Mohon tunggu...
Panca Nugraha
Panca Nugraha Mohon Tunggu...

Saya seorang wartawan, penulis. Bekerja sebagai koresponden harian The Jakarta Post untuk wilayah Nusa Tenggara Barat (NTB).

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Megawati: Jangan Ada Lagi yang Kawin Muda Kayak Saya!

14 Desember 2017   11:37 Diperbarui: 14 Desember 2017   12:03 395
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Deklarasi Gerakan Bersama Stoip Perkawinan Anak di Mataram, NTB.

Menikah di usia 16 tahun, Megawati putus sekolah. Tapi apa daya, kalau tak segera menikah bisa jadi bahan gunjingan orang. Anak gadis di desa umumnya menikah di usia 14-15 tahun. Bila tidak akan jadi pergunjingan, dan Megawati salah satu korban yang dianggap telat menikah di desanya. 

Megawati kini berusia 23 tahun. Wanita asal Desa Pijot, Kecamatan Keruak, Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat (NTB) itu mengaku sangat menyesal menikah di usia masih sangat belia, 16 tahun.

Tidak hanya harus menjalani hidup dengan kondisi ekonomi keluarga yang sulit, ia juga kerap menjadi sasaran kemarahan dan kekerasan fisik dari sang suami.

"Nama saya Megawati, dari Desa Pijot. Umur saya sekarang 23 tahun. Dulu saya menikah saat usia 16 tahun, dan sekarang saya sangat menyesal. Saya harap jangan ada lagi anak perempuan yang menikah di usia belia agar jangan mengalami seperti yang saya alami," katanya.

Megawati mengungkapkan pengalaman pribadinya itu, dalam kegiatan Deklarasi Gerakan Bersama Stop Perkawinan Anak yang dilaksanakan atas kerjasama Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) bersama Pemerintah Provinsi NTB, Minggu (10/12) di Taman Budaya NTB, di Mataram.

Megawati memaparkan, saat menikah di usia 16 tahun, ia terpaksa putus sekolah. Namun apa daya, jika tak segera menikah ia bisa jadi bahan gunjingan masyarakat di sana.

"Ada pengaruh lingkungan. Saat itu anak gadis di desa kami umumnya menikah di usia 14-15 tahun. Dan apabila tidak menikah akan jadi pergunjingan, dan saya salah satu korban yang dianggap telat menikah," katanya.

Megawati mengaku saat ini baru sadar bahwa menikah muda itu tak seindah yang dibayangkan tak senikmat yang dipikirkan.

"Sejak menikah, saya sering bertengkar dengan suami karena hal sepele seperti beda pendapat, beda pikiran. Dan orang ketiga seperti mertua selalu ikut campur dalam urusan rumah tangga kami," kenang Mega.

Sejak saat itu, tamparan dan pukulan suami selalu melayang ke tubuh Megawati jika pertengkaran terjadi. Kondisi semakin sulit ketika Mega melahirkan seorang anak.

"Setelah hadir anak beban hidup begitu berat. Saya belum bisa mengasuh anak dengan baik, dan di saat yang sama saya harus cari nafkah untuk anak, yang saat itu suami tidak bekerja hanya andalkan bantuan orangtua saja," akunya.

Megawati mengatakan seandinya waktu bisa diputar kembali, tentu ia akan memilih meneruskan sekolah dan tidak menikah usia muda. Namun Megawati merasa sedikit beruntung karena bisa bersekolah di sekolah perempuan saat ini.

"Sekarang saya bisa bangkit lagi setelah bergabung di sekolah perempuan. Kalau boleh saya wakili teman-teman perempuan, kami ingin bangkit dari budaya yang membelenggu. Sekolahkan kami jangan nikahkan kami, kami butuh ijazah bukan buku nikah," kata Megawati mengakhiri testimoninya dalam kegiatan tersebut.

Deklarasi dihadiri Deputi Bidang Tumbuh Kembang Anak Kementerian PPPA, Leny Nurhayanti Rosalin, Wakil Gubernur NTB, Muhammad Amin, perwakilan 17 Kementerian/Lembaga, puluhan NGO peduli perempuan dan anak, dan ratusan pelajar SMA sederajat di Mataram.  

Gerakan Bersama Stop Perkawinan Anak

Apa yang dialami Megawati hanya secuil potret yang dialami oleh satu dari empat anak perempuan di Provinsi NTB yang melakukan perkawinan muda di usia anak, di bawah usia 18 tahun, karena terdorong beragam alasan.

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) mencatat, prevalensi rerata perkawinan anak di NTB masih berkisar 25,4 persen. Sementara rerata nasional berkisar 17 persen.

"Untuk NTB prosentase perkawinan anak masih tinggi, 25,4 persen. Itu artinya satu dari empat anak perempuan di NTB melakukan perkawinan di usia anak, di bawah 18 tahun," kata Deputi Bidang Tumbuh Kembang Anak Kementerian PPPA, Leny Nurhayanti Rosalin.

Dengan prevalensi yang besar itu, NTB masih masuk dalam daftar 10 besar daerah penyumbang angka perkawinan anak di Indonesia. Namun, NTB juga menjadi daerah pertama yang menerbitkan kebijakan untuk menekan angka perkawinan anak, melalui Surat Edaran Gubernur Tahun 2014 Tentang Pendewasaan Usia Perkawinan (PUP).

Melalui SE yang ditandatangani Gubernur NTB, Tuan Guru Bajang (TGB) M Zainul Majdi, pemerintah NTB menyarankan agar pasangan menikah berusia minimal 21 tahun, baik wanita maupun pria.

Hasilnya, prevalensi rerata perkawinan anak di NTB, dapat ditekan. Tercatat masih diatas 40 persen di tahun 2014, dan menurun jadi 25,4 persen di tahun 2016.

Hal itu menjadi alasan mengapa Kementerian PPPA melaunching Gerakan Bersama Stop Perkawinan Anak, di wilayah NTB.

"NTB memang masih tinggi (angka perkawinan anak), tapi NTB juga menjadi pelopor sebagai daerah yang pertama kali menerbitkan kebijakan untuk menekan angka itu. Itu sebabnya kenapa kita deklarasikan gerakan ini di NTB," kata Leny.

Leny mengatakan, Gerakan Bersama Stop Perkawinan Anak harus menjadi atensi semua pihak. Selain pemerintah pusat, Pemda di tingkat Provinsi, Kabupaten, dan Kota, harus juga mendukung dengan selaras.

Dengan prevalensi 17 persen, Leny menegaskan, bahwa Indonesia saat ini darurat perkawinan anak. Di tingkat ASEAN, Indonesia saat ini masih menjadi negara dengan angka perkawinan anak, kedua terbesar setelah Kamboja. Sementara di tingkat global internasional Indonesia masih masuk urutan ke tujuh, sepuluh besar negara dengan angka perkawinan anak tertinggi.

"Ini sudah sangat serius. Indonesia sudah darurat perkawinan anak, sehingga gerakan bersama harus dilakukan. Di sini semua harus terlibat dan berperan aktif, pemerintah, pemda, NGO peduli perempuan dan anak, sektor swasta, dan masyarakat juga," katanya.**

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun