Mohon tunggu...
YR Passandre
YR Passandre Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

menulis membaca menikmati

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen: Perempuan Menunggu Hujan

15 November 2020   16:57 Diperbarui: 12 Januari 2021   08:56 1480
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hujan masih tumpah. Semakin keras. Aku memutuskan menunggu Kaijai sambil berteduh di batang pohon sowang yang akan dia lewati sebelum sampai ke rumah. 

Payungku tak kan mampu menjagaku dari derasnya air dari langit. Kalau memaksa berjalan mencari Kaijai, aku akan basah kuyup. Kaijai pasti kesal begitu tahu aku sengaja melawan hujan.

Kaijai tak biasa bekerja di kebun hingga hari menjelang senja, karena itu aku ingin menyusul. Aku harus memastikan kecemasanku tak berdasar. 

Sedari pagi, aku membayangkan Kaijai pulang dengan keranjang buah musa ingens, pisang raksasa sebesar lenganku. Bahkan bisa sebesar tubuh bayi. Buah yang tumbuh tinggi menjulang hanya di tanah kami. Tanah yang telah banyak kehilangan.

"Semoga hujan tak lekas pergi," harapku dengan yakin dan senang hati. Seperti aku meyakini hutan-hutan Papua akan tetap menjadi kebun terbesar di muka bumi. Tak ada yang boleh mengambilnya dari kehidupan kami. 

Semakin lama hujan bertahan, kepulan asap akan berkurang. Hanya hujan yang mampu meredam api berkobar-kobar.

Sekian lama kami dirundung asap dari hutan yang hangus. Dari hari ke hari, pembukaan lahan perkebunan sawit semakin luas. Dugaan pun ramai, kepulan asap datang dari sana. Padahal, perusahaan sawit punya mesin-mesin pembalak hutan. 

Ah, jangan-jangan, mesin-mesin itu hanya kedok?

Aku tak kalah risau karena Pandanus conoideus makin langka. Kami menyebutnya kuansu, buah yang umumnya berwarna merah sebesar jagung dengan rasa lebih segar. Aku masih yakin Kaijai akan datang membawanya untukku. 

Kaijai percaya kuansu dapat menyembuhkan banyak penyakit. Aku berharap hipertensi yang ibu mertua alami akan sembuh dengan memakan cukup kuansu. Namun bagiku, Kaijai lebih dari cukup sebagai penyembuh kerinduan setiap waktu. 

Menjadi pendamping lelaki perkasa penakluk rimba raya seperti Kaijai adalah anugerah besar, yang sedang kunikmati dalam usia pernikahan belum setahun. Aku merasa damai bernaung di bawah keberaniannya, dan dengan keberanian itu Kaijai melindungi hutan rumah kami. 

Setiap saat kuingin bersamanya, dimana kebahagiaan kami akan terpatri lama di kerindangan hutan ini.

Aku pun terkenang keindahan hutan serimbun dulu, yang menjadi dongeng indah sebelum tidur. Meski tak pernah bertemu Koes Plus, aku hafal beberapa lagunya dan sesekali melantunkan "Kolam Susu": Orang bilang tanah kita tanah surga, tongkat kayu dan batu jadi tanaman. 

"Semoga anak panahnya hanya melukai binatang, bukan manusia," gusarku teringat busur panah di punggung Kaijai.

Di hutan ini darah sudah banyak tumpah karena persengketaan dan adu domba. Orang tiba-tiba harus berperang satu sama lain. Adik dan kakak saling buru. Orang asing tak henti-henti meniupkan fitnah untuk menjadi serigala paling berkuasa. Aku tak ingin lagi mengingat itu.

Kematian suami Mikela cukup meninggalkan kengerian, yang dibunuh hanya gara-gara protes pohon pisangnya ditebang orang dari perusahaan sawit. Kadang tak habis pikir, mengapa orang kecil seperti kami tak dilindungi? 

Oh, biarlah aku melupakannya!

Aku tersenyum melihat bunga anggrek yang tengah mekar tak jauh di depanku. Saat hujan reda nanti, aku akan memetiknya dan membawa pulang. Tapi Kaijai pasti akan melarangku mengambil tanaman secara berlebihan, karena setiap tanaman punya hak tumbuh lestari di alamnya. 

Ilustrasi (Sumber: www.nowjakarta.co.id)
Ilustrasi (Sumber: www.nowjakarta.co.id)
"Selain memberi kita rumah yang indah, hutan juga memberi kita udara segar di bumi yang makin sesak." Demikian Kaijai pernah mengumbar nasihat. "Menjaga hutan kita, berarti menolong bumi tetap bugar, Celin!."

Aku terkesan dengan panggilan "celin" yang Kaijai lekatkan kepadaku, meskipun bukan nama asliku.  Celin kependekan dari kata "ceria dan lincah". 

Kaijai tak kunjung datang. Aku makin tak sabar menunggu. Ibu mertua juga pasti akan cemas kalau kami terlalu lama berada di luar rumah. Lebih-lebih, dalam situasi yang rentan pertikaian seperti sekarang. Banyak orang enggan menerima uang ganti rugi lahan seratus ribu per hektare dari perusahaan sawit itu.

Hujan sudah pergi. Sambil memetik bunga anggrek, aku terus dilanda bimbang. "Semoga Kaijai tak bertemu orang-orang dari perusahaan sawit dan kembali bersitegang?" batinku lagi. Aku merasa tak nyaman.

Orang asing datang dengan nafsu lebih beringas dari harimau, dan membalak hutan kami sesuka hati. Mereka berdalih membuka kebun sawit yang luas untuk meningkatkan kesejahteraan di tanah Papua. 

Aku tak bisa membayangkan 57.000 hektare hutan telah berganti menjadi kebun sawit. Luasnya hampir sama dengan Seoul, ibukota Korea Selatan. Setidaknya, kami boleh juga hidup bersenang-senang seperti orang-orang di kota Seoul itu.

Nyatanya jauh panggang. Bahkan sagu yang tumbuh riang di tengah hutan lambat laun tergusur dan makin banyak hilang. Itulah mengapa Kaijai mudah tersulut amarah. Padahal sagu memberi kami makan sebelum kapal San Juan yang dinakhodai Ynigo Ortiz de Retez berlayar ke Tidore menyinggahi pesisir utara Papua. 

"Saya menangis, saya sedih! Kenapa saya punya hutan, alam Papua yang begini indah, yang tete nenek moyang wariskan untuk kami anak cucu? Kami jaga hutan ini dengan baik," ratap bibi Elisa. Perempuan suku Malind sepertiku yang hutan adatnya di pedalaman Merauke telah berubah menjadi perkebunan sawit. 

Mengingat itu, rasanya batok kepalaku mau pecah. Terlalu banyak sudah ratapan terdengar di tanah ini. Maka di hadapan orang-orang, bibi Elisa tak canggung sesunggukan menguak getir kehilangan hutan tersayang. 

"Kami tidak pernah bongkar hutan, tapi orang dari luar bongkar itu. Buat saya itu luka!" entak bibi Elisa di siang bolong kemarin, saat beberapa orang dari kota datang menanyakan nasibnya. Aku terpaku, duduk menyangga dagu di sampingnya. 

Aku pun terngiang kata-kata menyayat hati yang diungkapkan Petrus, warga suku Mandobo yang paling menyesal itu. "Saya ambil ikan, daging, burung, sagu, gratis. Saya datang pasti dengan istri anak senyum, senang-senang kita makan. Tidak ada yang keberatan karena ini di atas tanah adat saya sendiri."

Petrus tak tahu bagaimana harus membayar kemalangan saudara-saudaranya, yang pernah dia bujuk untuk bersedia menerima ganti rugi lahan dan kompensasi dari perusahaan sawit. Kini, banyak impian yang dijanjikan berakhir bualan. 

Perasaanku terus digempur oleh ingatan pedih dan menakutkan, sedangkan batang hidung Kaijai belum tampak. Dalam kekalutan, aku kembali melihat bongkahan asap mengepung langit. Daunan di sekitarku seolah memberi isyarat kelu dalam ketakutan. 

Aku makin yakin, Kaijai berada di sumber asap itu. Aku ingin bergegas ke sana. Dia tak boleh dibiarkan sendiri menghadapi orang-orang dari perusahaan sawit seperti ceritanya kemarin. 

"Aku harus di sampingnya!"

Dengan lekas aku melangkah. Tiba-tiba Wonijai, adik Kaijai, muncul secepat kilat dan menghadang langkahku. Aku menatap tajam wajahnya yang pucat. Jantungku berdebar keras.

"Kaka tewas!"  ucap Wonijai dengan bibir masih bergetar.

"Di mana?" tanyaku tak berdaya. Payung dan bunga anggrek lepas dari tanganku. 

"Di kebun sawit!"

Lalu pandanganku gelap gulita.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun