Â
    Ada sebuah cerita terkenal yang menyatakan bahwa suatu saat seorang profesor Sains yang angkuh menantang para muridnya untuk membuktikan keberadaan Tuhan katanya: "menurutku Tuhan itu tidak ada!" Ia memandang angkuh dan sangat yakin akan pernyataannya itu. Semua mahasiswa diam dan bungkam. Ia melanjutkan "Apakah kalian pernah melihat Tuhan?" pertanyaan itu tidak dijawab. Semua murid tampak tercenung. Melihat itu ia melanjutkan lagi; "Apakah kalian pernah mendengarkan Ia berbicara?; pernakah kalian mencium aroma tubuh-Nya dan bahkan menyentuh-Nya?"
    "Tentu tidak!" Seorang Siswa yang tadi nampak diam membalas santai. "Kalau begitu, hal itu membutktikan bahwa Tuhan tidak ada!" kata sang profesor tersenyum menang. Para mahasiswa yang terdiam menunjukkan wajah muram dan resah.
    "Tapi kita juga belum pernah melihat otak profesor; kita bahkan belum pernah menyentuh atau mencium bau otak profesor; seorang mahasiswa yang dari tadi nampak diam membals sengit. "Kesimpulannya, Otak profesor itu tidak ada!"
    Semua mahasiwa yang ada di sana tertawa terpingkal. Sang profesor menahan malu dan rasa marah. Mahasiswa pemberani yang mempermalukan sang professor adalah seorang pemuda bersemangat yang bernama Albert Einstein, seorang ahli fisika terbesar abad ke 20.
    Pernyataan bahwa Tuhan itu ada, merupakan hal mendasar yang dipercayai oleh agama. Namun orang-orang Atheis yang skeptis menentang hal tersebut dengan berbagai argumen. Beberapa orang mungkin tidak menyenangi moralitas agama yang mengekang kebebasannya. Bahkan beberapa ilmuan mungkin berpendapat bahwa masyarakat dapat hidup tanpa agama, dan bahkan lebih maju karenanya.
    Jelaslah secara filosofis itu tidak mungkin. Tuhan menjamin hal-hal yang menjadi batas pengetahuan dan kemampuan manusia. Ketika kita berpikir mengenai hal-hal yang tidak terbatas, menjadi nyatalah bahwa kita memasuki ranah atau dimensi makhluk yang tak terbatas. Dalam iman kita menyebutnya sebagai Tuhan.
    Agama sebagai wadah yang memperkenalkan Tuhan memang terkadang dapat memantik pertentangan dan bahkan perang. Hal ini disebabkan oleh fanatisme sempit para pengikutnya. Namun bukan berarti, tanpa agama peradaban akan tetap berlangsung. Anggapan bahwa peradaban akan tetap ada tanpa agama adalah naif. Eropa yang bebas dan modern secara normatif selama 2000 tahun menyerap nilai-nilai Kristiani seperti belas kasih dan penghormatan akan otonomi dan potensi akal budi. Nilai-nilai inilah yang memajukan Eropa dalam abad-abad pencerahan dalam konteks humanisme. Kaum atheis sekarang dapat menikmati nilai-nilai itu tanpa harus menjadi anggota sebuah Gereja. Namun kita tidak bisa membayangkan apa jadinya Eropa hari ini tanpa pengaruh Gereja. Eropa mungkin masih hidup dalam zaman kobodohan, kekerasan dan telah punah oleh cara hidup masyarakat yang bejat dan korup.
    Pemikiran logis dari para filsuf secara  mendalam dan meyakinkan membantah anggapan ketiadaan Tuhan dalam proses penciptaan. "Ex Nihilo Nihil Fit": Tidak ada sesuatu pun yang muncul dari ketiadaan," demikianlah kata Filsuf Yunani, Parmenides. Secara logis kita mengetahui bahwa hukum kausalitas mengandaikan adanya penyebab dari semua kejadian. Jika kita bertanya terus mengenai penyebab dari keberadaan dan gerakan dari segala sesuatu, maka kita akan sampai pada kesimpulan yang diambil oleh filsuf Yunani terbesar, Aristoteles, bahwa Tuhan adalah penyebab final. Penyebab final ini disebut Aristoteles sebagai "Ou kinomenon kinei": Penggerak yang Tak Tergerakkan. Di abad pertengahan, pemikir Kristen St. Thomas Aquinas menyusun lima tesis dasar untuk menunjukkan bukti keberadaan Tuhan secara filosofis dan kembali menguatkan pendapat Aristoteles. Ia berpendapat bahwa segala sesuatu memiliki hubungan sebab akibat: "ex rationae causae efficiens." Tuhan dipandang sebagai penyebab pertama dari segala sesuatu. Hulu dari segala keberadaan.
     Tentu saja, argumen meyakinkan mereka belum cukup meyakinkan para atheis yang bersikap sangat skeptis. Para filsuf seperti Feuerbach, Nietszche, Jean Paul Sartre, menyangkal keberadaan Tuhan atau setidak-tidaknya menaruh Tuhan di luar kehidupan manusia. Para filsuf positivisme dan juga kaum saintisme yang menaruh kepercayaan mereka terhadap kemajuan sains juga beranggapan bahwa agama akan hilang lenyap di masa depan. Setelah semua rahasia alam dibongkar oleh sains, maka tidak tersisa lagi ruang untuk agama.Â
    Bagaimanapun mereka lupa, bahwa tetap saja ada ruang untuk presepsi, kesadaran, imajinasi, intuisi dan keyakinan. Hal-hal ini tidak dapat diprediksi, dijabarkan secara tuntas dan matematis oleh sains. Semakin pengetahuan manusia berkembang, semakin sadar pula akan kekurangtahuan kita terhadap luasnya  misteri alam semesta. Dan ruang kosong yang tertinggal ini akan tetap diisi oleh iman. Tuhan dan agama akan tetap mewarnai hidup manusia sampai kapan pun dan tak akan mampu digeser oleh sains dan optimisme palsu para ilmuan skeptik antireligi.  Sejarah telah membuktikan bahwa mempercayai adanya pencipta justru adalah sikap paling rasional dan paling cocok dengan ilmu pengetahuan itu sendiri.