Mohon tunggu...
SRI PATMI
SRI PATMI Mohon Tunggu... Mahasiswa Magister Program Studi Strategi Pertahanan - Dari Bumi ke Langit

Membumikan Aksara Dari Bahasa Jiwa. Takkan disebut hidup, jika tak pernah menghidupi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Saya Kira Aliran Sesat, Ternyata Bermanfaat (Stoikisme)

23 Januari 2022   11:10 Diperbarui: 23 Januari 2022   11:14 2310
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Gambar : intisari.grid.id

Setelah saya sering dijatuhkan oleh rekan kerja saya, saya baru menyadari lebih dalam lagi. Ucapan dan perangai mereka adalah hal diluar kendali saya. Saat saya jatuh, hanya diri saya sendiri yang memotivasi untuk bangkit lagi, saat saya terluka hanya diri saya yang mengobati luka itu, saat kalimat sampah itu terlontar dari mulut mereka, saya yang membersihkannya sendiri. Sementara rekan kerja saya tertawa bahagia telah berhasil menyingkirkan saya dengan berbagai cara mulai dari mencari-cari kesalahan dari masalah pribadi hingga hasrat untuk menjatuhkan dengan cara tidak baik. Pimpinan saya hanya berdiri ditengah, seakan tidak memihak padahal memihak.

Dari situlah, saya belajar stoikisme lebih dalam lagi. Kebahagiaan dan ketenangan itu bukan apa kata mereka. Kebahagiaan dan ketenangan itu ketika saya membahagiakan dimensi diri saya dan berusaha menyeimbangkan kehidupan fisik dan batin. Dibantu oleh 2 teman saya yang sudah resign, mereka juga menjelaskan seperti itulah kehidupan dilingkungan kerja dan itu hanyalah miniatur kehidupan secara luas. Diluar sana, mungkin akan lebih parah dari itu semua. Terkadang, memang saya terlalu naif. Saya selalu mengira dunia ini baik-baik saja. Karena selama ini saya mengira semua orang itu hakikatnya baik.

Dari stoikisme saya berjalan dengan kesadaran dikotomi kendali. Ketika saya bekerja, dimensi internal yang dapat saya kendalikan adalah komitmen, etos kerja, tanggung jawab dan disiplin adalah hal yang sepenuhnya dapat saya kontrol. Masalah penilaian rekan kerja, kenaikan jabatan, penilaian bos adalah dimensi eksternal diluar dari kendali saya.

Saya sering mengamati tingkah laku rekan kerja saya, ia selalu merasakan ketidakpuasan bekerja. Merasa sudah bekerja lebih baik tetapi masih disalahkan dan tidak mendapatkan apa yang diinginkan. Ujung-ujungnya ia bekerja uring-uringan dan kesal. Karena apa? Dia menaruh faktor kebahagiaan pada dimensi eksternal. Ingin pekerjaannya dibilang baik dan mendapat jabatan. Padahal itu semua dimensi eksternal diluar kontrol.

Dari stoikisme ini mengajarkan saya lebih rasional dan berani tampil sebagai diri sendiri bukan orang yang sembunyi dibawah ketiak atasan. Kedua, stoikisme adalah obat bagi saya. Kembali ke cerita-cerita politik dunia kerja tadi. Sebagai orang yang sangat naif, jelas saya kaget, sakit dan terpukul luar biasa. Ternyata dibalik kebaikan rekan kerja saya, ada duri yang tersimpan didalam daging. Stoikisme membantu saya mengobati rasa sakit itu. Bersyukur saya diajarkan untuk memahami manusia lebih dalam lagi, lebih mawas dan jangan naif.

Contoh lain, saya sering memperhatikan kehidupan disekitar dengan seksama. Saat orang itu berhasil, main di bursa saham untungnya menghidupi, jadi trader sering menguntungkan. Sering ada pertanyaan didalam diri, dia berhasil kok saya tidak? Berlomba mau ikutan jadi trader, pemain saham dan ikutan caranya Ghozali Everyday melalui NFT.

Berlomba-lomba supaya siapa yang sampai garis finish duluan. Balap-balapan padahal kita tidak sedang berada di arena balap. Mau enggak mau, kita harus ikutan lari. Beli barang yang enggak diperluin dari uang hasil meminjam, supaya dibilang mengikuti perkembangan zaman, dipandang, dihormati dan mendapatkan pengakuan. Akhirnya, membangun mental bagaimana kita diakui orang dan bagaimana kita dilihat orang.

Stoikisme ini obat yang paling manjur untuk  menghadapi segala kegilaan yang dihadapi. Politik dunia kerja, pencapaian orang lain, globalisasi, COVID-19. Saya bahagia dan tenang karena tidak pernah merasa terganggu dengan pencapaian, perkataan dan tindakan orang lain. Bahkan saya sering mengatakan "saya disini bukan untuk meyakinkan siapapun, dan tidak untuk melakukan pembuktian apapun". Percuma juga, orang yang enggak suka itu akan selalu mencari-cari kesalahan dan keburukan seseorang.

Tidak masalah, dibilang orang lain apapun. Ada yang suka ya Alhamdulillah, ada yang membenci juga enggak masalah. Rasa bahagia itu bukan terletak pada seberapa tinggi pencapaian tapi seberapa rasionalnya sebuah harapan.

Masalah besar yang menghalangi kebahagiaan kan diri sendiri yang haus pengakuan. Ingin dihormati, dibilang hebat, sukses dengan ini, sukses dengan itu. Lama-lama kok capek mental ya? Merasa tidak tenang, tidak pernah merasa cukup dan lupa bersyukur.

Setelah ditarik sedalam-dalamnya ke relung hati. Ternyata pengakuan manusia itu hanya semu. Jangan-jangan selama ini terjebak ternyata diri ini bukan yang dihormati, tidak sepintar yang dibayangkan, tidak sehebat yang dikira, tidak sesukses yang diagung-agungkan orang. Sakit rasanya, sakit harus mengakui hal itu terhadap diri sendiri. Sakit... teramat sakit...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun