Mohon tunggu...
SRI PATMI
SRI PATMI Mohon Tunggu... Mahasiswa Magister Program Studi Strategi Pertahanan - Dari Bumi ke Langit

Membumikan Aksara Dari Bahasa Jiwa. Takkan disebut hidup, jika tak pernah menghidupi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Saya Kira Aliran Sesat, Ternyata Bermanfaat (Stoikisme)

23 Januari 2022   11:10 Diperbarui: 23 Januari 2022   11:14 2310
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Gambar : intisari.grid.id

Setiap manusia memiliki tujuan hidup yang ingin diraih, salah satunya dengan cara bahagia. Baik disadari atau tidak, motivasi manusia untuk melakukan segala sesuatu adalah mencapai kebahagiaan. Beda kepala, beda pemikiran sehingga definisi bahagia setiap orang berbeda-beda. Karena beda cara pandang, cara mewujudkannya pun berbeda.

Bahkan beberapa ahli filsuf memiliki cara pandang berbeda tentang kebahagiaan. Aristoteles mengatakan bahagia itu definisi dari kebaikan. Hedonisme merupakan cara untuk meraih kebahagiaan. Epicurus mengatakan kebahagiaan itu kesenangan hidup. Sedangkan dalam QS Al Ahzab : 71 menyebutkan bahwa "Barang siapa yang mentaati Allah dan Rasul-Nya, maka pastilah ia akan bahagia sebenar-benarnya bahagia". Artintya dalam beribadah pun, kebahagiaan adalah orientasi yang harus dilakukan.

Sering kali hal ini dikaitkan dengan kondisi batin dan fisik setiap orang. Sering kali fisik dan batin kurang seimbang berjalan. Para lelaku spiritual cenderung memenuhi aspek batin, mengurangi gesekan aspek duniawi yang dianggap sebagai dimensi eksternal yang menghalangi tercapainya kebahagiaan. Dari beberapa pendapat, disimpulkan bahwa kebahagiaan itu ada dipikiran kita. Ketika manusia menggantungkan kebahagiaannya terhadap sesuatu di luar dirinya, itu berarti bahwa kebahagiaan tersebut bukanlah kebahagiaan yang otentik.

Selain menjalani kehidupan dengan pedoman dari ajaran agama, saya belajar aliran stoa atau stoikisme telah membantu saya dalam meraih ketenangan dan kebahagiaan hidup. Saya senang menjalani aliran stoa ini. Tanpa harus dijelaskan, terkadang banyak orang orang yang bertanya kepada saya, "Mbak, aliran stoikisme ya?". 

Awalnya, saya tidak mengerti jika motivasi saya melakukan sesuatu itu adalah aliran stoikisme. Saya hanya menjalankan sebagaimana kehidupan ini harus berjalan. Saya bekerja, beribadah dan melakukan kegiatan sewajarnya yang dilakukan oleh manusia pada umumnya. Saya baru sadar bahwa itu aliran stoikisme ketika mulai senang membaca buku-buku filsafat.

Stoikisme membantu saya mengontrol emosi negatif, melipatgandakan kebahagiaan dan rasa syukur. Jika saya pahami secara mendalam, bahkan berdasarkan konsep teologis, stoikisme ini tidak tumpang tindih dengan agama yang dianut setiap orang. Aliran stoikisme ini berasal dari filsuf Yunani Kuno yang bernama Zeno yang lahir di Cordoba, Spanyol abad 4 Masehi. 

Baginya, inti terdasar aliran Stoa adalah bahwa manusia yang bahagia adalah manusia yang sepenuhnya menyesuaikan dirinya dengan hukum kodrat. Cita-cita tertinggi Stoa adalah mencapai kebebasan. Manusia memang tidak dapat melepaskan diri dari hukum alam. Akan tetapi, ia dapat menyesuaikan diri dengan hukum alam. 

Dan dengan begitu, manusia dapat menjalankan hal-hal yang sesuai dengan kehendaknya. Manusia pun mencapai autarkia, yakni suatu keadaan di mana ia tidak tergantung lagi pada apapun yang ada di luarnya. Cita-cita tertinggi stoa adalah ataraxia yakni kebebasan dari keresahan dan penderitaan.

Hal yang saya pahami dari stoikisme adalah mendikotomi dimensi internal dan eksternal atau sering disebut dikotomi kendali. Dimensi internal ini berada didalam diri yang dapat dikendalikan secara penuh. Dimensi eksternalnya adalah hal yang berasal dari luar dan tidak dapat dikendalikan contohnya tanggapan, perkataan, penilaian, peristiwa buruk, resiko dampak yang terjadi. Masalah yang sering membuat saya tidak tenang saat itu sebelum mengenal diri lebih dalam adalah menggantung kebahagiaan pada dimensi eksternal.  Padahal dimensi eksternal ini sesuatu yang diluar kendali? Konyolnya hidup saya.

Setelah saya sering dijatuhkan oleh rekan kerja saya, saya baru menyadari lebih dalam lagi. Ucapan dan perangai mereka adalah hal diluar kendali saya. Saat saya jatuh, hanya diri saya sendiri yang memotivasi untuk bangkit lagi, saat saya terluka hanya diri saya yang mengobati luka itu, saat kalimat sampah itu terlontar dari mulut mereka, saya yang membersihkannya sendiri. Sementara rekan kerja saya tertawa bahagia telah berhasil menyingkirkan saya dengan berbagai cara mulai dari mencari-cari kesalahan dari masalah pribadi hingga hasrat untuk menjatuhkan dengan cara tidak baik. Pimpinan saya hanya berdiri ditengah, seakan tidak memihak padahal memihak.

Dari situlah, saya belajar stoikisme lebih dalam lagi. Kebahagiaan dan ketenangan itu bukan apa kata mereka. Kebahagiaan dan ketenangan itu ketika saya membahagiakan dimensi diri saya dan berusaha menyeimbangkan kehidupan fisik dan batin. Dibantu oleh 2 teman saya yang sudah resign, mereka juga menjelaskan seperti itulah kehidupan dilingkungan kerja dan itu hanyalah miniatur kehidupan secara luas. Diluar sana, mungkin akan lebih parah dari itu semua. Terkadang, memang saya terlalu naif. Saya selalu mengira dunia ini baik-baik saja. Karena selama ini saya mengira semua orang itu hakikatnya baik.

Dari stoikisme saya berjalan dengan kesadaran dikotomi kendali. Ketika saya bekerja, dimensi internal yang dapat saya kendalikan adalah komitmen, etos kerja, tanggung jawab dan disiplin adalah hal yang sepenuhnya dapat saya kontrol. Masalah penilaian rekan kerja, kenaikan jabatan, penilaian bos adalah dimensi eksternal diluar dari kendali saya.

Saya sering mengamati tingkah laku rekan kerja saya, ia selalu merasakan ketidakpuasan bekerja. Merasa sudah bekerja lebih baik tetapi masih disalahkan dan tidak mendapatkan apa yang diinginkan. Ujung-ujungnya ia bekerja uring-uringan dan kesal. Karena apa? Dia menaruh faktor kebahagiaan pada dimensi eksternal. Ingin pekerjaannya dibilang baik dan mendapat jabatan. Padahal itu semua dimensi eksternal diluar kontrol.

Dari stoikisme ini mengajarkan saya lebih rasional dan berani tampil sebagai diri sendiri bukan orang yang sembunyi dibawah ketiak atasan. Kedua, stoikisme adalah obat bagi saya. Kembali ke cerita-cerita politik dunia kerja tadi. Sebagai orang yang sangat naif, jelas saya kaget, sakit dan terpukul luar biasa. Ternyata dibalik kebaikan rekan kerja saya, ada duri yang tersimpan didalam daging. Stoikisme membantu saya mengobati rasa sakit itu. Bersyukur saya diajarkan untuk memahami manusia lebih dalam lagi, lebih mawas dan jangan naif.

Contoh lain, saya sering memperhatikan kehidupan disekitar dengan seksama. Saat orang itu berhasil, main di bursa saham untungnya menghidupi, jadi trader sering menguntungkan. Sering ada pertanyaan didalam diri, dia berhasil kok saya tidak? Berlomba mau ikutan jadi trader, pemain saham dan ikutan caranya Ghozali Everyday melalui NFT.

Berlomba-lomba supaya siapa yang sampai garis finish duluan. Balap-balapan padahal kita tidak sedang berada di arena balap. Mau enggak mau, kita harus ikutan lari. Beli barang yang enggak diperluin dari uang hasil meminjam, supaya dibilang mengikuti perkembangan zaman, dipandang, dihormati dan mendapatkan pengakuan. Akhirnya, membangun mental bagaimana kita diakui orang dan bagaimana kita dilihat orang.

Stoikisme ini obat yang paling manjur untuk  menghadapi segala kegilaan yang dihadapi. Politik dunia kerja, pencapaian orang lain, globalisasi, COVID-19. Saya bahagia dan tenang karena tidak pernah merasa terganggu dengan pencapaian, perkataan dan tindakan orang lain. Bahkan saya sering mengatakan "saya disini bukan untuk meyakinkan siapapun, dan tidak untuk melakukan pembuktian apapun". Percuma juga, orang yang enggak suka itu akan selalu mencari-cari kesalahan dan keburukan seseorang.

Tidak masalah, dibilang orang lain apapun. Ada yang suka ya Alhamdulillah, ada yang membenci juga enggak masalah. Rasa bahagia itu bukan terletak pada seberapa tinggi pencapaian tapi seberapa rasionalnya sebuah harapan.

Masalah besar yang menghalangi kebahagiaan kan diri sendiri yang haus pengakuan. Ingin dihormati, dibilang hebat, sukses dengan ini, sukses dengan itu. Lama-lama kok capek mental ya? Merasa tidak tenang, tidak pernah merasa cukup dan lupa bersyukur.

Setelah ditarik sedalam-dalamnya ke relung hati. Ternyata pengakuan manusia itu hanya semu. Jangan-jangan selama ini terjebak ternyata diri ini bukan yang dihormati, tidak sepintar yang dibayangkan, tidak sehebat yang dikira, tidak sesukses yang diagung-agungkan orang. Sakit rasanya, sakit harus mengakui hal itu terhadap diri sendiri. Sakit... teramat sakit...

Tapi, ketika telah berhasil membuat pengakuan itu, tenang rasanya. Akhirnya diri belajar menghargai pencapaian-pencapaian kecil, sesuatu yang biasa tetapi mendatangkan kebahagiaan. Saya juga lebih tenang dan bahagia berjalan dengan tidak terganggu pencapaian mereka diluar sana. Tidak terbebani bagaimana orang lain melihat diri dan tidak harus meyakinkan semua orang di dunia ini.

Hasilnya, saya rasakan sekarang. Ada pencapaian kecil sudah bahagia. Dan yang tidak pernah saya bayangkan dan berani mimpikan dapat terwujud setelah saya bahagia dari dalam. Padahal, dulu waktu saya masih ambisius dan mengejar-ngejar mimpi itu, ia malah menjauh. Senang dan bahagia luar biasa, bahkan saya merasa mimpi itu terlalu tinggi.

Berjalan secara natural, saya mengevaluasi apa yang sudah saya lakukan. Ternyata, saya sudah berjalan lebih dari target yang saya harapkan dulu. Wow... jadi stoikisme itu bukan membunuh cita-cita dan harapan, tapi stoikisme itu membantu membuang distraksi negatif dan obstacle yang enggak penting didalam hidup. Hal paling penting lagi, stoikisme itu bukan psimisme, tapi lebih mengarah ke netralitas dan rasionalitas.

Bogor Barat, 23 Januari 2022

Salam,

Sri Patmi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun