Tidak ada yang menyangkal Arab-Palestina adalah isu yang dekat dengan hati rakyat Indonesia. Dukungan terhadap kemerdekaan Arab-Palestina bahkan tertulis jelas dalam pembukaan UUD 1945, yang menegaskan penjajahan di atas dunia harus dihapuskan. Namun, persoalannya, apakah PBB saat ini masih menjadi forum yang efektif untuk mendorong terwujudnya two state solution?
Realitas politik menunjukkan PBB lebih sering berfungsi sebagai arena propaganda bagi blok-blok kekuatan besar ketimbang sebagai lembaga penyelesai konflik yang efektif. Resolusi demi resolusi tentang Arab-Palestina kerap kandas di hadapan veto anggota tetap Dewan Keamanan. Ironisnya, dalam dua tahun terakhir, konflik di Timur Tengah justru semakin melebar : dari Gaza hingga Lebanon, Syria, Yaman, Iran, bahkan Qatar ikut menjadi sasaran serangan Israel. Dalam situasi seperti ini, two state solution tampak lebih seperti jargon normatif ketimbang solusi nyata.
Indonesia tentu sah mendukung perjuangan Arab-Palestina. Namun, menjadikan isu itu sebagai tema utama pidato Presiden di PBB berisiko mengaburkan prioritas. Apalagi, pengalaman di dalam negeri menunjukkan betapa isu Arab-Palestina sering kali dijadikan komoditas politik oleh kelompok tertentu. Contoh terbaru adalah Tim Flotila Indonesia yang ikut konvoi bersama Greta Thunberg. Dengan membawa figur publik seperti Hussein Gaza dan Wanda Hamidah, misi ini dijalankan dengan dana donasi publik yang akhirnya tidak jelas pertanggungjawabannya. Alih-alih membawa hasil konkret, misi tersebut justru pulang dengan tangan hampa dan menjadi bahan cemoohan. Jika praktek-praktek simbolis seperti ini masih dibawa ke level diplomasi tertinggi, maka hasilnya pun dikhawatirkan hanya sebatas retorika tanpa dampak.
Kebutuhan Akan Diplomasi yang Realistis
Indonesia saat ini menghadapi tantangan yang tidak ringan. Ekonomi global melambat, harga komoditas berfluktuasi dan kepercayaan masyarakat terhadap prospek ekonomi melemah. Dalam situasi seperti ini, diplomasi internasional harus diarahkan secara realistis : bagaimana setiap forum internasional bisa dimanfaatkan untuk membuka akses pasar, memperkuat kedaulatan ekonomi, serta mengamankan kepentingan nasional di kawasan strategis.
Ada beberapa langkah konkret yang seharusnya bisa diambil Presiden Prabowo di forum PBB:
Perdagangan Global
Mendesak agar PBB mendorong mekanisme penyelesaian sengketa perdagangan yang cepat dan adil. Hotline antar kepala negara untuk menyelesaikan hambatan dagang yang bersifat politis dapat menjadi usulan inovatif.
Laut China Selatan
Menegaskan posisi Indonesia sebagai negara nonklaiman yang berkomitmen menjaga stabilitas kawasan, sembari mendorong keterlibatan Mahkamah Internasional dalam penyelesaian sengketa.
Reformasi Multilateralisme