Mohon tunggu...
Paramesthi Iswari
Paramesthi Iswari Mohon Tunggu... Ibu Rumah Tangga

Ibu Rumah Tangga

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Lagu Sendu di Paruh Gincu yang Membiru dalam Sangkar Pasar Gelap

17 September 2025   11:20 Diperbarui: 17 September 2025   11:20 54
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Biomimicry burung Kingfisher pada kereta super cepat Shinkansen. Foto:  https://biomimicry.org.nz/the-shinkansen-and-the-kingfisher-a-tale-of-biomimic

Komersialisasi yang menjadi orientasi utama sering kali membuat penangkaran menjadi mengorbankan prinsip konservasi dan kesejahteraan burung.  Burung dipaksa berkembang biak dalam sangkar-sangkar sempit yang jauh dari pepohonan dan kedamaian hutan yang menjadi habitat asalnya.  Tak jarang, penangkaran hanya menjadi kedok dan tempat transit sementara dari burung yang ditangkap di alam liar sebelum kemudian dijual di pasar gelap.

Krisis Burung Kicau dan Masa Depan Manusia

Kisah tentang Ekek Geling hanyalah satu dari banyak kisah pilu burung-burung kicau yang berada di ambang kepunahan. Nasib malang tersebut juga dialami oleh burung murai batu, pleci, cucakrawa, jalak suren, dll.

Burung kicau sering diperdagangkan karena dianggap tidak termasuk sebagai satwa yang dilindungi seperti gajah, harimau atau orang utan.   Padahal penjualan burung kicau wajib dilengkapi dengan ijin dari BKSDA, sebagaimana diatur dalam Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 447 tahun 2023 tentang tata usaha pengambilan atau penangkapan dan peredaran tumbuhan dan satwa liar.

Marison Guciano, Direktur Eksekutif FLIGHT mencatat setidaknya 300 ribu ekor burung kicau berhasil disita aparat dari perdagangan illegal dalam 5 tahun terakhir.  Angka tersebut menunjukkan bahwa lemahnya pemahaman masyarakat, ketiadaan pengawasan dan penegakan hukum merupakan beberapa faktor utama yang menyuburkan praktek perdagangan burung. 

Punahnya burung-burung kicau merupakan sebuah kehilangan besar bagi Indonesia maupun dunia.  Apalagi Indonesia merupakan salah satu negara dengan keanekaragaman hayati  tertinggi di dunia (mega-biodiversity).  Burung Indonesia mencatat, Indonesia memiliki 1826 spesies burung dan menduduki peringkat ke-4 setelah Brazil, Peru dan Kolumbia dalam hal keragaman spesies burung.  Sebanyak 542 diantaranya adalah burung endemik yang tidak ditemukan di negara lain.  Hal ini menjadikan Indonesia sebagai negara dengan spesies burung endemik tertinggi.

Menyusutnya keanekaragaman hayati, termasuk kepunahan burung kicau, merupakan alarm darurat bagi seluruh umat manusia.  Di dalam ekosistem besar yang dibentuk dari jejaring mahkluk hidup, kepunahan spesies tertentu dapat menjadi ancaman bagi keseimbangan yang dapat berujung pada kepunahan segenap ekosistem.  Keberadaan burung memiliki berbagai peran penting mulai dari membantu penyerbukan dan penyebaran biji tanaman, pengendali hama, menjaga kesuburan maupun penyeimbang ekosistem. 

Keanekaragaman hayati juga memiliki kontribusi besar dalam aspek sosial, budaya maupun ekonomi masyarakat.  Masyarakat Indonesia sudah merasakan sendiri bagaimana keindahan alam dapat menjadi daya tarik pariwisata yang menggerakkan roda perekonomian. 

Lebih dari itu, keanekaragaman hayati adalah harta warisan ilmu pengetahuan yang sangat berguna bagi kemajuan peradaban manusia.  Salah satu contohnya dapat dilihat pada bagaimana kereta super cepat Shinkansen di Jepang yang didesain dengan meniru struktur kepala dan paruh burung kingfisher (pekakak/raja udang).  

Biomimicry burung Kingfisher pada kereta super cepat Shinkansen. Foto:  https://biomimicry.org.nz/the-shinkansen-and-the-kingfisher-a-tale-of-biomimic
Biomimicry burung Kingfisher pada kereta super cepat Shinkansen. Foto:  https://biomimicry.org.nz/the-shinkansen-and-the-kingfisher-a-tale-of-biomimic

Kini nyanyian Ekek Geling kian jarang terdengar.  Ia punah sebelum kita sempat mengungkap rahasia kecerdasan di balik berbagai variasi kicauannya. Hal ini tak hanya menjadi gambaran muram akan rimba yang kian senyap dan keindahan yang terampas dari generasi yang akan datang namun juga hilangnya ilmu pengetahuan yang tak ternilai harganya bagi kemajuan peradaban umat manusia.   Mungkinkah, manusia terlalu bodoh dan serakah untuk menyadari kehilangan besar itu?   

Referensi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun