Mohon tunggu...
Ishak Pardosi
Ishak Pardosi Mohon Tunggu... Editor - Spesialis nulis biografi, buku, rilis pers, dan media monitoring

Spesialis nulis biografi, rilis pers, buku, dan media monitoring (Mobile: 0813 8637 6699)

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama FEATURED

Cukai Rokok Naik, Pilih "Turun Kelas" atau Berhenti Total?

26 Oktober 2019   23:35 Diperbarui: 15 Desember 2021   10:48 1355
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi gambar peringatan kesehatan pada bungkus rokok.(Honeycruller via kompas.com)

Ini kabar penting. Harga rokok akan naik mulai Januari 2020. Dari berita yang saya baca, kenaikannya mencapai 35%. 

Perkiraan itu muncul setelah Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menerbitkan PMK Nomor 152/PMK.010/2019 tentang tarif cukai hasil tembakau. Disebutkan dalam PMK itu, harga cukai rokok naik rata-rata 21,55%.

Biar lebih gampang, mari kita buatkan ilustrasi saja. Misalnya harga rokok A saat ini adalah Rp 20 ribu, maka nanti di Januari 2020, harganya berada di kisaran Rp 25-26 ribu. Atau mengalami kenaikan Rp 5 ribu hingga Rp 6 ribu. Kira-kira begitu.

Sebagai perokok aktif, saya merasa kenaikan harga rokok ini tidak ada masalah. Kenapa? Karena saya sudah bersiap 'turun kelas'.

Maksudnya, mengganti jenis rokok dari merek A ke merek B. Tentu dengan harga yang lebih murah. Kan banyak tuh jenis rokok yang baru, yang namanya belum terlalu populer. Jadi mau dinaikkan kek, saya biasa saja. Terserah pemerintah saja.

Bagi perokok lain, mungkin berhenti total menjadi pilihan. Saya pun sebetulnya ingin berhenti tapi belum berhasil. Dengan berhenti merokok, otomatis pengeluaran membeli kandungan nikotin menjadi tidak ada. Badan lebih sehat.

Jujur, merokok memang buruk untuk kesehatan fisik. Saya akui itu. Tetapi saya kurang setuju kalau dengan berhenti merokok maka kesejahteraan ikut meningkat. 

Rasanya terlalu berlebihan bila dikaitkan dengan akan menebalnya isi dompet. Kecuali, belanja rokok dalam sebulan bisa mencapai Rp 3 juta, misalnya. 

Kalau masih di rentang Rp 500 ribu hingga Rp 1 juta, menurut saya masih biasa-biasa saja. Ini menurut saya loh, yang punya banyak teman perokok dan bukan perokok.

Menurut pengamatan saya, tidak ada relevansi perokok dan bukan perokok ke tingkat kesejahteraan. Ada yang perokok tapi tetap makmur, ada juga yang tak pernah merokok tetapi hidupnya serba kekurangan.

Kemudian, ada yang hidupnya serba kekurangan tetapi masih nekat pula merokok. Sekali lagi, ini menurut pengamatan saya. Bukan berdasarkan survei resmi dan bukan bermaksud membela perusahaan rokok.

Terlepas dari pilihan apakah turun kelas atau berhenti merokok, yang jelas kenaikan cukai rokok pasti berdampak terhadap petani tembakau dan pabrik rokok. 

Dengan naiknya harga rokok, maka pendapatan pabrik rokok akan berkurang akibat banyaknya konsumen yang turun kelas atau berhenti merokok.

Selanjutnya, sebanyak 7.400 tenaga kerja di pabrik rokok terancam kena PHK.

Selain ancaman gelombang PHK pekerja pabrik rokok, nasib buruk juga sudah pasti menimpa petani tembakau. Wajar, ketika harga rokok naik maka permintaan dari pabrik rokok akan dikurangi.

Di saat bersamaan, rokok ilegal yakni rokok tanpa cukai, pun ikut marak. Perokok akan melirik harga rokok yang lebih murah. Tanpa terlalu peduli apakah rokok itu telah dibebani cukai atau tidak. Yang penting, tetap ngebul!

Serba salah memang. Bila pemerintah tidak menaikkan cukai rokok maka pendapatan negara akan berkurang. Sementara pada 2020, pemerintah mematok penerimaan negara dari cukai sebesar Rp 180,5 triliun.

Angka ratusan triliun itu bukan dari cukai rokok saja, tetapi dari keseluruhan cukai. Tetapi yang jelas, cukai rokok punya peran penting dalam meraup pendapatan negara.

Di sisi lain, jika cukai dinaikkan, petani tembakau dan pabrik rokok langsung menjerit. Ancaman PHK terjadi yang ujung-ujungnya merepotkan pemerintah sendiri. Pemerintah akan dituding tidak mampu menyediakan lapangan pekerjaan, tidak kreatif, dan sebagainya. Serba salah.

Sehingga daripada pusing harus memilih siapa, saya memutuskan untuk tetap merokok dengan jenis rokok yang lebih rendah. Maksudnya rokok yang lebih murah harganya. Paling tidak, saya ikut membantu para petani tembakau dan pabrik rokok.

Di saat bersamaan, juga berperan menyetor sedikit duit ke negara melalui cukai. Bayangkan kalau saya berhenti merokok, petani dan pemerintah akan kena dampaknya.

Nah, bagaimana dengan Anda? Turun kelas atau berhenti merokok? Pilihan di kedua jari Anda. Tidak ada paksaan dan tidak ada larangan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun