjadi tak berlarut-larut.  

Pasalnya, sebelum kasus dugaan ini ramai di media massa, di dunia maya duluan muncul video yang dipermasalahkan. Jika penyidik menelusuri situs-situs 'beginian', terlihat bahwa  pemainnya 'mirip' si oknum artis. Pun  ditulis namanya  serta sejumlah selebrti Indonesia lainnya.

Hanya saja, untuk mengakses bahkan memasang situs tersebut ke desktop 'smartphone' atau PC, harus menggunakan jaringan VPN. 

Situs yang didominasi huruf X ini, bisa diakses setelah peselancar mengunggah situs-situs 'saru' ini lewat sejumlah aplikasi VPN di Google Play Store. Setelah terpasang maka tinggal mencari situs ini kemudian di-'download'.

Situs tersebut menampilkan saluran selebriti porno dari segala penjuru dunia selain orang biasa. Termasuk yang diklaim dari Indonesia. Saluran selebriti Indonesia ini juga menuliskan nama sejumlah selebriti. Selain itu hadir pula saluran unik:  adegan 'mengerikan'  kaum disabilitas, baik lumpuh, tunanetra, atau tuna rungu.

Teknologi dunia maya sudah tak terelakkan lagi di ea global ini. Tak ada satu kekuatan pun di alam fana yang bisa memblokir konten-konten yang mengancam moralitas bangsa ini.  

Selama Google masih memasang Google Play Store di ponsel-ponsel pintar, selama perusahaan-perusahaan telelomunikasi menjual pulsa, data internet dan 'wi-fi', maka 'serbuan' ini mustahil terelakkan.

Tumbangnya Yahoo sebagai mesin pencari utama di dunia maya oleh Google, menjadikan perusahaan internet ini menjadi superior. 

Tak ada layanan internet sekaliber Google yang memonoli bidang teknologi pencarian, komputasi 'web', perangkat lunak, dan periklanan 'daring' yang sebagian besar labanya berasal dari AdWords.

Ketimbang memblokir situs-situs tersebut, menurut sejumlah pakar TIK, alangkah baiknya jika Pemerintah Indonesia langsung'membunuh ular' jika akan mmatikan lawan. Ini pengandaian untuk langsung memproses hukum pihak Google yang produk Google Play Store-nya menjual beragam piranti situs berbasis VPN serta situs-situs dewasa.  

Paling tidak, pemerintah disarankan mengikuti langkah tegas Pemerintah Amerika Serikat (AS), yang pada medio 2020 menggugat Google.  

Pihak Google dituduh menggunakan uang miliaran dolar AS.  Dana ini dikumpulkan dari pengiklan untuk membayar perusahaan ponsel agar tampilan mesin pencarinya menjadi otomatis di 'browser' pengguna internet.

Toh Katherine Oyama, Kepala Global Kebijakan Properti Intelektual Google (Reuters, 16 Oktober 2020) menyatakan, gugatan ini bisa dipatahkan lewat Undang-Undang Kepantasan Komunikasi atau Communications Decency Act 1996, atau UndangUndang Komunikasi Amerika Serikat. 

Undang-undang berusia 23 tahun ini, diklaim oleh pihak Google sebagai memberikan  perlindungan atas tuntutan hukum bagi perusahaan teknologi terkait konten yang dibuat.

Konten tersebut dinilainya tetap penting untuk masa depan dunia maya.     Pasal-pasal  dalam Undang-Undang Kepantasan Komunikasi atau Communications Decency Act 1996, memang dikritisi berbagai kalangan karena dianggap melindungi perusahaan-perusahaan teknologi yang menyediakan konten yang mengancam, kekerasan, berbahaya, atau intimidasi.  

Yang paling disoal, yakni bagian 230 dari undang-undang tersebut. "Tanpa bagian 230, mesin pencari, 'platform' berbagi video, 'blog' dan penyedia lainnya, tidak akan dapat menyaring konten sama sekali, atau akan berlebihan dalam menyaring konten," tegas Katherine.

Hanya saja, penggunaan jaringan VPN rentan aka pencurian data milik warganet. Pihak Google sendiri, tanpa harus muncul gugatan semacam itu dari Pemerintah AS, sebenarnya profesionalisme dalam berbisnis aplikasi internet. Setidaknya, Google berusaha melindungi privasi penggunannya dari aksi pencurian data, sebagaimana dilakukannya ke pihak perusahaan SuperVPN, .

Aplikasi antiblokir  ini sudah dihapus dari Google Play Store. Langkah ini mendulang pujian dari kalangan warganet dunia. Walaupun baru diunggah 10 ribu 'user', aplikasi tersebut dianggap berbahaya sehingga langsung ditiadakan. Dilansir Forbes (11/4),  Super-VPN  memungkinkan peretas '(hacker)' mengarahkan pengguna ke 'server' jahat.

Aplikasi ini berisi kerentanan yang membuka pintu untuk serangan 'man-in-the-middle' (MITM), yang dapat mengekspos pesan yang dikirim antara pengguna dan penyedia. Lebih mengkhawatirkan lagi, pengguna akan di-'redirect', jauh dari 'server bonafide' VPN. 

Super-VPN pertama kali diidentifikasi sebagai ancaman keamanan pada 2016, ketika para peneliti Australia menempatkannya di peringkat III dalam analisis aplikasi VPN yang menggunakan 'malware '(malicious software)', suatu  program yang dirancang untuk merusak dengan cara menyusup ke sistem komputer. Artinya, aplikasi tersebut telah menimbulkan risiko sejak dipasang di Google Play Store.

Penggunaan jaringan VPN ini disebut-sebut pula identik dengan mencari situs 'ah uh oh'. Sebuah riset yang dilakukan oleh Top10VPN bersama GlobalWebIndex menemukan, Indonesia merupakan negara teratas dalam penggunaan jaringan VPN. Dilansir situs cyberthreat (1/5),  survei ini melibatkan 688 ribu 'user' internet berusia 16-64 tahun di lebih 42 negara.

Dalam laporan bertajuk 'Global VPN Usage Report 2020'  disebutkan, sebanyak 61 persen pengguna internet di Indonesia menggunakan VPN pada Februari 2020. India menempati posisi II  (45 persen), Arab Saudi di urutan III (44 persen), Malaysia ke-4 (43 persen), diikuti oleh 38 negara lainnya yang disurvei. Pada 2020, menurut Kepala Penelitian Top10VPN, Simon Migliano, popularitas VPN konsumen terus tumbuh menjadi alat keamanan selama berselancar di internet, namun tidak terbatas hanya untuk keamanan.

"Selama dekade terakhir, VPN berevolusi dari alat khusus untuk obsesi privasi, menjadi produk konsumen yang semakin penting digunakan oleh semua orang di seluruh dunia," kata Migliano.

Laporan tersebut menyatakan, pengguna yang disurvei memiliki beragam alasan untuk menggunakan internet. Di antaranya, melindungi privasi di jaringan 'wi-fi' pubik, berkomunikasi yang lebih aman, menelusuri situs anonim, mengakses situs unduhan yang terlarang, 'streaming' dan mengunduh lewat situs 'Torrent', mengakses konten hiburan, atau mengakses situs yang diblokir. Secara total, 31 persen pengguna internet di 42 negara yang disurvei, telah menggunakan VPN.

Menurut laporan ini, kawasan Timur Tengah, Afrika serta Asia Pasifik, termasuk Indonesia, menempati posisi tertinggi terhadap implementasi VPN. Salah satu penyebabnya: pengguna internet di wilayah tersebut didominasi oleh generasi millenial yang lebih urban, dan lebih melek teknologi.

Dari 42 negara yang disurvei, sebanyak 39 persen Gen-Z (16-22 tahun) menggunakan VPN. Kemudian, kaum millenial (23-37 tahun) sebanyak 36 persen, serta Gen-X (38-55 tahun) sebesar 25 persen menggunakan VPN. Sedangkan generasi Baby Boomer (56-64 tahun), sebanyak 16 persen yang menggunakan VPN.

Selain itu, banyak faktor bagi pengguna dalam memilih VPN, Misalnya, VPN yang andal koneksinya, kemudahan dalam menggunakan, faktor kecepatan, kebijakan privasi, harga, fitur keamanan tingkat lanjut, jumlah lokasi 'server', serta faktor masa percobaan gratis.***

            

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gadget Selengkapnya
Lihat Gadget Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun