Tentu saja, guru berada di depan kelas. Berhadapan langsung dengan generasi muda. Yang konon katanya akan menjadi nahkoda bangsa ini. Maka, berbanggalah dirimu sebagai guru. Meski gajimu segitu. Meski nasibmu tak lebih dari buruh dan kuli pabrik. Bukan, bukan saya mengecilkan buruh dan kuli lo ya.. Jangan bersedih. Kontribusimu bagi masa depan bangsa tidak ternilai.
Demikian rencana saya untuk menghibur salah satu teman saya yang baru saja dapat masalah. Dia adalah lulusan paling cemerlang di zaman SMA. Banyak yang menjagokan dia bakal jadi dokter. Bahkan salah satu guru menyarankan dia menjadi astronot.
Namun, rupanya dia memiliki sebuah pilihan yang tak seorang pun akan menduganya. Ia menolak beasiswa dari jurusan bergengsi dari kampus ternama. Ia lebih memilih bekerja dulu. Â Lalu menurut kabar, setelah satu tahun kemudian ia kuliah di IKIP. Menjadi guru.
Dua puluh tahun kemudian, sebuah video viral mengabarkan keberadaannya. Di video itu, temanku yang cerdas itu baku hantam dengan muridnya. Video di ruang kelas yang direkam oleh muridnya juga. Ternyata, begitu beritanya, teman saya itu memang suka bercanda dengan muridnya. Namun karena entah apa, dia terpancing. Tapi, kasus itu selesai dengan saling memaafkan.
Dari situ, saya ingin memberikan dukungan. Setelah dari Paris, saya langsung meluncur ke kediamannya. Jauh di pelosok daerah L. Kira-kira empat jam dari Bandara. Di sana, mudah sekali menemukan keberadaanya. Semua orang kampung, hafal namanya. Guru Budi.
Guru Budi memelukku erat. Ia menangis. Saya juga demikian. Kami dulu adalah kawan akrab. Setalah melepas rindu, ia membawa saya masuk ke rumahnya. Rumah yang sangat sederhana. Ia mengenalkanku dengan istri dan dua putranya.
Di beranda, kami cerita banyak hal. Saya bercerita tentang kepindahan saya ke London yang tiba-tiba. Sementara Budi, mengisahkan tentang berliku-likunya menjadi seorang guru. Juga tentang kisahnya yang viral dan menguras emosi.
Tetapi, Guru Budi adalah Budi di masa silam. Pikirannya masih menyala-nyala. Masih cerdas. Ia bilang, menjadi guru adalah panggilan jiwa. Meski berkali-kali pula saya tangkap kegetiran di matanya.
Satu hal lagi yang tak pernah hilang, ia mengancam saya jika tetap nekat memberikan sesuatu pada dirinya dan keluarganya. Dengan dalih apapun, ia tidak mau saya membantu dirinya. "Kamu ke sini dan mau mengakuiku sebagai kawan, itu sudah tak ternilai harganya Gus.. " ujarnya sambil tersenyum.
Sepanjang perjalanan pulang, saya kembali menjadi manusia baru. Manusia yang baru ngeh tentang makna kebahagiaan. Bahwa kebahagiaan, adalah seberapa nyaman kita dalam menikmati pilihan hidup. Guru Budi.
25 November 2018/Selamat hari guru..