Di sinilah letak paradoks : China menjadi modern secara teknologi dan ekonomi, tetapi tetap mempertahankan pola politik otoriter yang dibalut dengan simbolisme budaya dan historis. Ini mirip dengan apa yang dikemukakan oleh Nathan Gardels tentang "negara peradaban yang terkonsolidasi".
China, seperti Rusia, menolak universalitas nilai Barat, dan justru menantang Barat dengan memproyeksikan dirinya sebagai alternatif yang sah dan unggul.
Afrika dan Pluralitas Tradisi
Afrika adalah kawasan dengan tradisi paling majemuk dan pengalaman kolonial paling dalam. Banyak negara Afrika mengadopsi sistem negara-bangsa dari kolonialisme, namun gagal mentransformasikannya menjadi identitas nasional yang kuat. Hasilnya adalah ketegangan terus-menerus antara identitas suku, agama, dan negara.
Dalam konteks ini, nasionalisme peradaban belum menemukan ekspresinya secara jelas. Yang ada lebih sering adalah reaksi -- baik terhadap globalisasi maupun terhadap tekanan dari nilai-nilai Barat yang dianggap tidak kontekstual. Namun, potensi untuk berkembangnya semacam nasionalisme spiritual seperti di Timur Tengah, atau nasionalisme budaya seperti di Asia, tetap terbuka, terutama ketika nilai-nilai lokal mulai diformalkan kembali dalam politik.
Masa Mendatang : Konstelasi Baru atau Konfrontasi Baru
Apa yang akan terjadi selanjutnya. Frank Fukuyama menawarkan harapan bahwa Barat akan kembali ke liberalisme klasik - yakni penghormatan terhadap hak-hak individu sebagai universal, bukan berdasar kelompok. Namun, Nathan Gardels mengingatkan kita konflik ini bisa dengan mudah meluas menjadi "Perang Tiga Puluh Tahun versi pascamodern", kali ini dimediasi oleh media sosial, bukan pamflet Gutenberg.
Jika pada abad ke-17 Eropa menemukan resolusi melalui Westphalia, maka abad ke-21 mungkin membutuhkan bentuk baru dari "federalisme budaya", sebagaimana diusulkan oleh filsuf seperti John Gray atau Alexandre Lefebvre. Dalam sistem semacam itu, nilai dan norma yang majemuk dapat hidup berdampingan tanpa harus dipaksakan menjadi satu model tunggal.
Namun, apakah sistem seperti ini dapat bekerja di era globalisasi data dan migrasi besar-besaran, ketika batas fisik tidak lagi menghalangi pergerakan nilai dan opini.
Membangun Dialog Peradaban
Tulisan ini bukan untuk memihak, tetapi untuk menyadari dunia sedang bergerak menuju realitas multipolar, bukan hanya dalam kekuatan ekonomi dan militer, tetapi juga dalam tatanan nilai. Barat tidak lagi tunggal, dan Asia serta Afrika tidak lagi penonton.