Manusia dalam Kaca Terbalik
Satire yang diterbitkan The Onion  sebuah tabloid satire di AS pada 13 Agustus 2025 lalu menggambarkan Tuhan yang muak melihat manusia lalu meletakkan kaca raksasa terbalik untuk menjebak mereka. Narasi semacam ini jelas hiperbolik dan penuh humor gelap, tetapi di balik kelucuannya tersimpan kritik mendalam : umat manusia telah berubah menjadi spesies yang tak hanya berisik dan rakus, melainkan juga merusak habitatnya sendiri. The Onion menggunakan metafora "serangga" untuk menggambarkan manusia, lengkap dengan keluhan Tuhan yang jijik melihat cara mereka bergerak, berkembang biak, hingga mengotori ciptaan.
Satire ini menjadi semacam cermin - bukan sekadar kaca terbalik, melainkan refleksi bagi kita semua. Bila umat manusia dipandang oleh Pencipta sebagai hama yang menjengkelkan, maka pertanyaan filosofis yang muncul adalah: sejauh mana kebenarannya bahwa kita telah gagal sebagai makhluk yang seharusnya menjaga bumi, menegakkan keadilan, dan menjalani hidup dengan martabat?
Berangkat dari satire itu. Mari kita lihat pertama, dalam konteks dunia global - terutama bagaimana peradaban modern kerap jatuh pada perang, kerakusan, dan destruksi lingkungan. Kedua, dalam konteks Indonesia - negara yang pada 2025 genap 80 tahun merdeka namun masih berkutat dalam lingkaran korupsi, kesenjangan, dan krisis kepemimpinan.
Satire sebagai Cermin Kehidupan
Kekuatan satire seperti karya The Onion terletak pada kemampuannya mengangkat kebenaran pahit dengan cara yang seolah konyol. Membayangkan Tuhan menutup umat manusia di bawah gelas raksasa tentu absurd. Tetapi absurditas itu justru menyingkapkan realitas : manusia memang semakin menyerupai koloni hama yang sulit dikendalikan.
Dalam biologi, hama adalah spesies yang populasinya tumbuh berlebihan sehingga merusak ekosistem. Dalam politik dan sosial, umat manusia hari ini menunjukkan gejala serupa. Kita berkembang pesat - populasi dunia mencapai 8,1 miliar jiwa - namun pertumbuhan itu disertai kerakusan yang melampaui daya dukung bumi. Deforestasi, polusi plastik, krisis iklim, dan kelangkaan pangan bukanlah fenomena alamiah belaka, melainkan konsekuensi langsung dari keserakahan manusia.
Bila Tuhan digambarkan jijik melihat tubuh manusia yang lembap dan bergerak gelisah, itu adalah satir atas tabiat kita yang tak pernah puas : berpindah, menjarah, berebut, dan menumpuk lebih banyak dari yang dibutuhkan.
Dunia yang Terkurung dalam Gelas
Mari kita lihat dunia saat ini, seolah-olah ia benar-benar terkurung di bawah kaca terbalik ilahi.