Mengingat PBB sering dikritik sebagai "tong kosong yang nyaring bunyinya," Indonesia bisa menawarkan agenda reformasi multilateralisme yang lebih inklusif, terutama agar suara negara-negara berkembang tidak selalu dikalahkan oleh veto kekuatan besar.
Warisan Kolonial dan Batas Wilayah
Mendorong forum internasional untuk memberikan perhatian pada penyelesaian sengketa batas wilayah yang diwariskan kolonialisme. Ini bukan hanya isu Indonesia, tetapi juga banyak negara berkembang lain di Asia dan Afrika.
Isu Arab-Palestina dalam Proporsi Tepat
Indonesia tetap bisa menyuarakan dukungan terhadap Arab-Palestina, namun dalam proporsi yang tepat: sebagai bagian dari komitmen moral, bukan sebagai agenda utama yang mengabaikan kepentingan langsung bangsa.
Mengembalikan Diplomasi pada Rakyat
Diplomasi sejatinya adalah perpanjangan dari kepentingan nasional. Apa yang dibicarakan di panggung PBB seharusnya punya dampak nyata terhadap kehidupan rakyat : harga bahan pokok yang lebih stabil, lapangan kerja yang lebih luas karena pasar ekspor terbuka, serta keamanan wilayah yang lebih terjamin. Jika pidato Presiden hanya berhenti pada simbolisme tanpa strategi konkret, maka diplomasi akan kehilangan relevansi di mata rakyat.
Kehadiran Prabowo di PBB adalah peluang untuk mengubah citra Indonesia dari sekadar pengikut arus ke pemain aktif yang mampu menawarkan solusi. Namun, peluang ini hanya bisa dimanfaatkan jika Presiden berani keluar dari jebakan isu-isu simbolis yang sering kali justru dijadikan komoditas politik domestik.
Pidato Presiden Prabowo Subianto di Sidang Umum PBB ke-80 seharusnya menjadi momentum untuk menegaskan kembali kepentingan nasional Indonesia di tengah dinamika global. Sayangnya, dengan memilih fokus pada two state solution, Presiden berisiko melewatkan kesempatan emas untuk membawa isu-isu vital seperti perdagangan global, Laut China Selatan, dan warisan kolonial ke panggung dunia.
Indonesia tentu tetap bisa bersuara tentang Arab-Palestina, namun harus dalam porsi yang proporsional. Lebih dari itu, diplomasi kita harus realistis, berorientasi pada kepentingan nasional, dan berani mendorong reformasi multilateralisme agar forum seperti PBB benar-benar menjadi sarana penyelesaian masalah, bukan sekadar panggung propaganda.
Dengan demikian, kehadiran Indonesia di PBB tidak hanya akan terdengar nyaring, tetapi juga terasa nyata bagi rakyat di tanah air.