Di Bawah Kanopi Kenangan
Pagi itu aku berangkat ke kantor BTPN di Jalan Jaksa Agung Suprapto (Jakgung Suprapto). Setibanya, rupanya mesin ATM sedang bermasalah. Alih-alih menunggu di dalam bank, aku memilih berkeliling kawasan sekitar - salah satunya melewati Kolese Cor Jesu, tempat anak-anakku dulu bersekolah. Di sinilah kerinduan itu muncul kembali, menyelimuti langkah kaki yang mengitari masa lalu.
Kulangkahkan kaki ke warung kopi favorit lama : Warkop Fajar Baru. Warung kecil yang sudah lama kukunjungi itu kini telah berganti petugas - tak tampak lagi wajah lama yang kukenal. Sekarang ada dua orang : satu ceplas-ceplos bercanda, satu lagi lebih serius. Tapi menu kopi tetap setia : tubruk padang dan tubruk ireng. Aku memesan tubruk padang, meski tak pernah tahu asal-usul nama "padang"-nya.
Sambil menunggu, pandanganku melayang ke bangunan tua di seberang jalan: bekas toko kelontong di sebelah Cor Jesu, tempat anak-anak dulu jajan. Di sampingnya berdiri bengkel kecil; seorang lelaki tua dengan topi tentara tengah membasuh bagian kerangka motor, sedangkan seorang karyawan muda membersihkan body Honda bebek. Tubuh motor itu sedang dipersiapkan untuk pengecatan ulang.
Tak ramai di jalan itu. Namun daripada terus menunggu di BTPN yang belum berfungsi ATM-nya, aku memilih menikmati waktu. Lapang pikiran, seraya meresapi kenangan masa lalu : sekolah, jajan Engkoh Mie Ayam, tawa anak-anak kecil, langkah pulang ke rumah lewat gang-gang sempit. Banyak hal hilang dimakan waktu. Mie ayam Engkoh kini tak bisa kutemukan lagi. Engkoh ternyata sudah berpulang dalam cara misterius.
Kopi tubruk padang pun datang - masih panas. Kuhirup perlahan, seraya berpaling ke bengkel. Aku menyapa, mencoba membuka obrolan. Pemilik bengkel itu bernama Pak Arie, usia 73 tahun. Ia tinggal di gang di belakang SD Cor Jesu. Aku menyebut bahwa aku dulu menyekolahkan anak-anakku di sekolah itu. Wajahnya teduh, namun sorot matanya menyimpan kelelahan dimakan zaman.
Ia mengeluh tentang kebijakan pajak terhadap pedagang UMKM di gang-gang kecil tempat tinggalnya. "Untungnya tak seberapa, tapi harus membayar terus ... bagaimana melanjutkan hidup?" katanya. Ia memandang perubahan zaman : dulu orang bisa hidup sederhana, mencari rezeki saja tanpa beban regulasi yang terlalu berat. Sekarang, katanya, semua serba dipajaki, dipatok.
Obrolan kami melaju ke kenangan masa kecilnya. Kota Malang waktu itu belum padat. Sawah dan kebun masih luas, penduduk masih sedikit. Kisah-kisah tentang genderuwo sering terdengar - bukan sebagai fiksi belaka, tetapi bagian dari dunia imajinasi warga di zaman sepi ruang. Kini, katanya, ruang kosong itu sudah menghilang, digantikan rumah-rumah, jalan-jalan, dan gedung-gedung. "Mungkin genderuwo pindah, tak betah tinggal di kota padat," ia bercanda.