Tuslah : regulasi atau akal-akalan
Pemerintah memang menetapkan Tuslah (tambahan biaya angkutan) pada periode tertentu untuk menyesuaikan dengan lonjakan penumpang dan operasional. Tapi jika kenaikannya dua kali lipat atau lebih, itu sudah masuk ranah spekulasi harga yang memberatkan penumpang. Jika pemerintah tidak mengawasi, PO bisa bebas memainkan tarif sesuka hati.
Respon terhadap situasi ini
Pemerintah harus lebih tegas mengawasi tarif agar kenaikan tetap dalam batas wajar. Idealnya, ada aturan batas atas harga tiket, seperti pada pesawat.
Konsumen harus lebih cerdas dalam mencari alternatif transportasi, misalnya mencari tiket lebih awal, memilih moda lain, atau bahkan menggunakan "ridesharing" jika memungkinkan.
Digitalisasi tiket bus perlu diperluas agar harga lebih transparan dan tidak ada permainan harga di terminal atau agen.
Jadi, praktik "mengosongkan bus dulu lalu menaikkan tarif" ini lebih ke akal-akalan pengusaha dibanding alasan operasional yang benar-benar tak bisa dihindari.
Lalu kenyataan lain yang juga penting untuk dilihat khususnya di pasar-pasar tradisional, bahkan di retailer-retailer terkemuka seperti Indo Maret dan Alfa Maret dan retailer-retailer lainnya, kita lihat pasar tradisional sepi pembeli, demikian juga di retailer tersebut di atas. Biasanya mereka sudah menyiapkan kue-kue lebaran, tapi kali ini H-2 saja belum kelihatan.
Fenomena lesunya pasar tradisional dan ritel modern menjelang Lebaran tahun ini mencerminkan beberapa realitas ekonomi dan sosial yang sedang terjadi. Jika biasanya menjelang H-2 Lebaran toko-toko ramai dengan pembelian kue kering, sembako, dan kebutuhan lainnya, tapi kini terlihat sepi.
Daya beli masyarakat melemah
Inflasi dan kenaikan harga bahan pokok membuat masyarakat lebih selektif dalam belanja.