Sekalipun ada murid dalam kondisi tertentu, yang rumahnya dekat dengan lokasi sekolah, diantar jemput. Misalnya, murid dalam kondisi badan sedang kurang sehat.
Bukankah ada murid yang semangat belajarnya besar? Sehingga, ia tetap bersekolah sekalipun kondisi badannya sakit. Mereka tak ingin ketinggalan pelajaran. Tentu dalam kondisi seperti ini wajar kalau ia diantar jemput.
Murid SMA/SMK dan yang sederajat nyaris tak ada yang menaiki pit. Umumnya sudah mengendarai motor. Ada juga yang berjalan kaki sebab rumahnya dekat dengan lokasi sekolah.
Baik murid SD dan yang sederajat, SMP dan yang sederajat, maupun SMA/SMK dan yang sederajat yang bersekolah menaiki pit adalah pejuang cita-cita. Tak sebatas cita-citanya. Tapi, juga cita-cita semua pihak, termasuk cita-cita bangsa dan negara.
Sebab, murid yang berada dalam kategori ini harus mengayuh pit dari rumah ke sekolah dalam menempuh pendidikannya. Mereka harus mengeluarkan energi yang ekstra.
Tak hanya energi fisik. Tapi, juga psikis. Bahkan, pengetahuan, keterampilan, dan sikap harus mereka miliki. Membutuhkan juga kecerdasan sosial dan emosional.
Apalagi, pada masa kini rerata jalan sangat ramai oleh pengendara, baik pengendara motor maupun mobil. Jumlah pengendara motor dan mobil lebih banyak ketimbang jumlah murid yang menaiki pit saat bersekolah.
Belum lagi ada kebiasaan yang buruk. Terutama pengendara motor, yaitu mereka mengendarai motor dengan kencang. Bahkan, ada juga yang sekencang-kencangnya.
Karenanya, energi fisik, psikis, pengetahuan, keterampilan, sikap, kecerdasan sosial, dan emosional dikerahkan semua untuk mengayuh pit dari rumah hingga sekolah. Agar, ada dalam kondisi nyaman dan aman.
Sekalipun beberapa murid di sekolah tempat saya mengajar pernah ada yang disenggol mobil atau motor. Tak sampai parah, tapi tetap saja berdampak buruk terhadap anak termaksud, terutama psikisnya.
Ini memang salah satu risiko yang mereka hadapi dalam melakukan perjuangan untuk meraih cita-cita. Tak ada pejuang yang tanpa risiko, bukan?