Sambil menahan sakit dia berkata, "Jangan pikirkan saya, Pak!"
Mendengarnya hatiku serasa disayat. Pertempuran tak lagi bisa dijeda. Musuh makin beringas mempertahankan posisi mereka. Sedangkan satu-satunya jalan memadamkan api peperangan adalah mengusir mereka dari sana. Â
Perlahan, aku maju ke depan memimpin serangan balasan. Aku perintahkan pasukan bergerak melingkar melakukan pengepungan. Tembakan kami beruntun. Tak seberapa lama, gerakan musuh melemah.Â
"Lebih cepat ke kiri!" seruku.
Letnan Gebo menghambur. Lalu membidik dari balik batang pohon besar. Peluru yang dia lepaskan tepat mengenai sasaran. Seketika senapan mesin di atas bukit terdiam.
Asap mesiu menebal. Kami maju setapak demi setapak. Di tengah kekacauan, terdengar suara mengerang dari sebelah kanan. Rupanya seorang anak buahku tertembak di kaki. Sontak, aku mendekatinya. Menyeretnya ke balik batu.
"Bertahanlah, target sudah dekat," kataku sambil menekan luka tembaknya. Dia hanya mengangguk, matanya menyala penuh semangat.Â
Dalam jarak dua puluh meter, kami serentak menyerbu. Granat pasukanku melesat ke jantung pertahanan musuh. Ledakannya menimbulkan guncangan besar. Asap dan debu bercampur dalam teriakan kemenangan.
Pos pertahanan musuh telah jatuh. Seorang prajurit bergegas naik ke puncak dengan dada berdebar. Di sana, bendera musuh masih berkibar. Dengan tangan gemetar, dia mencabut kain bendera di tiang itu dan menggantinya dengan Sang Merah Putih. Angin sedang meniupnya dengan lembut. Â
Sepuluh menit berlalu. Mentari tersingkap dari balik awan. Hanya napas berat para prajurit yang terdengar. Bukit ini sudah kami ambil alih. Tapi di bawah sana, masih banyak orang yang menunggu untuk dilindungi pikirku.
Aku menatap sekeliling. Tanah penuh luka. Penuh arti. Pertempuran baru saja benar-benar usai. Hanya desau angin dan aroma tanah terbakar yang tertinggal. Â