Sementara dari dalam negeri, sederet nama yang sudah dikenal publik tetap setia hadir. Andien, Tompi, Barry Likumahuwa, BLP, dan Rizky Febian menjadi daya tarik lokal yang dipadukan dengan musisi muda seperti Syahravi, Adikara, hingga Rahmania Astrini. Tak ketinggalan, musisi unik seperti Balawa, gitaris asal Bali yang akan tampil dengan gitar akustik 9 neck, ikut menambah warna.
Sayangnya, sejumlah nama besar jazz Indonesia justru absen. Salah satunya Indra Lesmana, yang meskipun kini menetap dan aktif berkarya di Bali, tidak masuk dalam line-up. Ini menimbulkan pertanyaan tentang bagaimana seleksi dilakukan - apakah semata berdasarkan popularitas, atau juga mempertimbangkan kontribusi historis terhadap dunia jazz Indonesia.
Hal serupa juga terjadi di level global. Nama-nama legendaris seperti Nancy Wilson tak pernah sempat tampil di Java Jazz hingga wafat. Padahal, kehadiran ikon-ikon seperti dia bisa menambah bobot artistik dan nilai sejarah festival.
Klaim 1000 Musisi : Terlalu Megah untuk Masuk Akal
Klaim tentang 1.000 musisi dalam satu festival yang berlangsung hanya tiga hari tentu menimbulkan pertanyaan. Apalagi JIExpo, meskipun luas, tetap memiliki batas kapasitas dan manajemen logistik yang menantang. Mungkinkah jumlah itu mencakup kru, artis pendukung, hingga partisipan non-utama. Atau mungkin ada banyak panggung kecil dan booth sederhana yang dipaksakan tampil tanpa kualitas produksi yang sepadan.
Apapun itu, yang jelas ada potensi kuantitas mulai mengalahkan kualitas. Java Jazz yang dahulu identik dengan pengalaman musikal yang intim dan penuh eksplorasi, kini dikhawatirkan berubah menjadi semacam pasar malam musik yang kebanyakan "showcase", bukan "experience". Ini tentu jadi tantangan tersendiri bagi penyelenggara.
Desentralisasi Jazz : Mungkinkah Java Jazz Menginspirasi Daerah
Jika Java Jazz sudah mencapai titik stabil dalam skala nasional dan regional, mungkin saatnya mereka berpikir lebih jauh : desentralisasi. Indonesia tidak hanya Jakarta. Banyak kota punya ruang-ruang urban bersejarah yang bisa menjadi tuan rumah festival jazz berskala menengah. Kawasan Kajoetangan Heritage di Malang, Braga di Bandung, Kesawan di Medan, Simpang Lima Semarang, hingga Museum Sampoerna di Surabaya, semuanya punya potensi kuat untuk dikembangkan jadi pusat komunitas jazz daerah.
Apalagi, dengan menurunnya ajang seperti "Jazz Masuk Kampus", kebutuhan akan regenerasi dan penyebaran semangat jazz ke kota-kota kecil makin mendesak. Tidak semua orang bisa datang ke Jakarta. Tapi semangat Java Jazz bisa datang ke mereka.
Tentu, ini tidak mudah. Dibutuhkan sponsor, sinergi dengan pemerintah daerah, dan dukungan media. Tapi jika Peter Gontha dan timnya mampu menjalin kolaborasi strategis dengan tokoh-tokoh besar seperti Rosano Barack atau jaringan korporasi yang peduli budaya, bukan tidak mungkin Java Jazz memiliki cabang-cabang di daerah dalam beberapa tahun ke depan.
Membentuk Komunitas Jazz yang Sejati