Bahaya Polarisasi dan Kegaduhan Publik
Yang perlu dicermati adalah dampak sosial-politik dari polemik ini. Paiman sendiri mengaku jutaan relawan Jokowi sempat terprovokasi untuk turun ke jalan menuntut penangkapan Roy Suryo. Ia harus menenangkan mereka dengan cara menempuh jalur hukum. Jika tidak, kegaduhan bisa melebar menjadi konflik horizontal.
Artinya, isu fitnah yang tampak sepele di layar ponsel bisa berdampak serius pada stabilitas publik. Polarisasi makin tajam, kepercayaan terhadap institusi negara terkikis dan energi bangsa habis untuk debat tak produktif.
Menutup Ruang Bagi Fitnah
Pada akhirnya, yang dibutuhkan adalah kepastian hukum dan konsistensi penegakan aturan. Jika fitnah terbukti, proses hukum harus ditegakkan tanpa pandang bulu. Jika tidak terbukti, tudingan harus ditutup dan pelaku disanksi sesuai hukum.
Di sinilah pentingnya peran kepolisian dan pengadilan : memastikan kasus ini selesai dengan terang, sehingga publik tidak lagi diganggu isu berulang. Publik juga perlu mendesak agar perdebatan politik kembali pada substansi : kebijakan, visi dan program nyata bagi rakyat, bukan gosip personal yang tidak relevan.
Ade Armando dan Freddy Damanik mungkin mewakili keresahan banyak orang: bahwa fitnah yang kelewat batas bukan lagi sekadar perbedaan pandangan, melainkan serangan pada kehormatan pribadi dan keluarga. Demokrasi memang memberi ruang bagi kritik, tapi bukan bagi fitnah.
Kontroversi ijazah Jokowi dan isu makam ibunda hanyalah cermin dari betapa mudahnya fitnah dijadikan alat politik di negeri ini. Namun, publik yang makin cerdas dan hasil investigasi resmi dari lembaga negara semestinya cukup untuk menutup ruang manuver para penyebar tudingan.
Roy Suryo dan dr. Tifa boleh jadi merasa sedang melakukan "pembongkaran kebenaran". Namun, tanpa data yang kuat, langkah mereka hanya memperpanjang deret politik murahan yang menguras energi bangsa.
Demokrasi sehat hanya mungkin terwujud jika kritik dilakukan dengan argumen rasional, bukan fitnah emosional. Dan selama isu ijazah serta makam masih digoreng tanpa dasar, masyarakat berhak menyebutnya bukan kritik, melainkan sekadar sensasi.
Lihat :