Mohon tunggu...
Pardomuan Gultom
Pardomuan Gultom Mohon Tunggu... Dosen - Dosen STIH Graha Kirana

Lecturer

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Antiklimaks Revisi Pasal "Karet" UU ITE

20 Mei 2021   14:52 Diperbarui: 20 Mei 2021   14:55 207
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Salah satu cara agar ketentuan dari undang-undang dapat dilaksanakan maka diaturlah materi yang memuat sanksi pidana dalam suatu undang-undang, sehingga dikatakan hukum pidana sebagai obat atau cara terakhir (ultimum remedium) agar suatu ketentuan dapat dipatuhi.

Hukum pidana seyogyanya ditempatkan sebagai instrumen terakhir (ultimum remedium) karena sejatinya hukum pidana merupakan hukum yang paling keras diantara instrumen-instrumen hukum lain yang mengontrol tingkah laku masyarakat. Selain itu, perlu dipahami bahwa penetapan sanksi pidana seyogyanya dilakukan secara terukur dan berhati-hati karena hal itu terkait dengan kebijakan peniadaan kemerdekaan dari hak asasi manusia yang dilegalisasi oleh undang-undang.

Menurut Sudikno Mertokusumo (2005), hukum yang berfungsi sebagai perlindungan kepentingan manusia dalam penegakannya harus memperhatikan 3 (tiga) unsur fundamental hukum, antara lain: kepastian hukum (Rechtssicherheit), kemanfaatan (Zweckmassigkeit) dan keadilan (Gerechtigkeit). Oleh karena itu, dalam menentukan pemberian sanksi pidana dalam suatu undang-undang perlu memperhatikan ketiga unsur fundamental hukum tersebut karena pada dasarnya itulah yang menjadi hakikat dari tujuan hukum.

Hal ini jelas tidak hanya melanggar prinsip teori hukum pidana sebagai ultimum remedium, juga telah melanggar hak konstitusional warga Negara karena penerapan ketentuan pidana penjara telah merampas hak-hak asasi yang melekat pada seseorang sebagaimana tercantum dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan, "Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum".

Artinya penetapan suatu perbuatan itu dikategorikan suatu tindak pidana, maka perlu dilihat terlebih dahulu apakah perbuatan itu merupakan mala in se atau mala prohibita. Jika perbuatan itu termasuk kategori mala prohibita, maka penetapan status sebagai perbuatan pidana merupakan politik hukum terbuka (open legal policy) dari pembentuk undang-undang. Dengan demikian dalam membuat suatu produk hukum, seperti SKB 3 kementerian dan lembaga terkait pedoman teknis kriteria implementasi UU ITE kiranya konsepsi hukum pidana sebagai ultimum remedium dan konsepsi mala in se dan mala prohibita, dan konsepsi hak asasi manusia harus menjadi pertimbangan dalam membuat produk hukum yang humanis.

*Penulis adalah Mahasiswa konversi Sekolah Tinggi Ilmu Hukum (STIH) Graha Kirana/Alumnus Departemen Ilmu Politik FISIP USU

(dimuat di Koran ANALISA edisi Kamis, 20 Mei 2021. Link e-paper https://analisadaily.com/e-paper/2021-05-20/files/assets/basic-html/index.html#12 )

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun