Ritual kirab ini juga dipersembahkan sebagai penghormatan kepada Dewa Bumi, dewa yang diyakini paling dekat dengan manusia. "Dewa Bumi bersemayam di tanah yang kita pijak. Ia menjaga keseimbangan dan keberkahan wilayah," jelas Pak Rudy.
Pesan untuk Generasi Muda
Di balik kemeriahan perayaan, terselip pesan penting: menjaga klenteng sebagai warisan budaya. Generasi muda diajak untuk tidak hanya menikmati keindahan barongsai atau tarian naga, tetapi juga memahami nilai spiritual dan sosial yang terkandung di dalamnya.
Klenteng Eng An Kiong adalah simbol identitas, bukan hanya bagi komunitas Tionghoa, tetapi juga bagi warga Malang secara keseluruhan. Ia mencerminkan keberagaman yang harmonis, di mana budaya dan agama saling berdampingan. Nilai-nilai persaudaraan, gotongroyong, dan toleransi yang diwariskan oleh pendahulu diyakini dapat memperkuat harmoni sosial di masa mendatang.
Persaudaraan Tua Pek Kong
Perayaan ini juga menjadi bagian dari Tua Pek Kong World Festival ke-14, sebuah ajang internasional yang mempertemukan komunitas Tua Pek Kong dari berbagai belahan dunia. Tujuannya sederhana namun mulia: mempererat persaudaraan lintas bangsa demi perdamaian bersama.
"Kirab budaya ini tujuannya membangun persaudaraan yang lebih erat. Malang membuktikan bisa kompak, selaras dengan pemerintah daerah dan masyarakatnya," ungkap salah seorang tokoh komunitas.
Dengan semangat itu, perayaan dua abad Klenteng Eng An Kiong bukan sekadar pesta budaya, melainkan jembatan spiritual dan sosial. Ia menjadi doa tulus bagi umat manusia agar hidup dalam kedamaian.