Mohon tunggu...
Patra Mokoginta
Patra Mokoginta Mohon Tunggu... Lainnya - Warga kotamobagu

masih tahap belajar tentang Lingkungan, Budaya dan Sejarah

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Mengenal Raja Raja Manado Abad XVII (Bagian 2)

26 September 2021   08:13 Diperbarui: 29 September 2021   09:46 962
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ternate, kota asal Kaicil Tulo dengan latar Pulau Tidore, sekutu klasik spanyol di Maluku. Foto Koleksi Pribadi (Penulis)

Sambungan…………

M.Adnan Amal juga menyebutkan, pada tahun 1585, Gubernur Jendral Spanyol di Manila de Vera mengirim sebuah ekspedisi yang dipimpin Laksamana Don Juan Marones. Ketika akan mendekati Bacan, angin topan mencerai-beraikan kapal-kapal mereka. Beberapa kapal kandas dan tenggelam bersama semua perbekalan, amunisi, serta sebagian besar tentaranya. Hanya beberapa kapal yang selamat dan tiba di Tidore. Mereka disambut Kaicil Tulo, Sultan Tidore, Bacan, dan kalangan oposisi lainnya.

Ketika sisa-sisa armada yang berhasil selamat ini menyerang Ternate, mereka berhasil dipukul mundur hingga melarikan diri ke Tidore dalam kedaan tercerai-berai. Laksamana Morenos akhirnya mundur dari perairan Maluku laku kembali ke Manila. Sementara gemuruh sorak-sorai orang Ternate merayakan kemenangan mereka. Kegagalan Penyerbuan Spanyol ini membuat Sultan Saidi makin percaya diri melawan oposisi yang di pimpin oleh Kaicil Tulo.

Puncak perseteruan ini berakhir pada 26 Maret 1606. Setelah melalui serangkaian persiapan yang matang, sebuah ekspedisi besar Spanyol tiba di Ternate dipimpin Gubernur Jenderal Spanyol di Filipina, Don Pedro de Acunha. Ia memimpin armada yang terdiri dari 36 kapal Spanyol-Portugis, 1423 tentara Spanyol, 344 pasukan orang-orang Tagalog dan Pampangan, 679 orang dari berbagai daerah di Filipina dan bangsa-bangsa lain, dan 649 pendayung Cina, hingga total berjumlah 3095 orang.  Pasukan besar ini menggempur tentara Ternate yang mempertahankan benteng Gamlamo. Tidore turut membantu Spanyol dalam penyerangan ini. Akhirnya, benteng yang dipertahankan Ternate jatuh dalam suatu pertempuran yang tak seimbang. Walaupun benteng Gamlamo pada masa Baabbulah telah diperkuat dengan tembok tinggi yang mengelilinginya, tetapi pasukan Spanyol dapat dengan mudah merebutnya.

Penyerbuan ini membuat Sultan Saidi melarikan diri. Mula-mula ke Jailolo lalu ke Sahu. Sultan hanya ditemani Sangaji Ngofakiaha dari Makian, dan beberapa keluarga Sultan serta sejumlah saudara dan pengikut yang terdiri dari kaum perempuan.

Kejatuhan Sultan Saidi dan upaya pelariannya ke Jailolo serta negosiasi penyerahan diri sang Sultan difasilitasi Kaicil Hamzah anak dari Kaicil Tulo. Ini tercatat pula dalam Documenta Malucensia. Disebutkan bahwa Raja Tidore (Kaicil Mole) telah menjangkau tempat Ternate (Sultan Said) yang di beberapa paruh waktu melarikan diri ke Jailolo. Tapi entah karena dia tidak bisa lelah, atau karena malam akan datang, dia memutar balik dan pulang ke benteng. Tetapi mengingat bahwa Gubernur telah menemukan banyak musuhnya di Tacome, sebuah tempat di pulau Ternate, maka untuk hari berikutnya ia meminjamkan sebuah Leota dengan beberapa perahu Kora kora dari Tidore.  Di manapun , Quichil Amejaat (Kaicil Hamzah) akan menemukan mereka".

Menurut Amal, pada Mei 1606, Sultan Saidi bersama putera tertuanya beserta 24 Sangaji dan sejumlah Kaicil—termasuk Kaicil Tulo, Kaicil Hamzah anak Kaicil Tulo dan kemenakan Saidi—naik ke atas kapal Patrona yang dipimpin Kapten Villagra. Kapal ini membawa mereka ke tempat pengasingan di Manila.

Pada saat kejatuhan Ternate dan ditawannya Sultan Saidi beserta keluarganya, Panglima Perang Spanyol di Manila (Master de Campo) mengirim utusan dan membawa surat untuk raja-raja di Sulawesi Utara. Surat ini dibawa oleh seorang perwira bernama Christian Suarez (Christobal Suarez menurut Scritto da Marco Ramerini ) ditujukan kepada Raja Manado, Raja Bolaang, Kepala Suku Kaidipang, Raja Buol dan Toli-toli.

Delegasi Christian Suarez ini hanya diterima oleh Reyna Dongue Kepala Suku Kaidipang. Dongue menyatakan kesetiaannya terhadap Spanyol serta telah lama bermusuhan dengan Ternate. Selain itu Dongue mengirim Surat ke Manila yang bertanggal 26 Juli 1606 sebagaimana terdapat dalam Bunga Angin Portugis di Nusantara: Jejak-jejak Kebudayaan Portugis di Nusantara karya Paramatiha R Abdulrahman.

Perlu diketahui bahwa di tahun 1606, tidak terkonfirmasi tentang pertemuan Raja Manado atau Raja Bolaang dengan delegasi pimpinan Christian Suarez. Pada masa ini juga di Manado dan sekitarnya, Raja Mokodompit harus bertahan dari situasi sulit dalam menghadapi pengembara laut dari kelompok Bacan. Riedel mencatat, Raja Mokodompit mempertahankan Pulau Nain dan Pulau Manado dan membangun benteng dari batu karang; “Maka datanglah pada masa perdijamannja di situ orang orang Batjan namanja apatah mengharukan kahidopannja orang bala bala djuga sehingga berpindahlah Datu itu kembali pergi ka Pulow Nain dan pulow Babontehuh atawa pulow Manaroh sakarang. Pada tandjong Buaroh, lalu perusahlah disitu bentengnja batukarang. Pulau Manado tetap bertahan dan dalam kekuasaan Raja Mokodompit''.

Tadohe Raja Manado

Tahun 1610, Tadohe putra dari Raja Mokodompit mewarisi tahta Ayahnya sebagai Raja Manado sebagaimana juga keterangan yang dilansir Wikipedia. Namun dalam pemerintahannya, Tadohe mendapat banyak tantangan dari berbagai faksi yang ada di sekitar Manado. Riedel pun mencatat kejadian ini : 'maka anakh tjutjuhnya Mokodompis pertama pon gantilah padanya dalam pengawasan parentah itu, tetapi kaparentahan ini menimbulkanlah pertjerejan bangsa bangsa lajin apatah berpindah pergi ke pulow Talieij ikot penghulu penghulu orang gaga Borimanin, Bahakikih, Bokarakombang dan wiliuman itu''.

Ini menjelaskan tentang pergantian pemerintahan ke anak pertama Mokodompit dan Gogune seorang perempuan dari Siau. Anak kedua pasangan ini bernama Tadohe. Sebelumnya diketahui bahwa ketika Mokodompit yang sudah memperistri Mongijadi kemudian kawin lagi dengan Gogune, hal ini sempat menimbulkan gunjingan di Bolaang Mongondow. Akibatnya Raja Mokodompit meninggalkan Bolaang Mongondow demi membawa Gogune menjauh karena kian tak enak dengan gunjingan.

Pada saat Raja Mokodompit mewariskan tahta kerajaan Manado kepada putranya, timbul perpecahan hingga melahirkan kubu oposisi di kalangan bangsa-bangsa kerajaan Manado terhadap Mokodompit. Mereka tak seberapa suka dengan Tadohe mewarisi tahta dari Ayahnya.

Maluku

Menurut M. Adnan Amal, pada tahun 1610, dalam usia yang masih sangat muda (15 tahun), Mudaffar dilantik sebagai Sultan Ternate ke-9. Karena usia yang masih belia, ia belum dapat menjalanan kekuasaannya secara penuh.  Menurut keputusan Dewan Kerajaan, ia harus didampingi sebuah komisi yang terdiri dari delapan orang (Komisi Tufkange), dan dipimpin seorang Belanda bernama Gerard van der Buis. Jogugu Hidayat dan Kapita Laut Kaicil Ali, termasuk ke dalam keanggotaan komisi ini.

Berdasarkan penelitian M.Adnan Amal, Mudaffar tidak populer di kalangan rakyat. Lantaran takut dikhianati, ia lebih banyak menginap di benteng Oranje ketimbang di istananya. Kubu oposisi pun mulai terbentuk menentang Mudaffar. Sejalan dengan itu Spanyol juga berniat memecah kekuatan Ternate dibawah Sultan Mudaffar yang didukung Belanda dengan kubu oposisi yang mendukung Sultan Saidi di pihak Spanyol.

Mengutip dari Scritto da Marco Ramerini, disebutkan bahwa  Sultan Saidi berkat dari Ternate pasca kemenangan Spanyol (1606), dideportasi ke Manila. Ia kembali ke Ternate pada tahun 1611 bersama Gubernur Juan de Silva yang berharap kehadirannya dapat meyakinkan rakyat Ternate bersekutu dengan Spanyol. Tujuan Spanyol tentu dapat ditebak yakni melenyapkan Belanda dari Maluku. Namun itu tidak menjadi kenyataan.

Pada tahun 1610 Spanyol punya niat menaklukan Manado. Hal ini sebagaimana Ariel Lopez dalam desertasinya: “Di sisi Spanyol, gagasan penaklukan Manado muncul dalam teks yang disukai. Kemenangan di Pertempuran Playa Honda tahun 1610, di mana skuadron Belanda yang memblokir perdagangan Manila dihancurkan, menciptakan iklim optimisme umum yang berpuncak pada pembentukan armada besar yang akan digunakan untuk mengusir Belanda dari Asia.

Lopez menerangkan bahwa semangat Spanyol yang begitu menggebu menaklukan Manado, pada akhirnya kandas. Kekalahan di Singapura turut mematahkan niat ini. Alasan yang dikemukakan Lopez adalah, kapal mereka karam di Selat Singapura hingga rencana tersebut gagal dan menghentikan kemungkinan ekspansi ke Filipina Selatan. Pasukan besar tidak pernah tiba di Maluku dan Jernimo de Silva sendiri, yang tak sabar menunggu kedatangan mereka secara pribadi mengunjungi raja Manado.

Kekuatan Spanyol masih difokuskan di Maluku untuk menghalau pengaruh Belanda dan Ternate. Pada tahun 1611 Spanyol menyerbu Jailolo dan beberapa wilayah di Batasina (Halmahera). Dikatakan M.Adnan Amal: ''Gagal menggempur Bacan, Spanyol mengalihkan perhatian ke Jailolo dan menyerbunya pada tahun 1611. Serbuan ini berhasil, dan selama kurang lebih 9 tahun (1611-1620) Spanyol menguasai kerajaan itu''.

Sulawesi Utara termasuk Manado, oleh Spanyol hanya dijadikan pendukung untuk operasi menguasai Maluku. Ketiadaan rempah-rempah di Manado membuat minat Spanyol menurun. Belum lagi operasi untuk menghalau pengaruh Ternate dan Belanda yang semakin meluas. Untuk sementara ini Manado hanya menjadi pos pendukung logistik armadanya di Maluku. Lopez mengutip dari Sancho Rayn,: ''Dalam sepucuk surat dari tahun 1614 kepada Gubernur Jernimo de Silva ia menceritakan kepada kita bagaimana, karena kurangnya makanan di Maluku, Juan Martnez de Lidena pergi ke Manado untuk mengambil beras dan sagu sebagai ganti pakaian''.

Di tahun itu kerajaan Manado maupun Ternate masing masing menjalani situasi pelik yang hampir mirip; lahirnya kubu oposisi dan kepentingan antara Belanda maupun Spanyol yang saling berlawanan.

Tadohe Tersingkir dari Manado

Tahun 1614 Tadohe berupaya menghubungi Spanyol, meminta bantuan guna melindungi negerinya dari pengaruh Ternate. David Henley dalam artikelnya berjudul ''A Superabundance Of Centers: Ternate And The Contest For North Sulawesi'', menyebut: ''Tahun 1614, raja Manado—yang pada masa kolonial dikenal sebagai raja-raja Bolaang Mongondow—memohon kepada Spanyol melindungi mereka dari penetrasi Ternate. Secara temporal masa ini bertautan dengan periodisasi Tadohe yang memang melahirkan kepelikan tersendiri ketika mewarisi tahta ayahnya, Mokodompit.

Sementara itu di Maluku Sultan Mudaffar dan Belanda berupaya menghalau pengaruh oposisi bangsawan Ternate di Manila, Kaicil Tulo dan bekas Sultan serta para bangswan lainnya  memilih untuk memihak Spanyol, Tidore, Jailolo, dan kelompok Batasina (Halmahera).

Di Kaidipang, Dongue yang beberapa waktu lalu menyatakan setia kepada Spanyol, tiba-tiba berubah arah. Dongue memerintahkan pembunuhan kepada Fransiscan  sebagaimana terungkap dalam Documenta Malucensia  : "Dongue, Queen of Kaidipan, apostate, permits killing of Franciscan".

Dari Kaidipang Tahun 1614, posisi Dongue digantikan Banidaca. ''Only two years after this letter the ruler of Kaidipan is named Banidaca (Correspondencia 221, letter of June 29, 1614) Documenta Malucensia''.

Sementara itu pihak Ternate - Belanda berupaya untuk menghalau pengaruh Spanyol termasuk melakukan ekspedisi untuk membangun komunikasi di seberang lautan guna mengamankan aliansi Belanda-Ternate. Manado dikunjungi ekspedisi ini, sebagaimana Lopez yang turut mengutip Hanley  : “Meskipun mereka (Belanda) juga sering mengunjungi pantai utara Sulawesi, tidak adanya rempah-rempah berarti mereka memiliki sedikit minat. Sebuah ekspedisi Belanda ke Manado pada tahun 1615 dari Siau menolak tawaran untuk meninggalkan tentara di Manado karena tidak membahayakan kemungkinan aliansi dengan Ternate''.

Kunjungan ini bersamaan Tadohe sedang menghadapi kubu oposisi. Sementara itu bantuan dari Spanyol belum juga hadir. Kelompok bangsawan Ternate yang berada di Manila yang dipimpin Kaicil Tulo mulai terendus berada di sekitaran Manado. Sementara tim ekspedisi Belanda - Ternate mengambil kesimpulan Manado tidak akan membahayakan kemungkinan aliansi dengan Ternate. Sebuah situasi yang berakibat pada tahta Raja Manado.

Tahun 1615 adalah tahun genting untuk Manado. Setidaknya bagi Tadohe yang merasa masih seperti duduk di atas bara. Tahta untuknya lanjur melahirkan kubu oposisi. Ia baru sedang disibukan mengurai faksi-faksi yang tak seberapa suka dengannya, sementara kabar kedatangan rombongan Kaicil Tulo dari Manila yang betapa mudah mencaplok sokongan Spanyol, justru makin menggoyahkan tahtanya di Manado.

Pada akhirnya Tadohe tak mampu menjaga tahta yang baru saja diberikan untuknya. Konflik internal kerajaan yang telah melahirkan faksi-faksi sebagai kubu oposisi baginya, membuat Tadohe akhirnya tersingkir dari Manado. Kehadiran Kaicil Tulo dan rombongannya dari Manila yang betapa mudah mengatasnamakan Spanyol demi menghadang aliansi Ternate-Belanda di negeri rebutan ini, benar-benar memumpus harapan ia dapat menstabilkan keadaan untuk melanggengkan kekuasannya.

Tadohe dengan beberapa pengawalnya dari Siau akhirnya meninggalkan Manado menuju Bolaang Mongondow melalui jalur timur. Tahun 1616 Manado mutlak dikuasai Kaicil Tulo. Beberapa tahun kemudian Kaicil Hamzah putra Kaicil Tulo yang saat itu berada di Manila kembali ke Ternate dan terpilih sebagai Sultan Ternate. Namun hal mengejutkan terjadi, Sultan Hamzah kelak melepaskan diri dari pengaruh Spanyol dan menjalin aliansi dengan Belanda.

KAICIL TULO

Kaicil Tulo yang dalam catatan Spanyol ditulis Cachil Tulo adalah putra sulung Sultan Hairun Jamil dari Ternate sekaligus kakak tiri dari Sultan Babullah. Kaicil Tulo adalah salah satu raja Manado yang rekam jejaknya juga banyak tercatat dalam dokumen-dokumen Eropa. Di era ini, Raja Manado bukanlah sosok penuh misteri.

Profil kaicil Tulo

Andaya dalam bukunya yang berjudul Sejarah Kepulaua Rempah rempah menyebutkan, Sultan Baabullah lahir tanggal 10 Februari 1528 dan wafat tanggal 25 Mei 1583 dalam usia 55 Tahun. Kaicil Tulo disebutkan adalah kakak dari Sultan Baabullah yang berarti Kaicil Tulo lahir sebelum Tahun 1528.

Menurut hasil penelitian dari Jaelan Usman yang berjudul Konflik dan Perubahan Sosial : Study Sosial Politik di Maluku Utara 2006 Kaicil adalah gelar untuk Putra Sultan dan Nyaicil atau Boki untuk Putri Sultan. Jadi Kaicil Tulo berarti Pangeran Tulo, Gelar ini diperoleh karena dia adalah Putra dari Sultan Hairun.

Kaicil Tulo Veteran Perang era Baabullah

Dalam Perang Maluku yang dipimpin Sultan Baabullah, Kaicil Tulo terlibat langsung di medan perang. Ia bahkan menjadi tokoh terpenting setelah Sultan Baabullah jelang detik detik terakhir pemerintahan Portugis di Maluku menyerah tanpa syarat kepada Ternate (Sultan Baabullah). 

Pada Tahun 1575, mengutip dari Andaya : ''Gubernur Portugis terakhir di dalam benteng  Nuno Pareira de Lacerda, menawarkan perdamaian. Sultan Baabullah mengutus kakaknya, Kaicil Tulo, untuk memberitahu de Lacerda bahwa orang Maluku kini telah bersatu padu dan siap melawan mereka. Tak ada lagi harapan atau pilihan lain yang dapat menyelamatkan mereka, dan jangan sekali-kali berharap bantuan dari luar. Di bawah syarat-syarat yang didiktekan Baab, de Lacerda akhirnya setuju mengakhiri peperangan. Portugis setuju menyerah tanpa syarat. Mereka meminta agar Baab menyediakan perahu untuk mengevakuasi mereka ke Ambon dan keluar meninggalkan Ternate. Portugis lalu menyerah kepada Babullah pada 26 Desember 1575''.

Keberadaan Kaicil Tulo Tahun 1606.

Pada tahun 1606, Kaicil Tulo belum ada di Manado, apalagi berkuasa atas daerah ini. Dokumen tua yang tersusun oleh Scritto da Marco Ramerini dalam  Gli Spagnoli Nelle Isole Molucche 1606-1663/1671-1677 menyebutkan nama nama keluarga yang di deportasi Spanyol ke Manila. Kaicil Tulo dan putranya bernama Kaicil Hamzah termasuk dalam daftar yang dibawa ke Manila sebagai tawanan Spanyol yang kemudian menjadi sekutunya. Nama besar lain yang bermusuhan dengan Spanyol adalah Sultan Saidi.  Scritto da Marco Ramerini menulis,  setelah penaklukan, Acua memutuskan, demi keamanan yang sultan dan para pangeran termasuk semua pejabatnya, Spanyol mendeportasi mereka ke Manila dengan total sekitar 30 orang. Sedangkan kesultanan dipercayakan oleh sultan di pengasingan kepada dua pamannya yakni Kaicil Sugui dan Kaicil Quipat. Keputusan Gubernur disampaikan kepada sultan (yang berada di penjara "Purificacion") pada tanggal 1 Mei 1606 oleh seorang Jesuit bernama Luis Fernndes.

Scritto da Marco Ramerini merinci beberapa nama yang dideportasi tersebut masing-masing adalah : il Sultano di ternate, Cachil Sultan Zaide Burey; il figlio del sultano e suo erede, Cachil Sulamp; Cachil Tulo; il figlio del Cachil Tulo, Cachil Cidase (?); Cachil Amura ( Hamza ) cugino del sultano; Cachil Ale; Cachil Naya; Cachil Colanbaboa; Cachil de Rebas; Cachil Pamuia; Cachil Babada; Cachil Barcat; Cachil Suguir; Cachil Gugugu; Cachil Bulefe; il Sangage di Bachan, Bulila; Cachil Maleyto; il Sangage di Maquien; il Sangage di Lacomaconora; oltre ad altri due Cachis che erano considerati come sacerdoti e a tre servi. 

Dari keterangan di atas, diketahui bahwa Tahun 1606 Cachil Tulo atau Kaicil Tulo tidak berada di Maluku maupun di Manado melainkan di Manila. Ini berarti pada tahun 1606, Kaicil Tulo belum menjadi Raja Manado.

Kaicil Tulo Menjadi Raja Manado.

Veteran perang era Baabullah yang telah berusia uzur ini tercatat dalam dokumen resmi Spanyol sebagai Raja Manado. Namanya juga tercantum dalam Documenta Malucensia sebagai: 'King Kaicil Tulo of Manado. Raja Manado ini disebutkan meminta Fraters melalui Fray Pascual de Torella OFM yang kebetulan melewati Manado pada tanggal 21 Juni 1616.  Demikian juga surat-surat Kaicil Tulo sebagai Raja Manado yang terdokumentasikan oleh SPanyol. Namun dalam permintaan itu, D.Jernimo de Silva menyatakan dirinya tidak dapat menyetujui permintaan Raja Manado ini pada tahun 1616.

Membaca penjelasan Andaya, kita memperoleh keterangan bahwa Kaicil Tulo adalah kakak dari Sultan Baabullah. Pada lahir Babbulah disebutkan tahun 1528. Ini berarti sebagai kakak Baabulah, Kaicil Tulo lahir sebelum 1528. Ini juga memberikan keterangan pada kita bahwa Kaicil Tulo saat tercatat sebagai Raja Manado sudah berusia uzur. Ia mungkin berumur sekitar 89 tahun sata itu. Dialah yang mengajak Spanyol menyerbu Ternate. Kaicil Tulo hidup bersama Spanyol di Manila hingga akhirnya disokong Spanyol menjadi Raja Manado. Spanyol tentu menyokong Kaicil Tulo menaruh tapal kuasanya di Manado, sebagai koalisi yang nantinya akan menghadang duet maut Ternate dan Belanda.

Terkait status pangeran Ternate yang menjadi Raja di Manado ini, saya sependapat dengan David Henley dan Ian Caldwell dalam artikelnya berjudul : Kings And Covenants Stranger-Kings and Social Contract in Sulawesi.  Keterangan kita peroleh dari dua penulis ini: "Keberadaan Raja asing atau raja 'orang luar' dalam kultur masyarakat Sulawesi, secara umum masih terterima. Di samping ketidak-berpihakan mereka, alasan kedua mengapa orang asing bisa menjadi raja adalah karena raja ‘impor’ hanya melahirkan lebih sedikit kecemburuan ketimbang jika dia berasal dari orang dalam, dengan status terberi yang mungkin tidak lebih tinggi daripada bangsawan lain. Dengan status yang diangkat secara artifisial di atas bangsawan lain, dalam teori, seorang raja dapat digantikan oleh salah satu dari kalangan yang sederajat. Kompetisi yang ketat untuk memperebutkan kuasa, status, kekayan dan di atas segalanya,  selalu menjadi ciri khas masyarakat di Sulawesi".

Oleh sebab itulah, Tadohe yang ketika baru saja ditunjuk menggantikan tahta Ayahnya (Mokodompit), pada akhirnya tersingkir dengan kehadiran Kaicil Tulo.

Tulo memang seorang raja yang cerdik setelah berhasil menyingkirkan Tadohe pada 1615. Ia mampu memainkan posisi yang justru membuat Belanda dan Ternate malah merasa nyaman-nyaman saja posisi aliansinya dengan Manado selain karena Kaicil Tulo dianggap sebagai orang dari Ternate. Lopez menyampaikan hal ini: ''No poner en peligro una posible alianza con Ternate'' Artinya, hadirnya Kaicil Tulo sebagai Raja Manado justru dianggap tidak membahayakan aliansi dengan Ternate.

Setelah menjadi Raja Manado pada tahun 1616, Kaicil Tulo meminta dukungan Spanyol sehingga persekutuan dengan Spanyol tetap terjaga, dan sekaligus ia nyaman-nyaman saja ketika tak dianggap sebagai musuh Belanda maupun Ternate.

Pada saat Manado dikunjungi oleh Frater Pinto, Kaicil Tulo yang Muslim dibaptis menjadi Kristen pada tahun 1619 sebagaimana tercatat dalam Documenta Malucensia yang menceritakan tentang pertobatan Raja Manado meski pertobatan ini tidak diikuti oleh sang Ratu; ''Ase convertido el rey  y asi  los principals de su reyno. Sola la reyna persevera en su infidelidad.

Walau tidak menyebut nama Kaicil Tulo namun Huberts Jacobs memberi catatan kaki bahwa Raja yang dimaksud ini bernama Kaicil Tulo. Kakak dari Sultan Baabullah ini saat mengonversi agamanya ke Kristen diperkirakan berusia 91 Tahun.

Dalam Surat Fr. Barrada Manuel untuk Fr. Muzio Vitelleschi, bertanggal 20 November 1619,  dijelaskan juga tentang kunjungan dan pembaptisan ini ; ''Begitu tiba di Manado, Raja dan pangerannya segera menemui kami (Padri Pinto). Setelah turun, kami menemukan salib di pantai, yang kami semua kagumi ketika kami datang dari Ternate dengan penuh sukacita dan penghiburan, para Ayah menjadi yang pertama mencium, segera raja, kapten dan lebih banyak prajurit. Suara tembakan musketry yang gempita, dari sini raja membawa kita semua bermukim di perkampungan tepi sungai, namun karena tidak sehat dan karena kami bercampur dengan tentara, kami banyak menderita''.

Informasi penting lainnya tentang keberadaan sungai, menandakan tempat yang dimaksud sebagai Manado ini bukan Pulau Manado tapi di daratan besar, dimana dahulu leluhur Raja Mokodompit pernah menempatinya. Hingga tahun 1619  Kaicil Tulo maish terkonfirmasi sebagai Raja Manado, dan tahun ini adalah masa akhir kuasanya atas Manado karena Tadohe yang sebelumnya tersingkir bukan tinggal diam.

TADOHE RAJA BOLAANG

Telah di bahas sebelumnya saat Tadohe di tunjuk ayahnya ( Mokodompit) untuk menggantikan ayahnya, pemerintahahnnya di goyang oleh kubuh oposisi, bangsa bangsa dalam kerajaan bercerai berai dan salah satu kelompok yang menjadi oposisi adalah kelompok Bolaang,kembali saya mengutip dari Ridel : "kemudijen maka datanglah bangsa Bola-ang itu berparang parangan lagi membakar beberapa tampat pesisir tetapi bertsohbatlah persakutuwan bajik salaku bersaudara marika itu pula pada masanja".

Saat Tadohe tersingkir dari Manado, Tadohe bersama beberapa pengawal setianya mengambil langkah strategis lainnya.  Pergi ke Bolaang Mongondow tepatnya kotabunan, tempat kediaman Bogani Dow. Perjalanan Tadohe menuju Kotabunan terdapat dalam buku Over de voorsten van Bolaang Mongondow karya Dunne bier. Berikut Kutipannya : ''Toen Tadohe' een aankomend jongeling was geworden, ging hij met anderen op reis naar Bolaang Mongondow. Ze werden door een zwaren storm overvallen. Slechts n prauw, die waarin Tadohe' zat, werd op het strand bij de rivier Togid gesmeten''. Terjemahannya : Ketika Tadohe' telah menjadi seorang pemuda yang bercita-cita tinggi, dia melakukan perjalanan bersama orang lain ke Bolaang Mongondow. Mereka disalip oleh badai besar. Hanya satu prahu yang selamat, prahu tempat Tadohe' duduk,terdampar di pantai di tepi sungai Togid. Sengaja saya bold pada kata "pemuda yang bercita cita tinggi'' bahwa Tadohe tidak pernah patah arang untuk menggapai cita cita nya kembali sebagai Raja.

Lanjutan dari catatan Dunnebier :’Di wilayah itu (distrik Cotaboenan sekarang) pada waktu itu otoritas dijalankan oleh seorang bogani perempuan, Dow panggilannya. Dia Tingga bersama ketujuh putranya  di puncak gunung dayow. Suatu hari beberapa anak buahnya pergi ke pantai dan menemukan ada prahu yang terdampar bersama Tadohe' dan dua pendayung yang kelelahan. Mereka segera kembali dan melaporkan kepada Dow,Dow, berkata, "Mungkin mereka adalah bajak laut." Dia ingin melihat sendiri, tetapi dia tidak lagi menemukan anak laki-laki itu di sana, karena anak itu memanjat pohon tolitoi yang berada di sisi air tempatnya berdiri. Setelah mencarinya selama beberapa waktu, mereka melihat air bayangan cermin anak laki-laki yang duduk di cabang sambil kaki kiri berayun. Dan kemudian mereka segera melihat kaki sebenarnya dari anak itu. Segera mereka memilikinya di bawah kendali mereka dan dia diinterogasi. Ketika dia mengatakan dia adalah seorang bangsawan Bolaang-Mongondower, Dow tidak mau percaya begitu saja dan mengujinya'.

Ringkasnya setelah mengalami berbagai ujian dari Dow, akhirnya Tadohe berhasil meyakinkan para Bogani termasuk Dow bahwa dia adalah Putra Raja Mokodompit.

Dalam bakid ( Musyawarah adat ) di Mongondow, Tadohe di tetapkan sebagai Raja Bolaang oleh Dewan adat dan di lantik oleh Dow.

Kuat dugaan Dongue adalah orang yang sama dengan tokoh yang bernama Dow. Tahun 1614 nama Dongue sudah bukan lagi ratu kaidipang, ratu kaidipang tahun ini adalah Bandica, namun tercatat pula Dongue telah murtad dari Kristen dan terlibat dalam pembunuhan orang orang spanyol di Kaidipang tercantum dalam Documenta Malucensia : “Dongue, Queen of Kaidipan, apostate, permits killing of Franciscan’’.

Berbeda dengan situasi di Manado, saat Tadohe di tunjuk oleh Mokodompit sebagai Raja, Tadohe mendapat perlawanan dari oposan internal kerajaan Manado, Di Mongondow setelah Tadohe di lantik secara adat Mongondow yang di pimpin oleh Dow, tidak ada lagi kubuh yang menolak Tadohe termasuk masyarakat Bolaang ( pesisir pantai utara) yang pernah menjadi oposannya di Manado beberapa waktu lalu.

Setelah di daulat menjadi Raja Bolaang, Tadohe memanfaatkan untuk melakukan pembenahan kerajaan, mulai dari birokrat kerajaan hingga aturan social antara Raja dan Rakyat.

BERSAMBUNG ( ke bagian 3 )

Sumber data yang di olah :

  • Abdulrahman, Paramatiha R.  Bunga angin Portugis di nusantara : Jejak jejak kebudayaan portugis di nusantara. 2008
  • Amal, Adnan M . kepulauan Rempah rempah sejarah Maluku Utara 1250-1950. 
  • Aritonang, Sihar Jan dan Steenbrink, Karel.  A History Of Christianity in Indonesia. 
  • Campo Lpez, Antonio C., "La presencia espa- ola en el norte de Sulawesi durante el siglo XVII. Estudio del asentamiento espaol en el norte de Sulawesi ante la oposicin local y la amenaza holandesa (1606 - 1662). 
  • Henley, David. Nationalism And Regionalism In A Colonial Context Minahasa In The Dutch East Indies. 
  • Henley, David. A Superabundance Of Centers: Ternate And The Contest For North Sulawesi.
  • Henley, David dan Caldwell, Ian. Kings And Covenants Stranger-Kings And Social Contract In Sulawesi.
  • https://id.wikipedia.org/wiki/Kerajaan_Bolaang_Mongondow
  • Jacobs, Hubert. Documenta Malucensia III. 
  • Mantiri, Stella. Datu Binankang Raja Manado 1644-1689 Pelopor Kemerdekaan Di Nusantara Utara. 1990
  • Ramerini , da Marco. Scritto. GLI SPAGNOLI NELLE ISOLE MOLUCCHE 1606-1663/1671-1677 La Storia Della Presenza Spagnola Nelle Isole Delle Spezie.
  • Riedel,J.G.F.  Inilah Pintu Gerbang Pengetahuwan Itu Apatah Dibukakan Guna Orang Orang Pandudokh Tanah Minahasa .
  • P.J.B.C. Robid Van Deer Aa.  De Groote Bantamsche Opstand in het Midden der Vorige Eeuw 
  • Wilken dan Swarzh Geslachts In De Taal Van Bolaang-Mongondou bagian "Buk Ouman Sinomongondou''
  • W,Dunnebier. Over de Vorsten van Bolaang Mongondow. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun