Pak Rudy, salah seorang yang saya sapaketika itu, menjelaskan momentum ini menjadi ajang silaturahmi antar-yayasan klenteng sekaligus mempererat hubungan lintas negara. "Acaranya besar, Pak. Ini bukan hanya untuk Malang, tapi untuk semua saudara kita di dunia," ujarnya dengan penuh semangat.
Ritual dan Doa
Pagi hari pada 27 September, klenteng sudah dipadati ribuan umat yang datang untuk berdoa. Ruangan-ruangan penuh dengan aroma dupa atau hio yang menyebar ke seantero klenteng. Suasana hening namun khidmat, di mana setiap doa yang terucap seakan menyatu dengan gema sejarah dua abad perjalanan Eng An Kiong.
Di salah satu sudut, saya sempat berbincang dengan perwakilan Klenteng Hok Sian Kiong dari Mojokerto. Ia mengungkapkan rasa bahagia karena dapat hadir di perayaan ini. "Kehadiran banyak pengurus yayasan dari berbagai daerah dan luar negeri membuat hubungan kita semakin erat. Di usia 200 tahun, Klenteng Eng An Kiong menjadi perekat persaudaraan," katanya.
Puncak: Kirab Budaya
Menjelang siang, seluruh perhatian tertuju pada acara puncak : Kirab Budaya 200 Tahun Klenteng Eng An Kiong. Ribuan warga memadati kawasan sekitar klenteng untuk menyaksikan prosesi Blessing Ceremony, penyerahan Kiemsin, dan kirab budaya Tionghoa yang spektakuler.
Barisan meriah mulai bergerak dari Klenteng Eng An Kiong di Jalan Gatot Subroto. Rute kirab melewati Jalan Trunojoyo, Jalan Kertanegara, kawasan Tugu, Jalan Majapahit, Jalan Merdeka, lalu kembali ke depan klenteng sebagai titik akhir. Atraksi barongsai, tarian naga, dan berbagai kesenian tradisional Tionghoa memukau ribuan pasang mata.
Peserta kirab datang dari berbagai negara Asia: Hongkong, Makau, Malaysia, Brunei Darussalam, Singapura, Vietnam, hingga Myanmar. Malang seakan berubah menjadi panggung besar yang menampilkan kaleidoskop budaya lintas negara, sekaligus menegaskan posisi kota ini sebagai rumah persaudaraan internasional.