Saya mencari referensi artikel-artikel milik kakak tingkat saya yang bisa di bilang pada tahun tahun sebelumnya kakak tingkat saya berhasil menuliskan artikel "pilihan" dan "utama" yang bisa di lihat dari jumlah penggunaan hastag "jurkomuinjogja24" ataupun tahun tahun sebelumnya. Artikel seperti "Kompasiana Dijarah AI" dan "Label Artikel Bukan Sekadar Soal Rapi, Tapi Soal Rasa" membuat saya merenung.
Apakah selama ini kami menulis hanya untuk angka? Apakah tulisan kami benar-benar berbicara kepada pembaca?
"Kompasiana itu rumah untuk cerita yang hidup, bukan arsip artikel textbook."
Dan dari situlah saya, dan banyak teman lain, mulai mengubah pendekatan kami terhadap tugas ini.
Kompasiana adalah Tempat Belajar yang Sebenarnya, karena kita bisa belajar langsung melalui platform publik. Yang bisa di lihat dan di nilai oleh banyak orang.
Selama satu semester, saya belajar lebih banyak dari proses menulis di Kompasiana dibanding dari buku teks jurnalistik. Saya belajar menyusun berita, menggunakan feature dan straight news, hingga storytelling dari kehidupan sehari-hari.
Saya juga belajar bahwa tidak semua tulisan harus sempurna. Tapi semua tulisan harus jujur. Harus bisa menyentuh pembaca. Harus bisa membekas, meski hanya satu paragraf.
Saya juga belajar menerima kritik. Ada tulisan yang dibaca banyak orang, ada juga yang sepi. Ada tulisan yang diberi label "Pilihan", ada juga yang hanya lewat begitu saja. Tapi dari semua itu, saya menemukan sesuatu yang tak bisa dibeli yaitu kepuasan menjadi seorang penulis.
Kalau kamu membaca artikel ini karena sedang kejar 1000 poin seperti saya sekarang, percayalah itu bukan tujuan akhir. Ketika kamu menulis satu artikel yang benar-benar dari hati, dan satu orang pembaca mengirim komentar seperti "Tulisan kamu bikin aku mikir," maka kamu sudah menjadi penulis yang baik. Karena menulis bukan sekadar syarat nilai A
Kita bukan hanya mahasiswa yang menulis karena tugas. Kita adalah anak muda yang sedang belajar menyuarakan isi kepala, dan yang lebih penting adalah menyuarakan isi hati.
Mungkin suatu hari nanti AI bisa meniru semua gaya bahasa manusia. Tapi satu hal yang tidak bisa ditiru yaitu pengalaman pribadi. Pengalaman yang membekas, membuat kita berpikir, tertawa, atau bahkan menangis. Saya percaya Kompasiana akan tetapi hidup selama kita menulis dengan hati.