Mohon tunggu...
Pardomuan Gultom
Pardomuan Gultom Mohon Tunggu... Dosen - Dosen STIH Graha Kirana

Lecturer

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Kutukan Golkar Pasca Reformasi: Hanya Bisa Jadi Partai Follower

6 Agustus 2023   12:47 Diperbarui: 8 Agustus 2023   15:26 488
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Perolehan Suara Partai Golkar dalam Pemilu 1999-2019 (Sumber Gambar: katadata.co.id via BPS)

Ketidakmampuan Partai Golkar dalam membangun kekuatan poros atas koalisi untuk Pemilihan Umum Presiden (Pilpres) 2024 disebabkan oleh beberapa faktor internal seperti isu Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub) menggelinding untuk menggantikan Airlangga Hartarto dari ketua umum karena dianggap tidak mampu menggalang koalisi pilpres, atau dikarenakan faktor dugaan keterkaitan Airlangga dalam kasus korupsi izin ekspor CPO dan turunannya, termasuk minyak goreng periode 2021-2022. 

Faktor-faktor tersebut menyandera Partai Golkar dalam menentukan sikap politiknya dalam berkoalisi atau membangun koalisi dengan partai lain dalam menentukan capres dan cawapres pemilu 2024.

Dalam hal kasus dugaan korupsi izin ekspor CPO, Kejaksaan Agung telah dua kali memanggil Airlangga sebagai saksi, yakni pada tanggal 18 Juli 2023, namun mangkir. Dan panggilan kedua pada 24 Juli 2023 dengan pemeriksaan selama 12 jam (Kompas, 25/7).

Seperti diberitakan berbagai media, kasus korupsi izin ekspor CPO telah merugikan negara sebanyak Rp 6,47 triliun.

Selain tiga perusahaan yang dijadikan tersangka, Kejagung telah menjerat lima terpidana, yakni mantan Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan (Kemendag) Indrasari Wisnu Wardhana yang divonis 8 tahun penjara dan denda Rp300 juta subsider dua bulan kurungan, tim asistensi Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Weibinanto Halimdjati alias Lin Che Wei yang divonis 7 tahun penjara, Komisaris PT Wilmar Nabati Indonesia Master Parulian Tumanggor divonis 1,5 tahun penjara. 


Selain itu, General Manager bagian General Affairs PT Musim Mas, Pierre Togar Sitanggang divonis 6 tahun penjara, dan Senior Manager Corporate Affairs Permata Hijau Group, Stanley MA divonis 5 tahun penjara.

Selain persoalan hukum, Airlangga sebagai Ketua Umum Partai Golkar juga dianggap gagal dalam menggalang Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) yang sebelumnya digagas Golkar, PAN, dan PPP. 

(Baca Selengkapnya: Koalisi dan Membaca Peluang Pencapresan)

Namun belakangan PPP menyatakan dukungan kepada Ganjar Pranowo dan PAN cenderung mendukung Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto sebagai calon presiden dengan menyodorkan nama Menteri BUMN, Erick Thohir, sebagai cawapres. Sementara Golkar sendiri hingga kini belum menentukan arah.

Golkar juga sempat bermanuver mendekati Ganjar dengan kehadiran Airlangga pada acara puncak peringatan bulan Bung Karno di Gelora Bung Karno (GBK) pada 24 Juni 2023 lalu, tetapi juga tampak mendekat dengan Koalisi Perubahan yang mengusung Anies Baswedan. 

Hal ini terlihat dari kehadiran sejumlah elite Golkar, yakni Ketua DPP Partai Golkar, Christina Aryani, Ketua Bakumham Partai Golkar, Supriansa, dan Wakil Ketua Umum (Waketum) Partai Golkar, Rizal Mallarangeng, dalam acara Apel Siaga NasDem yang digelar di Stadion Gelora Bung Karno (GBK) pada 16 Juli 2023 lalu (Kompas, 16/7).

Kedua faktor tersebut, yakni kasus hukum yang sedang dihadapi Airlangga Hartarto dan perbedaan pandangan beberapa elite Partai Golkar, yang membuat partai berlambang pohon beringan ini sulit menentukan koalisi dan dukungan terhadap capres untuk Pemilu 2024.

Konflik internal Partai Golkar dalam menyikapi pemilu bukan hanya terjadi saat ini. Boleh jadi konflik laten tersebut diakibatkan oleh polarisasi faksi di tubuh Golkar pasca reformasi yang bergantung pada figur ketokohan.

Untuk mengetahui perkembangan konflik tersebut, tulisan ini juga sedikit mengulas sejarah berdirinya Golkar hingga polarisasi konflik pasca pemilu 2014 yang lalu.

Sejarah Golkar dan Konflik Pasca Reformasi

Awal berdirinya Golkar terbentuk dari Sekretariat Bersama Golongan Karya (Sekber Golkar) dan dibentuk secara resmi pada tanggal 20 Oktober 1964, yang dibentuk oleh Angkatan Darat sebagai reaksi atas PKI pada masa Soekarno, dengan menghimpun 53 serikat buruh dan organisasi pegawai negeri, 10 organisasi intelektual, 10 organisasi pelajar dan mahasiswa, 5 organisasi perempuan, 4 asosiasi media, serta 2 organisasi petani dan nelayan.

David Reeve dalam bukunya yang berjudul "Golkar Sejarah yang Hilang, Akar Pemikiran dan Dinamika" (2013) menyebut ada 201 organisasi yang terhimpun ke dalam Sekber Golkar ini, dikelompokkan berdasarkan kekaryaannya ke dalam 7 (tujuh) Kelompok Induk Organisasi (KINO) untuk menata heterogenitas di dalam tubuh Sekber Golkar tersebut. 

Adapun KINO tersebut, yaitu: Koperasi Serbaguna Gotong Royong (KOSGORO), Sentral Organisasi Karyawan Swadiri Indonesia (SOKSI), Musyawarah Kekeluargaan Gotong Royong (MKGR), Organisasi Profesi, Ormas Pertahanan Keamanan (HANKAM), dan Gerakan Karya Rakyat Indonesia (GAKARI).

Pada masa Orde Baru berkuasa, Sekber Golkar tidak luput dari pertarungan politik internal. Tak lama setelah G30S terjadi, perwira-perwira militer dan pimpinan sipil yang dekat dengan Soekarno disingkirkan digantikan oleh kalangan pro Soeharto.

Pada tanggal 4 Februari 1970, organisasi-organisasi yang tergabung dalam Sekber Golkar membuat keputusan untuk mengikuti Pemilu melalui satu nama dan tanda gambar, yaitu Golongan Karya (Golkar). 

Kemudian partai ini menjadi alat kekuasaan rezim Orde Baru dengan tiga kekuatan, yakni ABRI, Birokrat, dan Golkar atau dikenal dengan sebutan ABG, yang menopang Soeharto dapat mempertahankan kekuasaannya selama 32 tahun. Selain itu, kedekatan Golkar dengan rezim Soeharto yang membuatnya selalu memenangkan pemilu pada masa Orde Baru.

Pada masa Orde Baru, Soeharto yang merupakan pemegang tampuk kekuasaan yang merupakan tokoh penting yang berperan besar pada setiap kemenangan Golkar di setiap Pemilu Legislatif. 

Kondisi ini bisa diamati dari kebijakannya yang mendukung kemenangan Golkar, salah satunya adalah peraturan monoloyalitas PNS. Monoloyalitas adalah kebijakan Mendagri Amir Machmud, seorang jenderal loyalis Soeharto, dimana semua pegawai negeri sipil (PNS) menyalurkan aspirasi politiknya kepada Golkar.

Namun, setelah runtuhnya Orde Baru melalui reformasi, peraturan ini dicabut dan memberikan ruang untuk partai lain dalam menyaingi dominasi Partai Golkar.

Setelah Soeharto jatuh, partai ini sempat diambang kehancuran karena desakan publik untuk membubarkannya yang menilai partai ini adalah produk Orde Baru yang korup. Namun, Akbar Tanjung yang pernah menjabat sebagai Ketua Umum Partai Golkar periode 1999-2004, dalam bukunya yang berjudul "The Golkar Way: Survival Partai Golkar di Tengah Turbulensi Politik Era Transisi" (2007) menyebut Golkar yang sekarang dengan istilah "Golkar Baru".

Meskipun mendapat desakan pembubaran menjelang Pemilu 1999, namun Golkar akhirnya ikut dalam pemilu dan berada pada posisi kedua di bawah PDI Perjuangan dari total 48 partai. Pada Pemilu 2004, Golkar mampu menduduki urutan pertama. 

Namun, sayangnya pada Pemilu 2009, perolehan suara Golkar berada di posisi ketiga, di bawah Partai Demokrat dan PDI Perjuangan. Dan pada pemilu 2014, Golkar memperbaiki posisinya dengan menduduki posisi kedua di bawah PDI Perjuangan sehingga dapat dikatakan Golkar konsisten berada di tiga besar dalam setiap pemilu dalam 20 tahun terakhir.

Namun keberhasilan partai ini menjadi salah satu partai besar di Indonesia sayangnya harus dibarengi dengan berbagai konflik internal, terutama pasca reformasi 1998. 

Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub) Partai Golkar yang diselenggarakan pada 11 Juli 1998 di Jakarta menjadi ajang pertarungan politik paling keras sejak Golkar didirikan. Munaslub tersebut memperebutkan posisi ketua umum Golkar untuk menggantikan Harmoko. Posisi ketua umum dimenangkan politisi sipil, Akbar Tandjung, dengan mengalahkan calon dari militer, Jenderal Edi Sudradjat.

Pertentangan yang cukup tajam mengakibatkan keluarnya Edi Sudrajat dan beberapa tokoh Golkar dari kubu Edi Sudrajat yang tergabung dalam Kosgoro yang kemudian mendirikan Partai Keadilan dan Persatuan, yang dideklarasikan pada 15 Januari 1999.

Keluarnya kubu Edi Sudrajat diikuti terpecahnya MKGR sebagai salah satu organisasi onderbouw Golkar. Di bawah pimpinan Mien Sugandhi, MKGR menjadi partai politik baru. Beberapa pucuk pimpinan organisasi massa Pemuda Pancasila juga membentuk parpol baru Partai Patriot Pancasila, yang dipimpin Yapto S. Soerjosoemarno.

Konflik lainnya adalah pada saat Pemilu 2004, dimana saat itu Golkar mencalonkan pasangan Wiranto-Salahuddin Wahid, sementara Jusuf Kalla memilih berpasangan dengan capres Partai Demokrat, Susilo Bambang Yudhoyono.  

Akibatnya, Jusuf Kalla diberhentikan sebagai Penasihat DPP Partai Golkar dan pemecatan terhadap sembilan pengurus Partai Golkar dengan alasan Jusuf Kalla dan sembilan fungsionaris lain dianggap tidak mematuhi keputusan rapat pimpinan partai. Sebagai catatan, sejak berdiri tahun 1964 dalam bentuk Sekber Golkar, belum pernah ada pemecatan massal seperti itu.

Pilpres 2004 yang memenangkan pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla menjadi arus balik pendulum politik Golkar dimana pada saat Munas VII Partai Golkar di Bali, 16-19 Desember 2004, Jusuf Kalla terpilih sebagai ketua umum periode 2004-2009 yang mengalahkan Akbar Tandjung. Kemenangan Jusuf Kalla dalam posisi menjadi wakil presiden pada saat itu mengukuhkan idiom bahwa Partai Golkar sebagai partai yang pragmatis terhadap kekuasaan.

Dari beberapa konflik di tubuh Partai Golkar yang terjadi, konflik terlama di dalam partai ini adalah konflik pasca Pemilu 2014. Kubu Agung Laksono yang kecewa dengan keputusan dan pencapaian Aburizal Bakrie, kemudian membuat Munas tandingan bersama dengan para pendukungnya.

Sehingga, terdapat dua kepengurusan partai Golkar yang melaporkan hasil munasnya dan masing-masing menganggap sah kepengurusannya. Jika dilihat dari aktornya, konflik yang terjadi di tubuh Golkar ini adalah pertarungan elite partai yang mengakibatkan terbelahnya partai menjadi dua kubu.

Perbedaan kepentingan menjadi asal terjadinya dua versi Munas Partai Golkar. Yang digugat kubu Munas Ancol adalah ketidakmampuan Golkar mengusung calon presiden ataupun wakil presiden sendiri. Posisi Jusuf Kalla sebagai calon wakil presiden Joko Widodo saat itu justru diusung partai lain.

Beberapa tokoh kubu Munas Ancol, antara lain Agung Laksono, Agus Gumiwang Kartasasmita, dan Priyo Budi Santoso, menamakan diri "Tim Penyelamat Partai Golkar". Saling gugat antara kedua kubu berlangsung dalam periode sepanjang 2015. Dualisme Keputusan Mahkamah Partai Golkar pun terlihat, dimana dua hakim mahkamah partai memenangkan munas kubu Ancol, sementara dua hakim lainnya meminta kubu Ancol menerima kubu Munas Bali.

Sampai dengan awal 2016, konflik kedua kubu tersebut masih tajam. Kedua tokoh dari dua versi munas yang berbeda, yaitu Agung Laksono dan Aburizal Bakrie, sempat dipanggil Presiden Joko Widodo di Istana Negara, pada 11 Januari 2016. Namun, pasca pertemuan tersebut, cara pandang kedua pihak dalam penyelesaian konflik masih terlihat jelas. 

Agung Laksono menyatakan bahwa penyelesaian konflik akan dilakukan dengan sebuah "Musyawarah Nasional (Munas) Bersama", sementara Aburizal Bakrie menyatakan bahwa Munas Bersama bukan bentuk yang dikenal AD/ART partai.

Masalah di partai Golkar sendiri pada awalnya dimulai ketika Rapat Pimpinan Nasional III berlangsung di Bogor pada 29 Juni 2012. Hasil rapimnas tersebut salah satunya adalah menetapkan Aburizal Bakrie sebagai bakal calon presiden dari Partai Golkar. Namun, hingga hari pendaftaran calon presiden, Golkar belum mendapat dukungan dari partai lain untuk membentuk koalisi. 

Sedangkan Partai Gerindra melalui Koalisi Merah Putih (KMP) sudah menetapkan pasangan Prabowo Subianto dan Hatta Rajasa sebagai capres dan cawapres.

Di sisi lain, PDI Perjuangan dan Koalisi Indonesia Hebat (KIH) mengusung pasangan Joko Widodo dan Jusuf Kalla (Kompas, 20/5/2014).

Konflik Partai golkar bukanlah fenomena baru. Di masa lalu, konflik internal semacam ini berakhir dengan terbentuknya partai-partai "replika" dari Partai Golkar, seperti Partai Demokrat, PKP Indonesia, Partai Hanura, Partai Gerindra, dan Partai Nasdem.

Eskalasi konflik di tubuh Golkar juga tampaknya cukup meluas melibatkan komponen elite pendiri Partai Golkar hingga level simpatisan. Berbagai asumsi bisa diajukan sebagai penyebab berlarutnya konflik di tubuh partai beringin ini.

Sejumlah pendapat mengatakan bahwa sifat pragmatisme partai ini yang condong kepada kekuasaan dan lemahnya peran ideologi menjadi titik lemah partai berlambang beringin ini.

Konflik Elite

Merujuk pada teori elite yang dikemukakan Vilfredo Pareto, disebutkan bahwa elite merupakan kelompok kecil orang yang mempunyai kemampuan tertentu yang memiliki pengaruh besar terhadap masyarakat, sementara non elite tidak memiliki kemampuan untuk mempengaruhi masyarakat (Pareto, 2003). 

Pareto juga membagi elite dalam dua kelas, yaitu elite yang berkuasa, terdiri dari kelompok kecil orang yang langsung atau tidak langsung memainkan peran penting dalam mekanisme kekuasaan politik dan elite yang tidak berkuasa yang terdiri dari kelompok kecil orang yang terampil tetapi tidak terlibat dalam proses politik (Pareto, 1991). Maka elite partai adalah orang-orang yang mempunyai posisi penting dalam struktural partai dan secara langsung terlibat dalam mekanisme kebijakan partai.

Betapapun, satu hal memang sudah jelas terlihat dari konflik partai warisan Orde Baru ini ialah ketidakmampuan para elite Golkar dalam menggalang soliditas dan semakin menurunnya citra partai di mata publik, membuat Golkar tidak berdaya dalam menggalang koalisi pilpres 2024 sehingga membuatnya hanya menjadi partai follower (partai pengikut pada trend yang berkuasa) pasca reformasi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun