Mohon tunggu...
Pandu Kusumaningtyas
Pandu Kusumaningtyas Mohon Tunggu... mahasiswa

24107030153

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Kompasiana, Tugas, Dan Kegelisahan Satu Semester

12 Juni 2025   23:25 Diperbarui: 12 Juni 2025   22:05 41
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Kompasiana.com

Menulis bukan cuma soal menyusun kalimat. Ia adalah cara paling jujur untuk menunjukkan bahwa "Saya pernah merasakan ini."

Semester ini, salah satu mata kuliah yang paling mencuri perhatian mahasiswa Ilmu Komunikasi adalah Jurnalistik. Bukan karena sulitnya materi, bukan pula karena dosennya galak. Tapi karena syarat kelulusan yang sangat unik yaitu dengan menulis artikel di Kompasiana, sebuah platform berbasis user-generated content yang selama ini dianggap "serius", "berat", atau "hanya untuk orang-orang tua yang suka beropini".

Kami diberi satu angka target yang harus dicapai yaitu 1000 poin. Di balik angka itu tersembunyi satu semester penuh kebingungan, semangat, frustrasi, hingga pencarian jati diri dalam menulis. Dan jujur, tidak semua dari kami memulainya dengan semangat.

Beberapa hanya ingin "beres tugas", beberapa mengandalkan kecanggihan AI, dan beberapa termasuk saya baru sadar bahwa menulis bisa menyembuhkan keresahan yang selama ini terpendam. Kompasiana, tanpa kami sadari, mengajari sesuatu yang tidak pernah dijelaskan dalam kelas, tentang bagaimana menghadirkan diri dalam tulisan.

Tulisan yang Bernyawa Tidak Lahir dari AI

Sejak awal, Kompasiana memperjelas bahwa label "Pilihan" atau "Utama" tidak diberikan semata karena tulisan rapi, judul menarik, atau isinya penuh data. Justru, artikel yang berhasil meraih label tersebut seringkali tidak sempurna secara teknis, bahkan ada typo, ada struktur paragraf yang tidak ideal. Tapi mereka punya satu hal yang tidak bisa diberikan oleh AI, yaitu "rasa".

Tulisan-tulisan yang dianggap "bernyawa" biasanya membawa cerita personal, kejujuran, bahkan keberanian untuk tampil apa adanya. Itulah sebabnya mengapa banyak dari kami akhirnya menyadari kalau hanya mengandalkan bantuan AI, tulisan kami akan rapi, tapi kosong.

Saya pun mencoba jujur dalam setiap tulisan yang saya unggah. Tentang pengalaman menjadi dokumentasi di acara kampus, tentang teman yang membuka warung di rumahnya, bahkan tentang tulisan artikel kali ini yang membuat saya merasakan waktu begitu cepat berlalu. Semua itu mungkin sederhana, tapi semua itu adalah hal yang saya rasakan sendiri.

Dosen saya tidak hanya menugaskan tapi juga menyadarkan

Saya dan banyak teman sekelas awalnya menganggap Kompasiana hanya sebagai "platform pengumpul tugas". Tapi setelah membaca artikel dari kakak tingkat saya yang hampir semua artikelnya diberi label Pilihan dan Utama kami sadar ada sesuatu yang lebih besar dari ini.

Saya mencari referensi artikel-artikel milik kakak tingkat saya yang bisa di bilang pada tahun tahun sebelumnya kakak tingkat saya berhasil menuliskan artikel "pilihan" dan "utama" yang bisa di lihat dari jumlah penggunaan hastag "jurkomuinjogja24" ataupun tahun tahun sebelumnya. Artikel seperti "Kompasiana Dijarah AI" dan "Label Artikel Bukan Sekadar Soal Rapi, Tapi Soal Rasa" membuat saya merenung.

Apakah selama ini kami menulis hanya untuk angka? Apakah tulisan kami benar-benar berbicara kepada pembaca?

"Kompasiana itu rumah untuk cerita yang hidup, bukan arsip artikel textbook."

Dan dari situlah saya, dan banyak teman lain, mulai mengubah pendekatan kami terhadap tugas ini.

Kompasiana adalah Tempat Belajar yang Sebenarnya, karena kita bisa belajar langsung melalui platform publik. Yang bisa di lihat dan di nilai oleh banyak orang.

Selama satu semester, saya belajar lebih banyak dari proses menulis di Kompasiana dibanding dari buku teks jurnalistik. Saya belajar menyusun berita, menggunakan feature dan straight news, hingga storytelling dari kehidupan sehari-hari.

Saya juga belajar bahwa tidak semua tulisan harus sempurna. Tapi semua tulisan harus jujur. Harus bisa menyentuh pembaca. Harus bisa membekas, meski hanya satu paragraf.

Saya juga belajar menerima kritik. Ada tulisan yang dibaca banyak orang, ada juga yang sepi. Ada tulisan yang diberi label "Pilihan", ada juga yang hanya lewat begitu saja. Tapi dari semua itu, saya menemukan sesuatu yang tak bisa dibeli yaitu kepuasan menjadi seorang penulis.

Kalau kamu membaca artikel ini karena sedang kejar 1000 poin seperti saya sekarang, percayalah itu bukan tujuan akhir. Ketika kamu menulis satu artikel yang benar-benar dari hati, dan satu orang pembaca mengirim komentar seperti "Tulisan kamu bikin aku mikir," maka kamu sudah menjadi penulis yang baik. Karena menulis bukan sekadar syarat nilai A

Kita bukan hanya mahasiswa yang menulis karena tugas. Kita adalah anak muda yang sedang belajar menyuarakan isi kepala, dan yang lebih penting adalah menyuarakan isi hati.

Mungkin suatu hari nanti AI bisa meniru semua gaya bahasa manusia. Tapi satu hal yang tidak bisa ditiru yaitu pengalaman pribadi. Pengalaman yang membekas, membuat kita berpikir, tertawa, atau bahkan menangis. Saya percaya Kompasiana akan tetapi hidup selama kita menulis dengan hati.

Tulisan seperti itu yang ingin saya tulis, dan saya harap kamu juga.

Terima kasih, Kompasiana, karena sudah menjadi tempat belajar yang paling jujur dan realistis di semester genap ini.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun