Dua Abad Eng An Kiong : Persaudaraan dalam Warisan Budaya
Sabtu pagi, 27 September 2025, jalanan di sekitar Jalan Martadinata, Malang, terlihat berbeda dari biasanya. Suasana macet, kendaraan terparkir di tepi jalan, dan arus lalu lintas yang padat menandakan ada sesuatu yang istimewa di kawasan ini. Di balik keramaian itu berdirilah sebuah bangunan tua yang sarat Sejarah : Klenteng Eng An Kiong, salah satu klenteng tertua di Jawa Timur. Hari itu, ribuan orang datang dari berbagai penjuru Indonesia bahkan mancanegara untuk menghadiri puncak perayaan 200 tahun berdirinya Yayasan Klenteng Eng An Kiong.
Sejarah Panjang Eng An Kiong
Didirikan pada tahun 1825, Klenteng Eng An Kiong bukan sekadar tempat ibadah umat Khonghucu, Tao, maupun Buddha di Malang. Ia adalah rumah kebudayaan yang menyimpan jejak perjalanan komunitas Tionghoa di kota ini. Selama dua abad, klenteng ini menjadi pusat kegiatan sosial, budayadan spiritual. Dindingnya yang kokoh, altar-altar penuh dupa, serta arsitektur khas Tiongkok yang masih terjaga hingga kini adalah saksi bisu dari ribuan ritual, doa, serta upacara yang telah digelar di sana.
Nama "Eng An Kiong" berarti Istana Keselamatan yang Mulia. Filosofi ini sejalan dengan peran klenteng : menjaga harmoni, menghadirkan kedamaian, sekaligus menjadi penopang kehidupan sosial warga sekitar. Bukan hanya umat Tionghoa, masyarakat luas pun turut merasakan manfaatnya melalui kegiatan sosial dan budaya yang kerap digelar di sana.
Perayaan Dua Abad
Perayaan resmi dimulai sehari sebelumnya, Jumat 26 September 2025. Rangkaian acara diawali dengan penerimaan Kiemsin, simbol suci dari berbagai klenteng yang datang dari penjuru Indonesia maupun mancanegara. Prosesi ini menandai kehadiran spiritual para leluhur dan dewa-dewa, seakan menyatukan energi lintas tempat dalam satu ruang suci.
Malam harinya, suasana keakraban terasa dalam Welcoming Dinner yang digelar di KDS Ballroom, Kota Malang. Para tamu undangan dari Lombok, Bali, Jakarta, hingga luar negeri seperti Singapura, Malaysia, Myanmar, Hongkong, dan Guangzou, berkumpul untuk menyambut momen bersejarah ini. Bagi panitia, acara ini bukan sekadar hajatan lokal, melainkan festival internasional. Hal itu mungkin wajar mengingat dukungan besar dari para donatur seperti Aqua atau Golden Mississippi, yang memungkinkan perayaan ini berlangsung meriah dan berskala luas.
Pak Rudy, salah seorang yang saya sapaketika itu, menjelaskan momentum ini menjadi ajang silaturahmi antar-yayasan klenteng sekaligus mempererat hubungan lintas negara. "Acaranya besar, Pak. Ini bukan hanya untuk Malang, tapi untuk semua saudara kita di dunia," ujarnya dengan penuh semangat.
Ritual dan Doa
Pagi hari pada 27 September, klenteng sudah dipadati ribuan umat yang datang untuk berdoa. Ruangan-ruangan penuh dengan aroma dupa atau hio yang menyebar ke seantero klenteng. Suasana hening namun khidmat, di mana setiap doa yang terucap seakan menyatu dengan gema sejarah dua abad perjalanan Eng An Kiong.
Di salah satu sudut, saya sempat berbincang dengan perwakilan Klenteng Hok Sian Kiong dari Mojokerto. Ia mengungkapkan rasa bahagia karena dapat hadir di perayaan ini. "Kehadiran banyak pengurus yayasan dari berbagai daerah dan luar negeri membuat hubungan kita semakin erat. Di usia 200 tahun, Klenteng Eng An Kiong menjadi perekat persaudaraan," katanya.
Puncak: Kirab Budaya
Menjelang siang, seluruh perhatian tertuju pada acara puncak : Kirab Budaya 200 Tahun Klenteng Eng An Kiong. Ribuan warga memadati kawasan sekitar klenteng untuk menyaksikan prosesi Blessing Ceremony, penyerahan Kiemsin, dan kirab budaya Tionghoa yang spektakuler.
Barisan meriah mulai bergerak dari Klenteng Eng An Kiong di Jalan Gatot Subroto. Rute kirab melewati Jalan Trunojoyo, Jalan Kertanegara, kawasan Tugu, Jalan Majapahit, Jalan Merdeka, lalu kembali ke depan klenteng sebagai titik akhir. Atraksi barongsai, tarian naga, dan berbagai kesenian tradisional Tionghoa memukau ribuan pasang mata.
Peserta kirab datang dari berbagai negara Asia: Hongkong, Makau, Malaysia, Brunei Darussalam, Singapura, Vietnam, hingga Myanmar. Malang seakan berubah menjadi panggung besar yang menampilkan kaleidoskop budaya lintas negara, sekaligus menegaskan posisi kota ini sebagai rumah persaudaraan internasional.
Ritual kirab ini juga dipersembahkan sebagai penghormatan kepada Dewa Bumi, dewa yang diyakini paling dekat dengan manusia. "Dewa Bumi bersemayam di tanah yang kita pijak. Ia menjaga keseimbangan dan keberkahan wilayah," jelas Pak Rudy.
Pesan untuk Generasi Muda
Di balik kemeriahan perayaan, terselip pesan penting: menjaga klenteng sebagai warisan budaya. Generasi muda diajak untuk tidak hanya menikmati keindahan barongsai atau tarian naga, tetapi juga memahami nilai spiritual dan sosial yang terkandung di dalamnya.
Klenteng Eng An Kiong adalah simbol identitas, bukan hanya bagi komunitas Tionghoa, tetapi juga bagi warga Malang secara keseluruhan. Ia mencerminkan keberagaman yang harmonis, di mana budaya dan agama saling berdampingan. Nilai-nilai persaudaraan, gotongroyong, dan toleransi yang diwariskan oleh pendahulu diyakini dapat memperkuat harmoni sosial di masa mendatang.
Persaudaraan Tua Pek Kong
Perayaan ini juga menjadi bagian dari Tua Pek Kong World Festival ke-14, sebuah ajang internasional yang mempertemukan komunitas Tua Pek Kong dari berbagai belahan dunia. Tujuannya sederhana namun mulia: mempererat persaudaraan lintas bangsa demi perdamaian bersama.
"Kirab budaya ini tujuannya membangun persaudaraan yang lebih erat. Malang membuktikan bisa kompak, selaras dengan pemerintah daerah dan masyarakatnya," ungkap salah seorang tokoh komunitas.
Dengan semangat itu, perayaan dua abad Klenteng Eng An Kiong bukan sekadar pesta budaya, melainkan jembatan spiritual dan sosial. Ia menjadi doa tulus bagi umat manusia agar hidup dalam kedamaian.
Penutup yang Bermakna
Rangkaian acara akan ditutup pada Minggu, 28 September 2025, dengan prosesi pengembalian Kiemsin serta Closing Ceremony di KDS Ballroom. Penutupan ini menjadi simbol persatuan sekaligus penghormatan atas perjalanan panjang klenteng yang telah menjadi bagian dari sejarah Malang selama dua abad.
Ketika matahari semakin terik, saya pun berpamitan dari keramaian di sekitar klenteng. Dalam hati saya berharap agar cuaca tetap bersahabat hingga kirab budaya selesai. Namun lebih dari itu, saya merasa perayaan ini telah memberikan sebuah pelajaran berharga bahwa budaya, spiritualitas, dan persaudaraan dapat menyatu dalam satu ruang, menghubungkan masa lalu, kini, dan masa depan.
Refleksi
Perayaan 200 tahun Klenteng Eng An Kiong mengingatkan kita bahwa warisan budaya bukan sekadar peninggalan masa lalu, melainkan fondasi untuk membangun masa depan. Ia mengajarkan keberagaman bukanlah ancaman, melainkan kekayaan yang memperkaya identitas sebuah kota.
Malang patut berbangga, karena di tengah hiruk pikuk zaman modern, ia masih mampu merawat sebuah klenteng yang berdiri sejak abad ke-19. Eng An Kiong bukan hanya milik komunitas Tionghoa, melainkan milik seluruh warga yang percaya pada harmoni dan persaudaraan.
Pada akhirnya, dua abad perjalanan Eng An Kiong adalah cermin dari daya tahan sebuah komunitas. Di tengah perubahan politik, ekonomi, bahkan sosial, klenteng ini tetap tegak berdiri, menjadi saksi bahwa persaudaraan dan spiritualitas mampu melintasi waktu. Ia bukan sekadar bangunan, tetapi rumah yang menyatukan jiwa-jiwa yang merindukan kedamaian.
Joyogrand, Malang, Sat', Sept' 27, 2025.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI