Mohon tunggu...
Parlin Pakpahan
Parlin Pakpahan Mohon Tunggu... Saya seorang pensiunan pemerintah yang masih aktif membaca dan menulis.

Keluarga saya tidak besar. Saya dan isteri dengan 4 orang anak yi 3 perempuan dan 1 lelaki. Kami terpencar di 2 kota yi Malang, Jawa timur dan Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Ijazah, Fitnah dan Politik Murahan

10 Oktober 2025   19:22 Diperbarui: 10 Oktober 2025   20:57 65
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ade, Roy dan Tifa. Trio gegeran. Sumber : youtube.com

Belum selesai urusan ijazah, muncul lagi babak baru yang lebih sensitif : polemik mengenai makam ibunda Jokowi di Solo. Roy Suryo dan dr. Tifa disebut-sebut mencoba menggali isu usia ibunda Jokowi yang menurut mereka tidak sinkron dengan tanggal kelahiran sang presiden. Klaim itu digoreng seolah-olah Jokowi dilahirkan "terlalu muda" untuk ukuran seorang ibu.

Manuver ini memicu reaksi keras dari dua figur public : Ade Armando dari PSI dan Freddy Damanik dari jaringan relawan Jokowi. Keduanya menilai Roy Suryo dan dr. Tifa sudah keterlaluan. Bagi mereka, mengecek makam orangtua seseorang demi mencari bahan politisasi adalah tindakan tidak etis dan tidak relevan.

Pertanyaan mendasar pun muncul : apa relevansinya usia ibu Jokowi dengan keaslian ijazah atau legitimasi politiknya? Secara biologis, seorang perempuan yang berusia di atas 13 tahun sudah dapat melahirkan anak. Maka, logika dasar saja sudah cukup untuk menepis insinuasi yang dimainkan Roy dan Tifa. Tuduhan ini lebih tampak sebagai upaya sensasional ketimbang fakta hukum atau akademik.

Motif Politik dan Hasrat Kekuasaan

Jika ditilik lebih jauh, manuver Roy Suryo dan dr. Tifa sulit dilepaskan dari dinamika politik pasca-2024. Setelah Hasto Kristiyanto, Sekjen PDIP, dibebaskan dari jerat hukum, terjadi rekonsiliasi simbolik antara Prabowo dan Megawati. Namun, faktanya PDIP tidak masuk dalam kabinet baru, dan juga tidak mengambil sikap oposisi yang jelas.

Dalam situasi itu, suara-suara yang menyerang Jokowi justru terdengar seperti orkes tunggal yang dimainkan oleh segelintir orang, bukan sebuah orkestrasi partai besar. Artinya, serangan-serangan itu tidak punya backing politik yang solid. Maka wajar jika publik bertanya : untuk apa Roy dan Tifa terus-menerus menggoreng isu? Apakah mereka haus panggung politik? Atau ada ambisi pribadi - misalnya berharap mendapat posisi Menteri - yang mendorong strategi fitnah murahan?

Jawaban dari pertanyaan itu masih spekulatif. Namun, yang jelas, strategi fitnah jarang sekali membuahkan hasil manis dalam politik modern. Publik kini lebih kritis, terbiasa mengakses informasi dari berbagai sumber dan cepat menangkap kontradiksi dalam narasi-narasi bombastis.

Fitnah dalam Demokrasi

Sejarah politik Indonesia tidak asing dengan isu fitnah. Sejak masa kolonial hingga era reformasi, fitnah kerap dijadikan alat delegitimasi lawan politik. Bedanya, di era digital sekarang, penyebaran fitnah berlangsung lebih cepat dan masif melalui media sosial.

Kasus ijazah Jokowi bisa dilihat sebagai contoh klasik bagaimana sebuah isu yang sudah dijawab secara hukum masih dihidupkan ulang demi kepentingan politik. UGM, institusi akademik terkemuka, sudah menegaskan keaslian ijazah. Bareskrim Polri sudah menutup penyelidikan. Namun, narasi palsu terus diputar untuk menimbulkan keraguan publik.

Fenomena ini menunjukkan adanya "ekonomi politik fitnah": semakin sensasional tudingan, semakin banyak perhatian yang didapat, dan semakin besar peluang untuk mempengaruhi persepsi publik, walau hanya sementara.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun