Mohon tunggu...
Zidan Mustaqim
Zidan Mustaqim Mohon Tunggu... Wiraswasta -

Pengelana waktu; suka jalan-jalan. titik!

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Keajaiban Secangkir Kopi

24 November 2012   19:45 Diperbarui: 24 Juni 2015   20:43 243
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

KEAJAIBAN SECANGKIR KOPI

Secangkir kopi panas di pandang dari sudut budaya dan sejarahnya, ternyata tidak sekadar minuman penyegar yang mampu memberikan semangat di saat lelah atau penat. Atau salah satu menu penjamuan pembuka ketika kita kedatangan tamu di rumah, melainkan juga sebuah resep jitu yang menginjeksi semangat persatuan. Ia juga efektif mengubah kebuntuan berpikir menjadi inpirasi. Handal dalam memberikan ide dan gagasan segar. Maka tidak heran, ketika para penikmatnya hendak melakukan suatu pekerjaan, secangkir kopi adalah proses ritual sakral yang wajib dilakukan.

Kopi jenis arabika adalah jenis yang pertamakali di tanam dan dikembangkan di Batavia (sekarang Jakarta). Tepatnya di sebelah timur Jatinegara (sekarang Pondok Kopi) sekitar abad ke 16—pada masa kekuasaan Kolonial Belanda. Pada waktu itu Walikota Amsterdam, Nicholas Wisen memerintahkan komandan pasukan Belanda, Van Ommen untuk membawa biji kopi itu ke Batavia. Kopi yang kemudian mulai terkenal pada tahun 1619.

Seiring waktu, kopi arabika kemudian menyebar ke beberapa daerah lainnya di Indonesia, seperti: Jawa Barat, Sumatera, Sulawesi dan Bali. Hingga kemudian kopi menjelma menjadi komoditi ekspor andalan Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) ke Eropa. Dari sinilah selanjutnya (salah satu) petaka datang bagi bangsa kita. Dengan mengadakan perjanjian (dengan penguasa setempat) yang disebut Koffiestelsel (sistem kopi), Guna mendukung kualitas dan kuantitas produksi yang maksimal, VOC mulai mengekploitasi tenaga dan tanah rakyat Indonesia. Rakyat kita diwajibkan menanam kopi. Hasilnya kemudian harus diserahkan kepada VOC. Siasat ini berhasil. Kopi arabika hasil produksi rakyat kita mampu merajai Eropa. Tak ada yang mampu menandingi kenikmatannya. Bahkan saking nikmatnya, secangkir kopi Jawa mereka sebut “secangkir Jawa”.

Belum puas dengan perjanjian Koffiestelsel, melalui Gubernur Jenderal Johannes Van Den Bosch (1780-1844), Pemerintah Hindia Belanda melanjutkan kekejamannya dengan menciptakan sistem tanam paksa (cultuurstelsel). Sebab korupsi menggurita, pada masa ini, VOC telah dibubarkan oleh pemerintah Hindia Belanda. Oleh Gubernur Jenderal Van Den Bosch, rakyat Indonesia dipaksa menanam komoditi ekpor milik Belanda, dengan seperlima dari luas keseluruhan tanah yang digarap adalah tanaman kopi. Pada masa inilah penderitaan bangsa Indonesia begitu memprihatinkan, dimana bencana kelaparan merebak besar-besaran di jawa dan Sumatera.

Tetapi fenomena terbalik tampak di pihak Belanda. Di atas penderitaan pribumi kita yang kelaparan, pemerintah Hindia Belanda justru menikmati keuntungan Gulden (mata uang Belanda) secara besar-besaran dari hasil penjualan komoditi ekpor, utamanya kopi. Hingga pertengahan abad ke-19, kopi arabika produksi rakyat kita adalah kualitas terbaik di dunia. Namun setelah itu produksi kopi di Indonesia mengalami kehancuran yang disebabkan oleh hama. Sedangkan kejayaan kopi arabika di dunia, selanjutnya diambil alih oleh Brasil dan Kolombia hingga sekarang.

Seiring perkembangannya, dalam kehidupan masyarakat Indonesia, utamanya masyarakat kecil, kopi selanjutnya menjelma menjadi sumber penghasilan ekonomi rakyat. Di kedai kopi itulah tercipta market yang menawarkan segala macam produk kebudayaan (karya, cipta dan rasa) masyarakat kita. Hampir di seluruh pelosok daerah di Nusantara, kini memiliki “kedai kopi” dengan istilah dan ciri khas penyajiannya masing-masing.

Secara filosofis, ialah (kedai kopi) medan magnet intraksi kehidupan sosial bagi petani, buruh, pedagang asongan, dan lain sebagainya—berkumpul untuk mendiskusikan berbagai persoalan. Ruh dari kehidupan di desa, di terminal, di stasiun, di emperan jalan, di pasar tradisional, dan lain sebagainya. Masyarakat kecil yang terpinggirkan.

Di kedai kopi itulah selanjutnya tumbuh dan berkembang semangat persatuan dan solidaritas. Dari solidaritas individu-individu menjadi kelompok, dari kelompok menjadi kedaerahan, dan dari kedaerahan menjadi kebangsaan. Di tempat itulah semangat gotong-royong, tolong-menolong hingga nasionalisme bersemi.

Keberadaan kedai kopi hari ini terus digerus oleh jaman. Globalisasi telah memporakporandakan eksistensinya. Ia seperti barang usang tanpa makna. Bahkan mungkin diterjemahkan sebagai simbol kemelaratan rakyat. Dengan alasan meningkatkan pertumbuhan ekonomi atau Peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD), banyak pemerintah daerah kita rela menukar kedai kopi menjadi gerai Seven.... Seven... Alah, lupa saya menyebutnya. Atau gerai Low... Low... Alah, lupa juga saya menyebut namanya. Mereka tak sadar bahwa kebijakannya mendatangkan investor-investor asing, malah justru menghancurkan lahan subur sekaligus benteng pertahanan kokoh nasionalisme rakyat Indonesia.

Kaum muda dan terpelajar kita yang seharusnya menjadi benteng pertahanan kebudayaan sendiri, malah terlena oleh agresi kebudayaan asing. Mereka tak sempat memikirkan bagaimana cara mengubah tampilan dan penyajiannya (kedai kopi) menjadi lebih menarik agar digandrung seluruh lapisan masyarakat kita. Mereka sibuk menggandrung kedai-kedai kopi asing yang katanya, "gaul", sambil berkongko ria mendiskusikan kemajuan tren mode asing ketimbang memikirkan bagaimana melestarikan dan mengembangkan kedai kopi sebagai basis kekuatan ekonomi rakyat dan dirinya.

Jika sudah begini, harus bagaimana kita?

Meminjam istilah Bung Hatta: kita perlu "keinsafan" bersama.

Bagi pemerintah, suntikan dana dan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) bagi kaum muda dan penyelenggara kedai kopi adalah penting. Jangan melulu soal PAD menjadi alas an pintu masuk segala macam investor asing masuk tanpa mempertimbangkan hal lainnya, lantas tanpa sadar perlahan-lahan malah meracuni pikiran kaum muda dengan hal-hal yang justru menyebabkan tergerusnya kebudayaan sendiri. Dan mengantinya dengan budaya hedonis dan kebarat-baratan (yang banyak nilai ruginya). Bagi masyarakat, khususnya kaum muda, kembali meramaikan kedai kopi atau angringan di daerahnya masing-masing adalah mutlak.

Sebab berdiskusi di kedai kopi kita, niscaya akan tumbuh rasa solidaritas individu-individu menjadi kelompok, kelompok menjadi kedaerahan, dan kedaerahan menjadi kebangsaan. Dengan begini, maka akan lahir patriot-patriot baru yang melahirkan ide dan gagasan dalam mengisi pembangunan Indonesia di alam kemerdekaan-nya. Dan dimulai dari menyeruput secangkir kopi ala kedai kopi di daerah kita masing-masing, tentunya. Maka saya yakin, keajaiban rasa kopi kita akan kembali merajai selera masyarakat dunia.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun