Di depan lobi sekolah beberapa siswa putra terlihat sibuk. Dari dekat, terlihat dengan jelas mereka sedang membersihkan gamelan yang terbuat dari logam.
Di dekatnya ada ember besar yang penuh dengan air, yang tersambung dengan pipa air. Pipa air ini salah satu ujungnya dihubungkan dengan kran yang terletak di dekat pagar sekolah. Dari sana air mengalir ke dalam ember.
Selain itu, terlihat juga ampelas halus, yang saya mengetahuinya kemudian, sebagai sarana untuk menggosok gamelan setelah dibasahi dengan sedikit air. Kotoran yang menggelap di permukaan gamelan terlihat lepas dari permukaan gamelan. Gamelan terlihat jadi lebih bersih.
Terlihat lebih bersih lagi ketika dipoles dengan pasta pemoles logam yang dipoleskan dengan memanfaatkan kain. Selesai langkah ini, gamelan dibersihkan dengan air yang sudah disiapkan dalam ember dan dikeringkan.
Gamelan dari logam tersebut terlihat kinclong. Dan, tak memalukan saat gamelan dimanfaatkan untuk kegiatan apa pun sekalipun dilihat oleh banyak orang.
Gamelan ini dibersihkan karena akan digunakan dalam Festival Lomba Seni dan Sastra Siswa Nasional (FLS3N). Dan, beberapa siswa putra yang membersihkan gamelan ini adalah tim yang hendak mengikuti FLS3N, Cabang Kreativitas Musik Tradisional.
Melihat aktivitas mereka membersihkan gamelan tersirat sikap rasa memilikinya sangat tinggi. Sebab, dalam masa libur sekolah yang seharusnya mereka berada di rumah seperti siswa yang lain, mereka masuk sekolah untuk membersihkan gamelan.
Apalagi dalam aktivitas ini mereka tak dibersamai guru. Tetapi, kerja membersihkan gamelan logam dilakukan dengan baik.
Sebagian yang sudah dikerjakan kondisinya, seperti di atas sudah disebut, mengkilap, tak seperti kondisi sebelum dibersihkan. Saya melihatnya langsung.
Sehari sebelumnya, saya mengetahui persis guru ekstrakurikuler karawitan menyuruh mereka agar membersihkan gamelan ini. Dan, betul pada hari mereka harus membersihkan, mereka bersama-sama membersihkan gamelan ini sekalipun tanpa ada guru ekstrakurikulernya.
Bahkan, saya mendengar dari salah satu teman guru, mereka membeli pasta untuk memoles dengan uang mereka sendiri. Karena ketahuan oleh guru, uang mereka untuk membeli pasta untuk memoles dikembalikan.
Beberapa sikap mereka yang dideskripsikan di atas menunjukkan bahwa mereka bersikap merasa memiliki gamelan tersebut. Milik sekolah, tetapi serasa milik mereka sendiri. Sehingga, mereka melakukan hal terbaik untuk gamelan termaksud.
Dalam hal apa pun, kalau di dalam diri seseorang ada sikap merasa memiliki, pasti akan ambil peran secara total. Orang itu akan merawat, memanfaatkan, bahkan mengembangkan hal yang dirasa miliknya itu. Sehingga, dapat mencapai tahap yang optimal.
Meskipun riilnya tak mempunyai hak untuk memiliki, beberapa siswa kami yang membersihkan gamelan, dalam keberadaannya sebagai siswa, sebenarnya juga berstatus memiliki. Sebab, gamelan itu milik sekolah dan mereka adalah siswa sekolah kami.
Jadi, sangat wajar kalau beberapa siswa kami, yang akan ikut di FLS3N Cabang Kreativitas Musik Tradisional ini merasa memiliki gamelan. Dan, tentu saja bukan hanya karena keterkaitan mereka sebagai siswa kemudian bersikap merasa memiliki gamelan milik sekolah.
Sudah pasti ada faktor lain yang membuat mereka bersikap merasa memiliki gamelan milik sekolah. Sikap seperti ini tumbuh dari dalam diri siswa.
Sejauh saya mengetahui siswa kami ini memang hidup di lingkungan yang mendukungnya dalam seni, khususnya seni barongan. Yang, di antaranya seni barongan itu menggunakan piranti gamelan.
Bahkan, suatu saat saya, sebagai guru, pernah berkunjung ke rumah salah satu di antara mereka karena ada kepentingan dengan orangtuanya, saya mendengar ada orang yang memainkan gendang di rumahnya. Dan, permainannya terdengar sangat menggugah kekaguman.
Saya mengetahuinya kemudian bahwa orang yang memainkan gendang itu ternyata adalah siswa kami yang tergabung dalam tim FLS3N Cabang Kreativitas Musik Tradisional. Dalam tim ini ia yang memainkan gendang.
Barangkali tak keliru dikatakan bahwa orang, termasuk siswa, bersikap merasa memiliki apa pun  yang dimiliki oleh sekolah tempat ia belajar --yang selanjutnya tumbuh spirit dalam diri mereka mau ambil peran dalam menjaga, merawat, dan memanfaatkan secara baik dan benar-- karena terlebih dahulu telah dibentuk di lingkungan tempat mereka lahir dan dibesarkan.
Siswa yang bersikap merasa memiliki, yang mempunyai spirit mau ambil peran dalam menjaga, merawat, bahkan memanfaatkan secara baik dan benar piranti yang digunakan dalam beraktivitas, sudah barang tentu mereka memiliki potensi yang istimewa.
Karena, disadari atau tak disadari, mereka pasti begitu dekat dengan hal yang merasa mereka miliki. Bahkan, bisa-bisa di mana dan kapan pun mereka berada tak dapat melepas hal yang merasa dimilikinya itu. Di kamar saat menjelang tidur, misalnya, sangat mungkin hal yang merasa dimilikinya masih direnung-renungkan.
Dalam konteks ini tak hanya dimaksudkan bahwa orang, termasuk siswa, bersikap merasa memiliki hal-hal yang berupa benda, tetapi juga pengetahuan, keterampilan, bahkan sikap. Karenanya, kadang kita mendengar pernyataan orang tentang, misalnya, ia memiliki suara khas, ia memiliki pengetahuan matematika yang hebat, dan ia memiliki etika yang bagus.
Memiliki dan merasa memiliki memang berbeda. Tetapi, keduanya sama-sama mengandung  nilai yang positif dan produktif.
Kalau bersikap "merasa memiliki" saja ada spirit yang tinggi dalam diri orang, termasuk siswa, seperti siswa kami yang tergabung di tim FLS3N Cabang Kreativitas Musik Tradisional yang sudah disebut di atas, apalagi mereka yang "memiliki". Tentu saja spiritnya lebih tinggi ketimbang yang "merasa memiliki"
Dalam konteks pendidikan, siswa yang "merasa memiliki" maupun yang "memiliki" sudah pasti menekuni bagiannya. Siswa yang merasa memiliki ruang kelas, yaitu ruang kelas yang ditempati untuk belajar, misalnya, sudah pasti mereka menjaga, merawat, dan memanfaatkannya dengan baik.
Tentu kelas termaksud menjadi kelas yang lebih aman, nyaman, menyejahterakan, dan membahagiakan siswa dan guru dalam pembelajaran. Efeknya, di antaranya adalah siswa mendapatkan pengalaman belajar yang bermakna, yang bukan mustahil mengantarkannya dalam meraih prestasi.
Tentu siswa yang memiliki pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang hebat, istimewa, dan mulia, yang sudah barang tentu mereka menekuninya, akan mengantarkannya ke jenjang prestasi yang unggul. Yang, bukan mustahil siswa yang seperti ini, yaitu siswa yang "memiliki" dapat meraih prestasi yang melebihi prestasi siswa yang bersikap "merasa memiliki".
Akhirnya, sikap "merasa memiliki" sesuatu --yang mewujudkannya dalam aksi nyata menjaga, merawat, menata, juga memanfaatkannya secara baik-- dan "memilik" sesuatu --yang mewujudkannya dalam aksi menekuninya-- dapat dinyatakan berkoneksi dengan prestasi.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI