Mohon tunggu...
Ishak Pardosi
Ishak Pardosi Mohon Tunggu... Editor - Spesialis nulis biografi, buku, rilis pers, dan media monitoring

Spesialis nulis biografi, rilis pers, buku, dan media monitoring (Mobile: 0813 8637 6699)

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Horor Macet Jakarta, Tatapan Tajam Sang Pemotor

3 November 2017   22:57 Diperbarui: 3 November 2017   22:58 1321
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Macet di Gatot Subroto (Foto: Pribadi)

Hawa dingin masih terasa menempel di kulit ketika urusan baru saja selesai dari sebuah gedung bertingkat di Jalan Gatot Subroto, Jakarta. Tiba di pintu keluar gedung, mendadak kulit kembali diterpa hawa yang lebih dingin oleh hembusan angin yang menemani hujan di sore itu. Pemandangan seperti biasa pun tersaji dengan jelas: macet panjang nan parah.

Di pinggir jalan, tampak kerumunan pemotor yang memilih menepi. Paling banyak memilih parkir di arael SPBU, lainnya menumpang di tenda-tenda ala kadarnya pedagang kaki lima. Saya pun mengikuti ritual yang selalu hadir di setiap musim penghujan itu, ikut berlindung di bawah pohon yang tak rindang. Sesekali, menepi di bawah jembatan fly over meski menyadari dampak yang bakal timbul apabila berlindung di sana.

Sore terus merambat menjelang malam, saya pun tak sabar ingin pulang kendati harus berjibaku dengan kemacetan di depan mata. Saya lalu menyusuri anak tangga jembatan penyeberangan menuju tempat parkir motor yang sengaja saya titip di seberang gedung. Maklum, gedung di seberang itu milik pemerintah yang tarif parkirnya tak dipatok. Sementara di gedung milik swasta, ongkos parkir seringkali membuat dahi mengernyit. Parkir sebentar saja, uang kertas bergambar pahlawan nasional Frans Kaisiepo pun wajib berpindah tangan.

Dari atas jembatan penyeberangan itu, horor kemacetan pun terhampar makin jelas. Sejauh mata memandang sejauh itulah kemacetan yang terjadi. Tak berbeda, tol dalam kota yang persis berada di samping jalan protokol itu pun bernasib sama. Keduanya mampet nyaris tak bergerak. Seluruhnya berlomba meninggalkan Jakarta menuju kota penyangga seperti Bekasi dan Depok. Sedikit pelipur lara, arus lalu lintas dari arah sebaliknya terpantau lancar jaya. Hanya sedikit saja yang menuju Jakarta.

"Tak apalah, toh bukan saya saja yang akan terjebak dalam kemacetan," saya meyakinkan diri untuk ikut bergabung dalam kesesakan jalanan Ibu Kota. Dan, sepeda motor keluaran 2011 itu pun saya pacu perlahan usai menyerahkan ongkos parkir ala kadarnya kepada petugas berseragam sekuriti.

Maka tanpa lagi perlu membuka aplikasi Waze, kemacetan sudah terpampang di depan mata. Motor bergerak perlahan, gas sedikit lalu rem lagi. Sejam berlalu, mendekati kawasan Pasar Minggu, saya pun mendadak diganjar "hadiah" tak mengenakkan. Sebuah tatapan mata yang teramat tajam dari seorang pemotor. Tatapan matanya menunjukkan kekesalan bahkan mungkin kemarahan. Lelaki separuh baya itu rupanya tersulut emosi karena ban depan motor saya mengenai bagian belakang sepeda motornya.

Hanya tersentuh sedikit saja sebenarnya, wong dalam posisi macet, yang maju sedikit lalu mengerem lagi. Buru-buru, agar tak berubah menjadi urusan panjang, saya langsung menangkupkan kedua telapak tangan sembari meminta maaf. Ia diam saja, tak membalas permohonan maaf itu dan secepat kilat pula memalingkan wajahnya kembali ke depan.

Kami kembali melaju, kali ini saya lebih berhati-hati agar tak lagi mengulangi peristiwa serupa. Begitulah seterusnya hingga kemacetan sedikit terurai usai melewati jalanan Pasar Minggu menuju Depok. Perjalanan Gatot Subroto-Depok itu pun berakhir dengan rekor cukup sempurna yakni tiga jam alias 180 menit.

Motor Pribadi Vs Mobil Pribadi

Sesungguhnya siapakah yang paling menyebabkan kemacetan di Jakarta? Motor pribadi atau mobil pribadi? Pertanyaan inilah yang sering memicu perdebatan. Sebab jumlah keduanya memang cukup seimbang. Tak perlu riset data tentang mana yang lebih banyak, motor atau mobil sebab lewat pengamatan saja, keduanya memang cukup kompak soal jumlah.

Akan tetapi, dengan jumlah mobil yang terus bertambah setiap tahun, dampaknya terhadap tingkat kemacetan tentu saja lebih tinggi ketimbang membludaknya angka pemilik motor. Secara sederhana, badan jalan yang digunakan satu mobil pribadi sama dengan 7-10 motor.

Lantas, kemana bis kota? Sepertinya sudah cukup sulit menemukan bis kota di tengah kemacetan Jakarta, menyusul beroperasinya bis TransJakarta sejak beberapa tahun lalu. Kalaupun ada, rute bis tersebut biasanya adalah trayek jauh yang hampir seluruhnya melintasi jalan tol. Sementara di jalan arteri, umumnya dikuasai mobil pribadi dan motor pribadi.

Warga Jakarta dan sekitarnya memang sejak lama sudah terjebak dalam kepraktisan berkendara. Ini tak terlepas dari gaya hidup perkotaan yang menuntut segalanya wajib serba cepat. Lambat laun, gaya hidup kepraktisan berkendara itu pun berubah menjadi sebuah gengsi khas metropolitan dengan semakin mudah dan terjangkaunya kendaraan roda empat. Tak peduli terjebak macet yang penting nyaman di dalam mobil sendiri.

Teknologi Mengubah Segalanya

Harus diakui, kehadiran teknologi yang amat pesat belakangan ini merupakan berkah yang layak disyukuri. Sebab, segala urusan kini jauh lebih mudah dan cepat. Kendali kehidupan seolah sudah berada di ujung jari. Berkah itu pun hinggap di sektor transportasi yang ditandai dengan semakin ramainya jasa transportasi online, roda dua dan roda empat.

Meski begitu, horor kemacetan Jakarta akan sulit terbendung apabila masyarakat pengguna transportasi online masih menerapkan satu orang satu kendaraan. Cara paling ampuh untuk menekan kemacetan itu tak lain adalah dengan menerapkan konsep berkendara bersama alias ride sharing. Hitungannya sederhana saja, satu kendaraan pribadi mampu menampung sebanyak 5 penumpang.

Atau taruhlah satu mobil dengan konsep ride sharing diisi 2-3 penumpang. Sudah berapa banyak kendaraan pribadi yang berkurang? Jumlahnya sudah pasti fantastis jika dihitung berdasarkan populasi warga yang mempunyai urusan pekerjaan di Jakarta.

Memang tak mudah untuk mengubah gaya hidup kaum urban yang sudah terlanjur nyaman dengan kendaraan pribadi miliknya. Namun, saya yakin ketidaknyamanan itu hanya akan berlangsung sebentar saja. Perlahan, ride sharing akan berubah menjadi gaya hidup yang digandrungi masyarakat perkotaan. Nyaman, murah, dan bebas macet.

Dan, ini bagian paling penting. Di sana tak ada lagi tatapan tajam yang mengerikan. Tetapi barangkali akan digantikan oleh lirikan tajam yang penuh makna. Eits, dilarang baper!


HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun