Tak selamanya kecantikan adalah keberuntungan. Bagi Ekek Geling (Cissa Thalassina) kecantikan dan kicau merdunya adalah nasib malang yang membawanya ke tubir kepunahan.
Diburu di alam liar, Ekek Geling tak berdaya terperangkap dalam pusaran perdagangan gelap. Meringkuk di dalam sangkar tangkapan, bulunya yang berwarna hijau terang berangsur memudar kebiruan lantaran stress, malnutrisi dan tercerabut dari habitatnya.
Pesona Ekek Geling
Ekek Geling atau dikenal juga dengan nama Javan Green Magpie adalah burung endemik yang ditemukan di Jawa Barat. Bulu tubuhnya berwarna hijau menyala dengan topeng “bandit” hitam serta paruh bergincu merah. Sayapnya berwarna merah kecoklatan, demikian pula iris matanya.
Warna iris mata tersebut membedakannya dari kerabat dekatnya, Ekek Kalimantan dan Ekek Layongan dari Sumatera. Memiliki iris mata berwarna putih, paruh lebih kecil dan ekor yang lebih panjang, Ekek Kalimantan bernasib sedikit lebih baik. Meski memilki potensi untuk bernasib sama dengan Ekek Geling, saat ini populasinya belum memasuki kategori kritis.
Hutan lebat di kaki gunung yang cenderung tak tersentuh oleh manusia menjadi habitat ideal bagi Si Paruh Gincu ini. Ia menyukai tinggal di antara naungan dedaunan yang lebat dan dekat dengan sumber air. Meski bersuara keras, tubuhnya yang dominan berwarna hijau membuat kehadirannya sulit dikenali di antara pepohonan. Tak heran bila ia dikenal sebagai burung misterius yang tak mudah dijumpai manusia.
Dibalik penampilannya yang cantik, Ekek Geling adalah burung karnivora. Normalnya ia memangsa serangga seperti ulat, belalang, kecoa, kumbang, dll. Namun, di masa kawin dan mengerami yang membutuhkan asupan protein lebih, burung kerabat gagak (corvidae) ini gahar memangsa vertebrata kecil seperti katak (bancet), kadal, tikus, bahkan ular kecil. Karakter ini membuat keberadaannya cukup penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem.
Spektrum mangsa yang beragam berkontribusi terhadap keindahan warna bulu Ekek Geling. Bulu anakan Ekek Geling yang berwana biru cyan berangsur-angsur akan berubah menjadi hijau terang pada saat memasuki usia dewasa. Hal ini disebabkan oleh diet yang kaya akan pigmen karotenoid kuning (lutein) yang terdapat pada dedaunan hijau. Meski tak memakan daun, Ekek Geling memperoleh lutein dari serangga yang memakan tanaman hijau.
Tak hanya cantik, Ekek Geling memiliki kicauan yang nyaring dan beragam. Ia juga pintar menirukan berbagai suara. Kepintaran inilah yang membuatnya diminati oleh pehobi burung kicau. Meski bukan burung primadona di kalangan kicau mania, Ekek Geling kerap dijadikan sebagai “burung master” atau “masteran”. Masteran digunakan untuk melatih burung lain seperti murai atau lovebird agar kicauannya lebih gacor.
Komersialisasi Burung Kicau
Menyempitnya habitat akibat deforestasi adalah ancaman bagi keberlangsungan Ekek Geling. Namun, ancaman yang lebih besar datang dari perburuan dan perdagangan liar.
Praktek memelihara burung sudah dilakukan oleh masyarakat Indonesia sejak berabad-abad yang lalu. Dalam budaya Jawa, “kukila” yang berarti burung adalah salah satu dari 5 kriteria pencapaian hidup selain wisma (rumah), wanita (istri), turangga (kuda/kendaraan), dan curiga (keris/senjata).
Riset Birdlife International pada tahun 2019 memperkirakan ada sekitar 66 – 84 juta burung yang dipelihara dalam sangkar tangkapan oleh sekitar 36 juta rumah tangga di Pulau Jawa.
Dewasa ini, praktek memelihara burung telah bergeser dari sekedar hobi menjadi bernilai komersial dengan maraknya kejuaraan burung kicauan. Apalagi kejuaraan tersebut sering disertai dengan hadiah yang fantastis nilainya, baik berupa uang maupun barang seperti motor, mobil dan bahkan rumah.
Keberadaan pehobi kicau burung yang mengorganisir diri dan kejuaraan yang digelar secara berkala menciptakan ekosistem ekonomi tersendiri. Presiden Jokowi menyebutkan bahwa nilai perputaran ekonomi dari bisnis burung mencapai 1,7 triliun rupiah per tahun. Tak jarang pejabat dan politisi menjadi sponsor kejuaraan burung kicau. Salah satu contohnya adalah Khofifah Cup tahun 2019 yang memperebutkan hadiah senilai 600 juta rupiah dan diikuti oleh 2500 peserta.
Status Dilindungi saja Tidak Cukup
Pada tahun 2015, International Union for Conservation Nature (IUCN) memasukkan Ekek Geling ke dalam Daftar Merah dengan status kritis atau Critical Endangered (CR). Hal ini didasarkan pada asesmen lapangan yang menunjukkan bahwa populasinya tersisa tak lebih dari 250 ekor.
Menyusul, pemerintah Indonesia memberikan status dilindungi kepada burung ini melalui Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.106/MENLHK/SETJEN/KUM.1/12/2018 tentang jenis tumbuhan dan satwa liar yang dilindungi.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya telah mengatur sanksi pidana terhadap tindakan yang membahayakan keberlangsungan flora dan fauna yang dilindungi. Pasal 21 ayat (2) undang-undang tersebut melarang tindakan menangkap, melukai, membunuh, menyimpan, memelihara, mengangkut dan memperjualbelikan satwa yang dilindungi dalam keadaan hidup. Sedangkan pasal 40 ayat (2) menyebutkan ancaman pidana penjara paling lama 5 tahun dan denda paling banyak Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah) terhadap pelanggaran ketentuan tersebut.
Meski telah diatur oleh pemerintah, perdagangan liar terhadap satwa yang dilindungi masih terus terjadi. Selain berlangsung di pasar gelap, perdagangan satwa juga dilakukan melalui loka pasar (market place) dan media sosial yang populer di Indonesia
Bagi pelaku, teknologi internet menjadi jalur alternatif yang lebih menguntungkan ketimbang jual beli secara konvensional. Cara ini dinilai mengurangi resiko tertangkap tangan dan sita bukti yang bisa terjadi dalam jual beli konvensional. Loka pasar juga membuka ruang anonimitas di mana pelaku dapat menyamarkan identitas sebenarnya. Selain itu, market place juga memungkinkan jangkauan pasar yang lebih luas dan harga yang lebih tinggi.
Beberapa organisasi internasional telah menggalang kesepakatan dengan berbagai perusahaan digital untuk mengeliminir perdagangan satwa langka secara online. Kesepakatan itu dituangkan dalam Konvensi Internasional untuk Mengakhiri Perdagangan Margasatwa . Komitmen mereka diwujudkan dengan membuat mekanisme untuk mem-filter aktivitas perdagangan margasatwa pada platform digital seperti Meta, Youtube, Tiktok, dll. Namun demikian, pelaku masih bisa mensiasati pembatasan tersebut dengan berbagai modus yang masih terus terjadi hingga saat ini.
Penangkaran burung menjadi salah satu jembatan antara kebutuhan pelestarian dan permintaan pasar yang tinggi. Namun, masyarakat masih lebih menyukai burung yang ditangkap langsung dari alam liar. Ada anggapan bahwa burung yang ditangkap di alam liar memiliki bulu yang lebih indah, fisiknya lebih kuat dan kicauannya lebih gacor.
Komersialisasi yang menjadi orientasi utama sering kali membuat penangkaran menjadi mengorbankan prinsip konservasi dan kesejahteraan burung. Burung dipaksa berkembang biak dalam sangkar-sangkar sempit yang jauh dari pepohonan dan kedamaian hutan yang menjadi habitat asalnya. Tak jarang, penangkaran hanya menjadi kedok dan tempat transit sementara dari burung yang ditangkap di alam liar sebelum kemudian dijual di pasar gelap.
Krisis Burung Kicau dan Masa Depan Manusia
Kisah tentang Ekek Geling hanyalah satu dari banyak kisah pilu burung-burung kicau yang berada di ambang kepunahan. Nasib malang tersebut juga dialami oleh burung murai batu, pleci, cucakrawa, jalak suren, dll.
Burung kicau sering diperdagangkan karena dianggap tidak termasuk sebagai satwa yang dilindungi seperti gajah, harimau atau orang utan. Padahal penjualan burung kicau wajib dilengkapi dengan ijin dari BKSDA, sebagaimana diatur dalam Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 447 tahun 2023 tentang tata usaha pengambilan atau penangkapan dan peredaran tumbuhan dan satwa liar.
Marison Guciano, Direktur Eksekutif FLIGHT mencatat setidaknya 300 ribu ekor burung kicau berhasil disita aparat dari perdagangan illegal dalam 5 tahun terakhir. Angka tersebut menunjukkan bahwa lemahnya pemahaman masyarakat, ketiadaan pengawasan dan penegakan hukum merupakan beberapa faktor utama yang menyuburkan praktek perdagangan burung.
Punahnya burung-burung kicau merupakan sebuah kehilangan besar bagi Indonesia maupun dunia. Apalagi Indonesia merupakan salah satu negara dengan keanekaragaman hayati tertinggi di dunia (mega-biodiversity). Burung Indonesia mencatat, Indonesia memiliki 1826 spesies burung dan menduduki peringkat ke-4 setelah Brazil, Peru dan Kolumbia dalam hal keragaman spesies burung. Sebanyak 542 diantaranya adalah burung endemik yang tidak ditemukan di negara lain. Hal ini menjadikan Indonesia sebagai negara dengan spesies burung endemik tertinggi.
Menyusutnya keanekaragaman hayati, termasuk kepunahan burung kicau, merupakan alarm darurat bagi seluruh umat manusia. Di dalam ekosistem besar yang dibentuk dari jejaring mahkluk hidup, kepunahan spesies tertentu dapat menjadi ancaman bagi keseimbangan yang dapat berujung pada kepunahan segenap ekosistem. Keberadaan burung memiliki berbagai peran penting mulai dari membantu penyerbukan dan penyebaran biji tanaman, pengendali hama, menjaga kesuburan maupun penyeimbang ekosistem.
Keanekaragaman hayati juga memiliki kontribusi besar dalam aspek sosial, budaya maupun ekonomi masyarakat. Masyarakat Indonesia sudah merasakan sendiri bagaimana keindahan alam dapat menjadi daya tarik pariwisata yang menggerakkan roda perekonomian.
Lebih dari itu, keanekaragaman hayati adalah harta warisan ilmu pengetahuan yang sangat berguna bagi kemajuan peradaban manusia. Salah satu contohnya dapat dilihat pada bagaimana kereta super cepat Shinkansen di Jepang yang didesain dengan meniru struktur kepala dan paruh burung kingfisher (pekakak/raja udang).
Kini nyanyian Ekek Geling kian jarang terdengar. Ia punah sebelum kita sempat mengungkap rahasia kecerdasan di balik berbagai variasi kicauannya. Hal ini tak hanya menjadi gambaran muram akan rimba yang kian senyap dan keindahan yang terampas dari generasi yang akan datang namun juga hilangnya ilmu pengetahuan yang tak ternilai harganya bagi kemajuan peradaban umat manusia. Mungkinkah, manusia terlalu bodoh dan serakah untuk menyadari kehilangan besar itu?
Referensi
- When Javan Green Magpues Feels Blue.
- Spatio-temporal dynamics of consumer demand driving the Asian Songbird Crisis.
- Festival Burung Berkicau Berhadiah Mobil Ertiga
- Lomba kicau berhadiah utama rumah
- Perputaran uang lomba burung kicau 1,7 T.
- Khofifah Cup 2019 berhadiah 600 juta.
- Ekek Geling dalam Redlist IUCN.
- Permen LHK P.106/MENLHK/SETJEN/KUM.1/12/2018
- Tiktok dan perdagangan satwa liar.
- International Convention Against Wildlife Traficking.
- 300 ribu burung kicau disita dalam lima tahun terakhir.
- Data burung tahun 2025.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI