Mereka sudah berlelah-lelah mengayuh pit. Masih juga berhati-hati. Menata emosi dan pikiran secara penuh. Agar, dirinya dan pemakai jalan yang lain tetap dalam kondisi nyaman dan aman sampai tujuan.
Belum lagi ketika mereka melihat temannya yang diantar jemput, baik dengan mobil maupun motor. Bukankah bagi mereka, yang masih remaja, ini menjadi tantangan tersendiri?
Lagi-lagi, mereka harus menata emosinya. Agar, tetap teguh mengayuh pit, tak merasa malu dan lesu. Ini sebuah perjuangan yang tak setiap anak dapat melakukannya. Yaitu, perjuangan untuk dirinya sendiri.
Namun, di dalam semua ini perjuangan mereka juga dicita-citakan oleh orangtua mereka. Cita-cita orangtua, yaitu agar sang anak berhasil dalam belajar tak lepas dari jerih lelah sang anak.
Yang, setiap hari efektif sekolah berada di atas pit, panas dan hujan sebagai tantangan sesuai dengan musim tiba. Ini juga risiko alam yang dihadapi oleh mereka.
Dalam hati kecil setiap anak, yang notabene murid, pasti ada doa sederhana. Yaitu, perjuangannya ini kelak kiranya juga dapat untuk membahagiakan orangtua.
Bukankah sering kita dengar dari mulut mereka, entah sengaja atau tak sengaja, berjuang dalam cita-cita ini untuk membahagiakan orangtuanya? Bahkan, kita, yang saat ini sudah tua, waktu masih sekolah juga berdoa seperti mereka.
Selain itu, letih lelah mereka mengayuh pit bersekolah juga bentuk memuliakan lingkungan. Sebab, pit yang dinaiki tak serupa dengan motor atau mobil yang memproduksi karbondioksida, yang dapat menyakiti bumi.
Pun menyakiti kita. Sebab, betapa pun, hidung kita menghirupnya setiap kala, lebih-lebih pada jam-jam sibuk di jalan. Saat orang pergi-pulang bekerja dan murid pergi-pulang sekolah.
Pit tak demikian. Pit tak menghasilkan karbondioksida. Ia menghasilkan keringat anak bersekolah yang menaikinya, yang berjuang meraih cita-cita. Tapi, semoga menyadarkan kita bahwa perjuangannya juga menyelamatkan bumi dan manusia, termasuk saya juga Anda.
Dan, ini artinya, mereka, yaitu murid bersekolah yang menaiki pit, juga pejuang untuk bumi pertiwi alias bangsa dan negara. Maka, sudah seharusnya kebiasaan mulia mereka ini menjadi role model mobilitas orang dalam menjalani kehidupan.