Mohon tunggu...
SRI PATMI
SRI PATMI Mohon Tunggu... Mahasiswa Magister Program Studi Strategi Pertahanan - Dari Bumi ke Langit

Membumikan Aksara Dari Bahasa Jiwa. Takkan disebut hidup, jika tak pernah menghidupi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen Sri Patmi: Suara Mesin Charlie Chaplin

7 November 2021   21:57 Diperbarui: 7 November 2021   22:03 106
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hari ini masih hujan belum reda. Ia menggulung lagi celananya yang sudah basah kuyub. Masih belum reda kemarahannya sudah diguyur lagi dengan cipratan dari motor yang ngebut disepenjang jalan trotoar yang seharusnya menjadi hak bagi para pejalan kaki. Dibuang puntungan rokok yang sudah dihisap berkali-kali dalam genangan air kotor akibat aliran deras air yang mengerosi tanah. Dari bahasa kakinya yang gontai, sepertinya ia ragu untuk bertindak atas nama pribadi. Sudah lama ia terus menggandrungi dirinya yang tak utuh menjadi manusia biasa. Kata orang, manusia ini memang sedikit gila karena memang hal yang tidak wajar, bukan kepantasan tetapi masuk akal bagi para penggenggam logika penalaran. Setibanya ia di proyek, ia sudah harus melantangkan suaranya lagi. Sesekali ia harus menggebrak meja untuk menggetarkan urat syaraf para bawahannya yang mulai kehilangan taraf. Bawahannya seakan sudah terbiasa bahkan menganggap manusia ini sudah sinting, kerjanya setiap hari hanya marah-marah. Hidup di Jakarta memang keras. Apa saja bisa jadi masalah. Diam dianggap pasif, lantang dibilang subversif, keras dikira kurang manusiawi, lunak dianggap tak berprinsip. 

Dari kejauhan, matanya memandang lebih tajam cara kerja bawahannya. Ia mencatat hal penting, memperhatikan lagi satu per satu setiap gerakan bawahannya. Digulung lagi celananya yang hampir kering untuk masuk dan terjun langsung kedalam proyek ini. Ia memberikan pengarahan satu per satu. Harapannya bukan untuk menyakiti dengan perkataannya. Ia hanya bertindak apa adanya dan tidak ada yang terselubung. Masalah hari ini selesai, besok untuk memulai langkah baru lagi dengan penuh kewaspadaan dan rasa mawas. Tidak akan ada yang suka untuk diperlakukan secara keras. Bahkan satu diantara dua orang melawan segala bentuk perkataannya. Stereotip terhadapnya adalah arogan dan kasar. 

Sore menjelang maghrib, masalah masih terjadi dalam ruang produksi. Seketika dahinya mengernyit, memutuskan sebuah solusi. Tanpa alasan bertindak dan bergerak seperti mesin. Ia memang orang ini seperti mesin, banyak bergerak, sistematis dan terstruktur. Hujan masih mengguyur aspal jalan yang berdebu. Rodanya kembali bergesekan sampai ke kota kembang. Setibanya di rumah, ia segera menyalakan laptop dan membuat masterplan lainnya. Terdengar suara dering telepon dari nomor dengan kode 021. Ia yakin, sedini hari ada yang menelpon pasti ada masalah yang terjadi di ruang produksi. 

"BERHENTI!" ujarnya dengan tegas. 

Ia memerintahkan produksi untuk segera dihentikan. Keputusan yang disampaikan dalam hitungan detik. Menjelang pukul 03:00, ia baru terlelap tidur. Pukul 05:00, saat adzan subuh menggema, kepalanya terasa berat dan seketika badannya terkulai lemas. Dokter mendiagnosa, ia sakit lever. Selama 4 bulan ia harus menjalani pengobatan dan istirahat total. Beberapa teman memberikan dukungan agar lekas sembuh. 

RUANG PRODUKSI 

Jabatannya kini diduduki oleh admin sang manager. Meski manager sedang sakit, tetapi kehidupan pada tempat lain harus berjalan termasuk pekerjaan harus tetap berjalan. Setelah sembuh menjalani pengobatan, ia kembali menjalani rutinitas lagi di tempat kerja. Sayangnya, sang admin justru merasa nyaman dengan jabatan yang seharusnya sementara ia duduki. Tanpa rasa apapun, sang manager hanya melangkah pergi tanpa kata dengan membawa kecewa. Tak ada tuntutan dan bungkam terhadap segala yang ia alami. 

Besar penerimaannya untuk mengerti kehidupan seperti roda cakramanggilingan. Ia hanya mencerna setiap pesan yang tersirat dari setiap tindakan dan ucapan, mengambil hikmah dibalik peristiwa bernyawa. Memulai kehidupannya dilingkungan kerja dengan penuh rasa kecewa. Menikmati pertunjukan dengan kepulan asap dari puntung rokok yang dibuang di genangan air. Dirinya seakan menjadi Charlie Chaplin, hanya bergerak tak banyak bicara, bergerak seperti mesin yang memiliki hati. Mesin yang dibekali nurani. Karena faktanya, manusia yang katanya manusia, justru bertindak seperti mesin, membuang dan menyia-nyiakan dengan begitu mudah dengan berbagai dalih. Suara mesin si Charlie Chaplin, dibutuhkan tetapi diacuhkan diabaikan. 

Salam, 

Sri Patmi 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun